Pahlawan Informasi

Ada dua orang yang kehadirannya di pagi hari  sangat penting  bagi Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla.  Tanpa dua orang ini,  Wapres akan merasa sepi dan ketinggalan informasi.

Orang pertama  adalah  Mufidah, istri  tercinta Wapres Jusuf Kalla, yang  tiap pagi   membuatkan teh.

Orang kedua  adalah loper, yang   membawakan  koran tiap hari. “Tanpa  loper, kita   tidak bisa   membaca.  Tanpa loper, bangsa ini tak bisa membaca,” kata Jusuf Kalla (JK) dalam sambutannya pada Loper’s Day di Pantai Karnaval Ancol, seperti  dikutip Media Indonesia,  Kamis (31/7).

Sebagai  apresiasi atas kerja keras  para loper,  JK  menjuluki mereka sebagai Pahlawan Informasi. “Guru selalu kita   katakan pahlawan  tanpa tanda jasa. Loper yang membawa   informasi tiap   hari wajar   kalau dikatakan  loper pahlawan informasi,”  puji JK.

Media Indonesia melaporkan,   sekitar 50.000  loper media cetak dari Jabodetabek dan Bandung  menghadiri acara tersebut.  Museum Rekor Indonesia (Muri)  mencatat, Loper’s Day  2008   memecahkan rekor   pengumpulan loper koran terbanyak di sebuah acara.

Selain menjuluki loper sebagai Pahlawan Informasi, JK juga   menyampaikan penghargaan   atas kerja keras loper. 

“Pada saat kita semua    masih tidur, belum   berbuat apa-apa, loper   semua sudah di jalan. Itu pekerjaan   yang sangat penting  dan mulia,” tuturnya.

Di akhir sambutannya, JK  menyampaikan terima kasih atas  jasa para loper. “Jayalah para loper semuanya.  Loper berkarya, bangsa membaca.”  

Bila Wakil Presiden saja sudah memberikan apresiasi  dan penghargaan  atas  kerja  keras loper, bagaimana  dengan kita?  Adakah  ucapan terima kasih yang pernah  kita  sampaikan kepada mereka? Pernahkah kita memberi  THR  menjelang lebaran?

Sidik Wajah

Tak  ada yang baru ketika  saya memperpanjang paspor, Juni lalu.  Isi formulir,  lalu  serahkan  syarat-syarat pendaftaran.  Tiga hari kemudian,  ambil berkas pendaftaran, bayar di kasir Rp 270.000, foto, sidik jari, dan  wawancara.  Tiga hari berikutnya   paspor baru  pun jadi.

Namun kini sistem pengurusan  paspor tersebut berubah  sejak  Ditjen Imigrasi  Departemen Hukum dan HAM  memberlakukan  Sistem Penerbitan Paspor Republik Indonesia (SPPRI) mulai Senin (28/7).

Sistem itu   menyempurnakan  model lama,  Sistem  Photo  Terpadu Berbasis  Biometrik (SPTBB), yang kerap dikeluhkan karena  tidak standar dan mudah  dipalsu.

Dalam  sistem baru tersebut,  verifikasi data pemohon  lebih detail.  Selain pengecekan  data teks dan sidik jari,   dilakukan pula  sidik wajah. Langkah tersebut diyakini  makin mempersulit  duplikasi paspor.

“Kalau ada sidik  wajah, pemalsuan akan lebih sulit,” kata Kasubbag Humas  Ditjen Imigrasi, Agato, seperti dikutip Indo Pos, Rabu (30/7).

Dengan SPPRI,   seluruh kantor imigrasi di daerah mempunyai standar pelayanan  yang seragam, mulai dari antrean,  penerimaan berkas, entry data, pemeriksaan berkas,   cek cekal,   pembayaran, wawancara,  foto dan verifikasi biometrik, serta cetak paspor. Semuanya, tulis Indo Pos, bisa dikerjakan dengan runtut.

Sistem baru itu juga  bisa  membuat  calo mati kutu, tidak bisa mendahulukan klien seenaknya.

“Kalau berkas  tidak sesuai nomor antrean, sistem  tidak akan jalan.  Jadi, sejak ada  sistem baru ini, juga tidak ada diskresi-diskresi,” Agato menjelaskan.

SPPRI  juga bisa memangkas  birokrasi. Selama ini,  pelayanan    paspor, setidaknya,  harus melalui 108 meja.

Sayangnya,  sistem baru ini  tidak menjamin pengurusan paspor bisa rampung dalam satu hari.  Prosesnya masih empat hari kerja. “Memang tetap harus    diakui  prosesnya membutuhkan waktu,”  ucapnya.

Menyangkut biaya,  sejauh ini tidak ada  informasi kenaikan biaya. Akan lebih baik lagi bila  sistem baru ini  bisa  mempersingkat pengurusan paspor menjadi satu-dua hari.

Biaya tetap dengan waktu  pengurusan lebih cepat,  itulah yang diharapkan  pengguna jasa!

Perangko PON XVII 2008

Pekan Olahraga  Nasional (PON) XVII telah selesai. Berbagai rekor baru telah diciptakan,  dan   Jawa  Timur berhasil mengukuhkan diri  sebagai  juara umum.

Untuk memperingati  event  olahraga  tersebut, PT Pos Indonesia   menerbitkan perangko seri  PON XVII. Desain  perangko menampilkan   Stadion Utama  Palaran serta tiga cabang    yang diperlombakan, yakni binaraga,    lari halang rintang, dan sepeda gunung.

Perda Ojek

Kalau besok lusa  disahkan DPRD, DKI Jakarta akan menjadi satu-satunya provinsi yang memiliki peraturan daerah (perda) tentang ojek. Tapi nampaknya  jalan untuk disahkan masih panjang. Sebab  sudah ada wakil rakyat  di DPRD DKI Jakarta  yang keberatan.  

Seperti dikutip  Media Indonesia, Senin (28/7), Ketua Komisi  B DPRD  DKI Aliman A’at menyatakan, rencana melegalkan  ojek berlebihan.

“Perda-perda lain saja  yang  prioritas   banyak yang belum selesai, ini mau  bahas   perda ojek lagi,” katanya.

Aliman juga mempertanyakan urgensi melegalkan ojek. “Yang mau diatur itu apa? Mengurus  omprengan (angkutan pelat hitam) di Jakarta Barat saja  tidak selesai-selesai. Itu dululah   kan lebih penting,” dia menegaskan.

Usul  melegalkan ojek di ibu kota   dilontarkan   Kepala  Dinas  Perhubungan DKI Jakarta Nurachman, April lalu.  Menurut dia, pelegalan ojek akan mempermudah  pengawasan  dan pengaturan ojek  karena pangkalannya   yang saat ini sangat banyak dan tersebar. 

Selain itu,  pemberlakuan  pelat kuning bagi    ojek dapat  menambah pendapatan asli daerah.

Pemda DKI sendiri nampaknya serius  akan melegalkan ojek  karena sudah  menganggarkan  dana sebesar Rp 200 juta di APBD 2008 untuk menyusun  rancangan perda  tentang ojek tersebut.  

Meski belum  resmi diakui sebagi moda  transportasi, kehadiran ojek  sangat membantu  aktivitas warga  yang ingin menembus  kemacetan  di ibu kota  dengan cepat. Ojek juga banyak membantu  transportasi warga yang bermukim  di  wilayah yang tak terjangkau angkutan umum.

Bahkan  para tukang ojek  kerap dimobilisasi  partai-partai politik  untuk ikut  meramaikan acara kampanye. 

Jadi,   wakil rakyat  jangan seperti kacang lupa  dengan kulitnya. Hanya  ingat  dengan  tukang ojek  waktu musim kampanye,  tapi setelah itu  dilupakan.  Atau wakil rakyat kita  sudah tak pernah lagi naik ojek, sehingga lupa dengan alat transportasi satu ini?

SKCK

Saya belum pernah melihat bentuk suratnya seperti apa.  Tahu adanya surat ini  pun dari pemberitaan  di media massa. 

Bagi  mereka yang berniat  menjadi calon anggota legislatif (caleg), surat satu ini  merupakan surat penting, karena menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi saat mendaftar sebagai caleg.

Sesuai namanya, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), surat ini  dikeluarkan  oleh Kepolisian Negara RI (Polri). 

Dalam kaitannya  dengan pendaftaran sebagai  caleg, khususnya untuk  DPR RI,  sempat timbul perdebatan karena  Komisi Pemilihan Umum (KPU) menginginkan    SKCK untuk caleg DPR RI harus dikeluarkan      Mabes Polri. Tentu mereka  yang jauh dari Jakarta   mempermasalahkannya, karena  pengurusannya  memakan banyak waktu, tenaga, dan biaya.

Namun  akhirnya Mabes Polri menetapkan kebijakan  bahwa pembuatan SKCK  bagi para caleg dapat diurus  di daerah masing-masing.

“Caleg-caleg bisa   membuat SKCK  di kantor-kantor  polisi di daerah  hingga yang terendah   di tingkat polres (kepolisian resor) sesuai dengan domisili    tempat tinggal sesuai KTP,” kata  Kepala Divisi Humas  Polri Inspektur  Jenderal Abubakar  Nataprawira, seperti dikutip Kompas,  Jumat (25/7).

Sementara  Anggota KPU  I Gusti Putu   Artha menyatakan,    KPU tidak perlu  lagi memberi   tahu partai politik (parpol) mengenai SKCK karena  Mabes Polri sudah  mengirimkan surat pemberitahuan  ke semua parpol peserta pemilu.

“Kami hanya  akan memberikan surat pemberitahuan   kepada KPU daerah saja,” ucapnya.

Selain memudahkan pengurusan SKCK bagi para caleg, Polri juga  harus selektif  dalam mengeluarkannya. Sebab mereka  yang akan  meminta  surat tersebut adalah calon-calon wakil rakyat,  yang – harusnya – menjadi teladan bagi rakyat.

Tentu  rakyat  tidak ingin mempunyai  wakil yang  punya  rekam jejak buruk   karena pernah  melakukan  tindak pidana, apalagi  sampai   dipenjara!

Uang Pas dan Pungli

Kalau  tak mau  pusing dan repot  menghitung uang kembalian,  membayar dengan kartu kredit, kartu  debet, atau uang pas akan  memudahkan kita  membayar barang  atau jasa yang  kita  beli. Tapi tak semua  pedagang dan penyedia jasa  menerima  pembayaran dengan kartu kredit atau kartu debet. Jadi uang pas  harus  dipersiapkan di tempat-tempat yang hanya  menerima pembayaran dengan tunai. Namun, sebelum membayar, perlu  terlebih dahulu mengetahui harga barang/jasa tersebut.

Satu  surat pembaca di Kompas,  Rabu (23/7),  makin  meyakinkan saya   akan pentingnya  membayar dengan uang pas. Penulis surat pembaca itu seorang pengguna jasa  penyeberangan di  Pelabuhan Merak, yang harus membayar lebih  dari semestinya. 

Saat membayar – harus cash – di loket  penyeberangan kendaraan,  dia  diminta  membayar Rp 195.000.   Namun setelah dia  memeriksa tiket yang diserahkan oknum petugas di loket, jumlahnya hanya Rp 182.000. 

Itu berarti  dia terkena pungutan liar (pungli)   Rp 13.000.  Jika dalam sehari ada 1.000 kendaraan yang dipungli Rp 13.000,  berarti  Rp  13 juta yang  masuk    ke  kantung oknum!

Dalam kasus ini,   oknum di loket penyeberangan kendaraan itu  yang   melakukan pelanggaran.  Sebab,   di depan loket telah tertera  dengan huruf  dan angka  cukup besar,  besarnya tarif  penyeberangan untuk setiap jenis kendaraan.

Para  pengemudi  bisa  membaca papan pengumuman tarif tersebut.  Namun  tidak semua pengemudi jeli dan memperhatikannya.  Apalagi  di  malam hari.  Ketidakjelian pengemudi tersebut yang dimanfaatkan  oknum  petugas di loket penyeberangan untuk menarik pungli.

Kembali ke uang pas. Penulis  surat pembaca itu bukan  korban satu-satunya.  Sebab  perilaku korup seperti itu sudah berlangsung lama,  dan   mencapai puncaknya pada saat  terjadi lonjakan kendaraan yang akan menyeberang, seperti  menjelang lebaran dan saat liburan sekolah.

Memerangi  perilaku korup oknum  petugas di loket penyeberangan  harus dengan ketegasan.  Manajemen  BUMN  pengelola pelabuhan penyeberangan harus  menindak tegas  oknum-oknum tersebut.

Sementara pengguna jasa harus  teliti  dalam membayar.  Bila sudah tahu besarnya tarif  yang harus dibayar, bayarlah dengan uang pas!  

Uang pas  akan menutup gerak oknum petugas menarik pungli seenaknya!

Anak Indonesia Sejati

Ini iklan layanan  masyarakat  di  surat kabar pada  Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.  

Sudah mandiri dan kreatifkah anak Anda?

Ojek Taksi

Mulai Agustus  nanti bertambah lagi satu  moda transportasi  di Jakarta.  Namanya: ojek taksi (limobike). Sama seperti ojek lainnya,  kendaraan yang  digunakan adalah  motor, namun layanannya  seperti taksi karena bisa dipesan  via telepon.

Dalam tayangan di  Topik Malam antv,  Senin (21/7), terlihat   bahwa  motor  yang digunakan  adalah motor matic. Di bagian belakang motor,  terdapat semacam bagasi untuk menyimpang barang.  Baik pengemudi maupun penumpang  sama-sama menggunakan rompi berwarna kuning.

Ojek taksi ini juga mengadopsi teknologi  canggih. Di masing-masing motor dipasang   alat global positioning  system (GPS). Keberadaan alat ini  akan memudahkan  operator  memantau pergerakan armadanya. Selain itu,  bila  dicuri, posisi motor masih bisa terpantau, dan akan memudahkan polisi  membekuk  pencurinya.

Tertarik mencoba?

Dari Aceh Dilepas di Lampung Barat

Sejak  kecil saya  sudah sering ke Lampung  Barat. Kebetulan pula orang tua berasal dari Pesisir Tengah Krui. Terakhir  saya ke sana  Januari lalu.   Namun belum sekali pun saya  ke  kawasan Pesisir  Selatan, dimana  terdapat  Tambling  Wildlife  Nature  Conservation  (TWNC).

Kawasan konservasi itu saat ini tengah jadi buah bibir  karena  menjadi tempat  pelepasliaran dua harimau sumatera  yang berasal dari Aceh Selatan.  Rencananya, pelepasliaran itu  akan dilaksanakan Selasa (22/7),  dan akan disaksikan  Menteri Kehutanan MS Kaban.

Seperti dilaporkan  Media Indonesia,  Senin (21/7),  jumlah harimau yang  dikonservasi   sebanyak lima ekor.  Satwa langka itu  dirawat  di  Rescue  Center TWNC sejak  27 Juni 2007.

Pelepasliaran itu, tulis Media Indonesia, merupakan yang  pertama di dunia.    Sebelumnya, pelepasliaran    harimau di dunia terjadi di SIberia, namun gagal.   Dua anak   harimau yang  dilepaskan  di  Siberia  pada delapan bulan berikutnya  ditemukan tak bernyawa.

Menurut  Tony Sumampauw,  Direktur Taman Safari Indonesia,   metode pelepasliaran   dua harimau sumatera   yang bernama Pangeran dan Agam   cukup sistematis  dan bisa menjadi model.

Bila  pelepasliaran itu berhasil, bisa  menjadi  contoh konservasi harimau   di dunia internasional.  Berbagai  negara dan lembaga  konservasi   akan  meniru keberhasilan Indonesia, dan nama Lampung Barat, khususnya  TWNC, akan semakin dikenal dunia.

Semoga pelepasliaran itu berlangsung sukses,  dan harimau sumatera  asal Aceh tersebut bisa berkembang biak di  Lampung Barat.

Cokroaminoto 103

Meski bertempat tinggal di Jakarta, saya jarang melintas  di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat. Jadi saya tidak tahu posisi rumah nomor 103. Siapa pemiliknya, rumahnya seperti apa, berapa luas tanahnya, saya tak punya datanya. Mungkin kalau melintas di sana   saya tidak peduli dengan keberadaan rumah tersebut.

Sebuah berita di Kompas, Sabtu (19/7), membuat saya harus peduli terhadap rumah tersebut berikut pemiliknya.

Kompas melaporkan, pemilik rumah tersebut telah bermurah hati menampung  26 pasien miskin yang diusir dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM),  dan  saat ini ditampung di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Rencananya, Minggu (20/7),  26 pasien malang tersebut akan dipindahkan ke Cokroaminoto 103. Namun si pemilik rumah hanya bersedia menampung  26 pasien tersebut.

“Rumah ini (Cokroaminoto 103) tidak terbuka  bagi pasien lain di luar yang sudah ada saat  ini,” kata Febi Yonesta, pengacara publik dari  YLBHI.

Rumah  tersebut, tulis Kompas,  terdiri dari enam kamar yang cukup luas dan memiliki  fasilitas  sanitasi. Jumat (18/7) dan Sabtu (19/7),  rumah yang  tak berpenghuni itu  dibersihkan  agar layak ditinggali  pasien.

Membaca berita  tersebut membuat saya berseru, “Subhannallah!” Di zaman  yang segalanya  diukur  dari materi,  di ibu kota yang masyarakatnya  serba sibuk, masih ada orang yang bermurah hati dan peduli dengan mereka yang sakit dan  terlantar, seperti ke-26 pasien  itu.

Sebuah rumah  di kawasan elit  bila disewakan  tentu sewanya mahal. Tapi sang pemilik lebih mengedepankan fungsi sosial  dengan menjadikannya tempat penampungan para pasien  terlantar. Ini bukti bahwa tidak semua  penduduk kota megapolitan seperti Jakarta materialis  dan egois.  

Semoga kepedulian pemilik rumah di Cokroaminoto 103 menjadi teladan bagi  warga Jakarta lainnya!