Bhimantara Entertainment

Namanya mengingatkan pada  satu grup konglomerasi yang pernah jaya di jaman orde baru. Namun Bhimantara Entertainment tak ada hubungan sama sekali dengan   Bimantara.

Saya menemukan  aksi Bhimantara  Entertainment (BE)  di KMP  Nusa Agung dalam pelayaran dari  Merak ke Bakauheni, pekan lalu. BE adalah  grup organ tunggal yang  berasal dari  Kampung Jeruk, Merak, Banten. Selain pemain organ,    grup ini  diperkuat lima vokalis wanita yang membawakan lagu-lagu dangdut plus goyang  aduhainya.

BE  bisa ditemui  di kelas II KMP Nusa Agung.  Kelas II di kapal ini bisa dibilang yang terbaik karena ada  AC-nya. Namun setelah kapal berlayar, dan musik  dimainkan,  tetap saja  ada penumpang yang merokok di dalamnya.

Sajian musik dari BE diawali  oleh lantunan suara seorang pria,  yang masih bagian dari grup ini.   Setelah pria tersebut menyelesaikan satu lagu, tampillah   para penyanyi wanita bergantian membawakan  tembang-tembang dangdut.

Kelima vokalis wanita ini mengenakan  kaus  dan  celana jeans. Tak ada yang mengenakan  rok mini. Mungkin malu sama umur karena sudah  bukan ABG lagi. Atau takut disemprit  nakhoda?

Penghasilan mereka  dari   tips yang diberikan penumpang.  Untuk  mendapat penghasilan lebih banyak, dengan agresif mereka menawarkan penumpang untuk request lagu. Tentu dengan imbalan “digoyang”  di hadapan     si pemesan lagu.

“Abang mau pesan lagu apa?” rayu mereka.  Kalau  penumpang memberi respons,  mereka kembali bertanya,  “Dikoplo  atau  di-remix, Bang?”

Untuk menjaring pemesan lagu lebih banyak, mereka  berkeliling ruangan.  Satu demi satu   penumpang dirayu untuk pesan lagu.

Setelah menerima permintaan lagu,  mulailah mereka membawakan lagu tersebut sambil meliuk-liuk  di hadapan  si pemesan. Beragam reaksi  para pemesan. Ada yang melotot sambil menahan nafas. Ada pula yang malu-malu sambil cengengesan.

Sambil menyanyi dan bergoyang, mereka menerima saweran dari si pemesan lagu. Usia membawakan lagu, uangnya  dimasukkan ke satu kotak bekas kardus mi instan.

Tak selalu rayuan mereka ke penumpang untuk memesan lagu membuahkan hasil.  Rakimin, misalnya.  Sopir truk yang duduk di sebelah saya ini hanya cengengesan  waktu ditawarkan untuk pesan lagu.  “Pesan lagu apa, Bang?” tanya seorang penyanyi.

“Belum ada,” jawab Rakimin.

“Kalau  lagu mah banyak, Bang.  Atau belum ada uangnya?” sindir si penyanyi.  Rakimin cuma mesam-mesem  membuang muka menahan malu.

Lagu yang mereka  nyanyikan tak murni lagu dangdut karena  ada pula lagu pop yang didangdutkan, dan diganti syairnya. Salah satunya adalah “Puspa”, lagunya  ST 12 yang tengah kondang saat ini.

Dengan “kreatif” beberapa bait lagu tersebut diganti. “Putuskan saja pacarmu…..”,   misalnya, diganti menjadi “Ceraikan saja istrimu, lalu bilang I love  you padaku………”.

Nampaknya  bait baru itu   disesuaikan  dengan kondisi kejiwaan si penyanyi yang, mungkin, tengah mendambakan  seorang suami,  tak peduli statusnya  suami orang atau bukan.

Pentas dangdut  itu berlangsung sekitar dua jam, dan berakhir menjelang kapal sandar di pelabuhan Bakauheni. Pentas akan  dilanjutkan   setelah   kapal kembali berlayar menuju Merak dengan membawa penumpang baru, yang kantongnya bisa jadi lebih tebal.

Karena rezekinya dari penumpang, tentu mereka berharap ruang kelas II itu akan penuh, dan penumpang yang baru naik dari Bakauheni  memberi saweran lebih besar  dibandingkan sebelumnya.

Makan-memakan

Seorang teman menulis   statusnya di Facebook (FB):  “Mantab (makan tabungan).”

Karena pernah merasakan  pahitnya  hidup “Mantab”, saya  ajak Zulkarnaen, nama teman tersebut,  ngobrol di chat room FB. “Masih mending Mantab daripada Mantang (makan utang)…….,” komentar  saya.

“Hahaha…….”

“Gw juga pernah ngalamin Mantab. Sabar aja, tuhan Mahapemurah.”

“Hahahaha………”

“Lebih parah lagi kalo sampe Mantan (makan teman). Nauzublillah……”

“Hahahaha…… itu namanya PMP = Pren Makan Pren… ”

“Alias  MTQ (makan tulang qawan)……”

Setelah  urusan “makan-memakan” itu, pembicaraan  pun beralih ke hal-hal lain seperti urusan  bisnis.    Zulkarnaen  ternyata  tengah  membantu istrinya  mendirikan butik.

Selain busana,  mereka juga akan menjual  barang-barang    yang sudah  bosan  dikoleksi. Jadi tempat usaha  tersebut lebih tepat disebut  gallery.

Sebagai teman, saya  turut  bangga bila  ada teman yang  mempunyai bisnis  sendiri,  dan tidak mengandalkan hidup sebagai orang gajian. Apalagi bila usahanya maju, dan bisa  menyerap banyak  tenaga  kerja.

“Ok, bro. Sukses gallery-nya,” kata saya menutup obrolan.

Rupanya,  obrolan barusan cukup “berkesan” bagi teman satu itu.  Tak lama kemudian, saya lihat  dia mengubah statusnya menjadi: ” MANTAB = Makan Tabungan, MANTANG = Makan Utang, MANTAN = Makan Teman, hahahaha ada-ada saja…..”

Untung saja  dia belum tahu  tentang Mantu (makan pembantu).  Kalau tahu, pasti ditulisnya juga!

Ditempel di Mana?

Hari ini,  Selasa (31/3),  adalah batas akhir  penyerahan  surat pemberitahuan tahunan  (SPT) pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi.  Untuk wajib pajak (WP) Badan, masih ada waktu sebulan lagi karena batas akhir penyerahan SPT PPh Badan pada 30 April.

Suasana Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana-mana penuh sesak oleh WP Orang Pribadi yang akan menyerahkan SPT.

Suasana penuh sesak itu tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Yang membedakan penyerahan SPT tahun ini dengan yang lalu adalah  tanda terima SPT.

Dulu  tanda terimanya  adalah selembar kertas bertuliskan “Bukti Penerimaan Surat”. Kini,  WP diberikan tanda terima berupa stiker.

spt

Pertanyaannya,  stiker ini mesti ditempel di mana? Apa di kaca depan rumah, seperti  stiker Sensus Penduduk?

Turis Bencana

Di dunia pariwisata,    turis/wisatawan   terbagi dua: turis  lokal/domestik dan  turis asing/mancanegara.   Gairah pariwisata    tergantung pada kunjungan turis. Semakin banyak turis datang membelanjakan  uangnya, semakin  bergairah  pariwisata  di tempat tersebut.

Turis akan datang jika  mereka  merasa aman dan nyaman.  Aman dari gangguan  kriminalitas  dan terorisme, serta nyaman   dengan pelayanan  dan fasilitas yang mereka terima.

Ketika  Bali  diguncang aksi terorisme  beberapa tahun lalu,   sektor pariwisata sangat terpukul. Banyak turis, khususnya  turis asing, yang membatalkan kedatangannya. Alasan mereka jelas:  tidak ada  rasa aman!

Namun, seiring dengan pulihnya  kondisi keamanan, kini  pariwisata  di Pulau Dewata  sudah mulai kembali bergeliat. Tidak hanya itu, berbagai  forum internasional juga  diadakan di sana.  Itu  bukti bahwa Indonesia, khususnya Bali,   adalah tempat yang aman untuk didatangi.

Selain aksi  terorisme,   bencana alam juga  memberi kontribusi  pada  anjloknya  kehadiran  turis, khususnya turis asing. Thailand  sudah merasakan hal tersebut ketika tsunami  menghantam  kawasan pariwisata  di  Phuket, 2004 lalu.

Lain  di luar negeri, lain pula di negeri ini. Bencana alam  tidak menyurutkan niat  turis untuk melancong. Justru mereka makin antusias untuk berkunjung ke  lokasi bencana, sehingga  dijuluki “turis bencana”.

Seperti yang terjadi di lokasi   jebolnya  Situ Gintung di  Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, yang menelan korban 99  orang tewas dan 102 hilang. Tragedi yang mengenaskan  itu    memancing kedatangan    para “turis bencana”.

Umumnya  kedatangan turis akan disambut baik oleh penduduk setempat. Tapi tidak dengan “turis bencana”.

Kedatangan mereka ke lokasi bencana  di Situ Gintung  tidak  mendapat simpati dari  penduduk setempat, dan para petugas  yang  tengah melakukan   evakuasi korban dan penyaluran bantuan. Sebab, kehadiran mereka justru menyulitkan pekerjaan   petugas.

Selain itu, mereka susah diatur! Sudah dilarang  masuk, tapi masih juga ngotot ingin  melihat lokasi bencana.

Seperti dilaporkan  Jawa Pos, Senin (30/3), jumlah  “turis bencana”  mencapai ribuan, sehingga  membuat proses evakuasi dan  penyaluran bantuan    terganggu.

Situasi   merugikan itu  membuat pihak Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), yang menjadi tempat posko  penanganan bencana,  gusar. Pihak UMJ  meminta  kepolisian menutup  akses menuju  lokasi bagi warga yang tidak berkepentingan.

Mengalirnya “turis bencana”,  menurut Jawa Pos,  hampir terjadi di semua titik.  Padahal beberapa titik rawan  sudah dipasang garis polisi (police line). Tapi tak ada yang mengindahkan  tanda larangan  melintas tersebut. Bahkan mereka  juga merangsek ke lokasi jebolnya tanggul.

Mereka  tak menghiraukan seruan  petugas untuk menghindari  tempat-tempat tersebut. Setiap kali  alat berat datang,  pengunjung pasti  mengelompok  mengelilingi.  Begitu pula saat  petugas membongkar-bongkar  bangunan untuk mencari mayat.  Berkali-kali diingatkan  melalui megafon, tak ada yang menaati.

Tak hanya pengunjung,  sekelompok orang yang mengaku  sukarelawan pun merepotkan  petugas. Mereka berseragam. Tapi, ketika terjun ke lokasi,  mereka hanya melihat-lihat tanpa  berbuat banyak.

Kepedulian masyarakat  terhadap korban bencana patut diacungi jempol.  Setelah terjadi bencana,  berbagai bantuan  untuk meringankan penderitaan korban, berdatangan.

Begitu pula  dengan yang terjadi di Situ Gintung. Sumbangan spontan mengalir dari berbagai pihak, baik  individu maupun organisasi. Bahkan  partai politik,  yang memanfaatkan momen kampanye, tak ketinggalan buka posko.

Namun kehadiran “turis bencana”   tak bisa dihindarkan.   Sekalipun informasi  tentang bencana tersebut sudah  tersebar luas di media massa,  tetap saja belum bisa memuaskan rasa ingin tahu  mereka.

Dan ini bukan hanya terjadi di Situ Gintung. Sebelumnya,   “turis bencana” juga  hadir di lokasi  bencana lainnya, seperti tsunami di Aceh, atau  gempa di Yogyakarta.

Sayangnya, mereka hanya menonton. Bukan menyingsingkan lengan baju (atau buka dompet) untuk membantu!

Seorang Perwira di Facebook

Di fotonya dia terlihat gagah dalam balutan seragam loreng hijau.  Penampilannya akan makin gagah kalau fotonya  sepenuh badan,  sehingga akan nampak  pistol yang menggantung di pinggangnya.

Wajahnya  tak berubah. Jadi,  makin yakinlah saya kalau  itu Hasan,  teman semasa SD dulu.

Saya tidak bertemu langsung dengannya. Situs pertemanan  Facebook-lah yang mempertemukan kami. Segera saya sapa dia.  “Apa kabar, komandan. Sekarang dinas di mana?”

Sudah lama saya tahu kalau  dia  menjadi perwira TNI Angkatan Darat.  Bahkan,  berdasarkan info dari teman, dia juga pernah berdinas di  pasukan  khusus.  Namun  sudah lebih dari dua dekade kami tak bertemu. Jadi saya  tak tahu  perkembangan karir kawan satu ini.

Dari jawabannya yang masuk ke dinding saya di Facebook (FB), tahulah saya kalau dia kini berdinas di  Kalimantan.  Tepatnya menjadi komandan kodim di  salah satu kabupaten di pulau  tersebut.

Terus terang  saya surprise ketika menerima ajakan pertemanan darinya. Sebab,  kami sudah  lama  tak bertemu  dan  keikutsertaannya  di  FB menunjukkan bahwa bukan hanya kalangan sipil saja yang   terlibat, tapi militer pun turut berpatisipasi.

Saya tak punya data   ada berapa banyak militer aktif yang   menjalin pertemanan  di  FB.  Tapi, semakin banyak akan semakin baik. Karena,  di situs pertemanan seperti FB  kita bisa berteman  dengan egaliter, tanpa peduli apa pangkat dan jabatan serta status sosial yang disandang.

Dan, yang sudah pasti, kita tak perlu  membungkuk atau  hormat berlebihan di  alam maya!

Parfum Obat Bius

Parfum sering digunakan sebagai pengganti  kata   minyak  wangi. Mereka yang fanatik  dengan merek tertentu, akan  memakai  parfum  kesayangannya  seperti dia  memakai  busana atau perhiasan. Penampilan belum terasa lengkap bila  belum disemprot dengan parfum  favorit.

Di tangan orang yang “ahli”,  parfum   asli bisa ditiru sehingga menjadi  aspal (asli tapi palsu).  Itu sebabnya  ada sebagian masyarakat hanya mau membeli parfum di  tempat bergengsi, seperti mal, karena mereka percaya dengan originalitasnya.

Di tangan  orang yang tak bertanggung jawab, parfum yang sudah diolah sedemikian rupa  disalahgunakan untuk menjadi alat kejahatan.

Seorang  teman mengirim pesan via Yahoo Messenger (YM). Isinya mengingatkan agar  waspada   terhadap  penyalahgunaan parfum untuk tujuan  pembiusan.

“Hati-hati ada modus perampokan baru. Di tempat parkir, orang jualan parfum keliling. Mereka maksa untuk nge-test wangi nya, ternyata obat bius !! Please forward ke orang yang anda sayangi. Thx.”

Selama ini  tindak  kejahatan dengan modus pembiusan dilakukan  dengan  memberi  air minum atau soft drink.  Biasanya pelaku beraksi  di bus atau  terminal.  Korban ditawari  air yang sudah disuntik  dengan obat bius.  Setelah diminum, tak berapa lama korban  tak sadarkan diri. Saat itulah pelaku menguras harta benda korbannya.

Dengan adanya modus baru pembiusan melalui   penawaran parfum, masyarakat mesti melipatgandakan kewaspadaan. Bukan hanya  tawaran air minum dari orang tak dikenal, tapi  tawaran  parfum juga  mesti diwaspadai.

Alih-alih  badan jadi jadi wangi, justru  harta  yang dikuras habis. Waspadalah, waspadalah!

Mencari Golongan Darah AB

Di zaman serba canggih seperti sekarang, banyak cara  menyebarluaskan informasi, termasuk meminta bantuan dari sesama.

Saat lagi asyik mengetik,  datang satu pesan dari Yahoo Messenger (YM).  “Bantu forward ya.. dan please dirantaikan… Dicari golongan darah AB, dan bersedia membantu seorang sahabat: Dian, kanker otak stadium 4. Hub: Ketut (081804167497). Tolong disebarkan…Thanks banget before…cuma copy paste doang udah ngebantu.”

Saya tak kenal dengan yang namanya Dian atau Ketut. Tapi membaca pesan itu saya jadi ikut prihatin karena Dian tengah menderita  kanker otak stadium 4. Ini penyakit serius yang  harus ditangani ekstra serius pula.

Semoga  Yang Mahakuasa  meringankan penderitaan Dian,  memanjangkan umurnya, dan menyembuhkan sakitnya.

Ultah: Antara Haru dan Malu

Membuka  Facebook (FB) hari ini  perasaan saya  campur aduk antara  haru dan malu. Sebab  tulisan di dinding saya penuh  dengan ucapan selamat   ulang tahun, baik dari teman lama maupun baru.

Saya terharu karena  demikian besar perhatian mereka kepada saya. Saya juga merasa malu  karena  selama ini  jarang memedulikan ulang  tahun teman-teman, bahkan terhadap teman lama yang sudah  saya kenal baik.

Sementara ada di antara para pengirim ucapan selamat ulang tahun itu teman-teman baru yang jarang – bahkan mungkin tak pernah  – bertegur sapa dengan saya.

Beragam  ucapan selamat ulang tahun (ultah)  mampir ke dinding saya di FB.  Ada yang singkat, seperti “Happy Birthday”, atau “Selamat Ultah, bro”.

Ada pula yang lumayan panjang. “Met Ultah Rud, moga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga”.

Ada juga yang menulis “Happy b’day, semoga menjadi insan yang bermakna…dan di cintai oleh Allah dan seluruh penghuni bumi yang mengenalmu……amin”.

Bahkan manajemen FB  pun turut mengucapkan selamat ultah. “Selamat Ulang tahun, Rudy! Dari kami semua di Tim Facebook, semoga hari Anda menyenangkan!”

Bila di FB  yang mengirim ucapan selamat ulang tahun teman-teman, lain lagi  dengan  para pengirim sms.  Seluruhnya  keluarga.  Rakhmat, kakak saya, menulis: “Selamat hari jadi, smg makin sukses, sgr dpt jodoh & sllu  mendpt rahmat  taufik n hidaya ALLAH SWT, Amin…”.

Sementara adik saya Deni menulis: “Selamat ultah, panjang umur, panjang rejeki & panjang  ibadah”.  Selain dua sms tersebut,   masih ada lagi beberapa sms dari sepupu dan ipar.

Di samping   keluarga, operator  seluler  dimana  saya tercatat sebagai pelanggannya sejak 1999, juga mengirimkan ucapan selamat. “Pelanggan Yth. Selamat ulang  tahun! Semoga  sukses selalu  menyertai Anda, salam hangat dari  XL”. Ini untuk pertama kalinya  operator seluler tersebut mengirimi saya  ucapan selamat ultah.

Atas perhatian dan ketulusan dari  keluarga, teman,  FB, dan XL, saya haturkan ribuan terima kasih.  Semoga kita semua  selalu  sehat dan  dalam lindungan Allah SWT.

Tanpa Slip Tabungan

Usai dari bengkel, siang tadi saya mampir  di Bank BNI  Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ini  adalah  ritual bulanan   menyimpan uang yang sudah dikumpulkan selama sebulan.

Saat masuk ke dalam gedung,  seorang petugas   menyapa ramah di pintu. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu,” katanya.

“Saya mau setor,” jawab saya dengan pede.

Segera saya menuju  tempat   slip tabungan.  Satu persatu  saya pilih,  belum juga  ketemu. Yang ada slip lainnya, seperti untuk penarikan dan transfer.

Slip-slip tersebut diletakkan di empat sisi. Di sisi pertama tak ada. Mutar ke sisi kedua juga tidak ada. Demikian pula di sisi ketiga dan keempat. Karena penasaran, saya kembali ke sisi pertama. Masih juga  tidak ada.

Malu bertanya sesat  di kantor. Akhirnya saya putuskan untuk bertanya kepada petugas yang tadi berdiri di pintu masuk. “Slip tabungan di sebelah mana?”

“Langsung saja ke kasir dan serahkan uang dengan buku tabungannya,” dia menjelaskan.

“Wah, ada perubahan rupanya,”  kata saya dalam  hati.

Segera saya  masuk dalam antrean.  Tak berapa lama kemudian tiba giliran saya. Seorang kasir pria menyambut saya dengan ramah.  Sapaannya sama seperti  petugas di pintu masuk tadi. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu.”

“Saya mau setor,” kata saya seraya  menyerahkan  buku tabungan dan uang yang mau ditabung.

Saat dia mengurus administrasi tabungan saya,  saya bertanya kepadanya. “Kenapa sekarang nggak pakai slip. Apa  untuk penghematan?”

“Nampaknya begitu,” ucapnya sambil tersenyum.

“Bagaimana kalau   buku tabungannya nggak dibawa?” tanya saya lagi.

“Bisa dilayani asal  ingat nomor rekeningnya. Bisa juga dengan menunjukkan kartu ATM,” jelasnya.

Sebenarnya saya mau bertanya lagi, tapi  rasanya kurang etis  kalau saya lontarkan. Sebab saya mau bilang sama petugas tersebut,  “Apa karena  yang nabung terbilang nasabah gurem, sehingga nggak lagi disediakan slip?”

Pertanyaan itu saya simpan saja. Tetapi  berbagai  pertanyaan lainnya terus berkecamuk di otak saya. “Berapa  pengeluaran yang bisa dihemat  dengan ditiadakannya slip tabungan?  Apakah selamanya   slip tabungan ditiadakan?

Sambil  menunggu pria tersebut menyelesaikan tugasnya,  saya  terus bertanya-tanya dalam hati.  “Kalau sukses, apakah model pelayanan seperti ini bakal ditiru bank lain? Bank mana yang mau menirunya?”

Usai menghitung uang saya,  petugas itu menyerahkan selembar kertas yang harus saya tandatangani.  Di kertas itu  ada beberapa data, seperti  nomor rekening,  jumlah uang yang disetor, nama penabung, dan sebagainya. “Ini pelayanan baru lagi,” kembali saya bergumam dalam hati.

Setelah menandatangani kertas tersebut, diserahkannya buku tabungan saya. “Ada lagi yang bisa dibantu?” tanyanya.

“Cukup. Terima kasih,” kata saya sambil memeriksa saldo di buku tabungan.

Saat melangkah  ke luar, petugas yang tadi menyambut di pintu masuk kembali menyapa saya. “Terima kasih atas kunjungannya. Selamat siang,” katanya sambil  membukakan pintu.

Sambil berjalan  menuju tempat parkir, dua  hal   yang baru  saya alami terus  terbayang: menabung tanpa slip, dan menandatangani  selembar kertas setelah saldo terbaru  dibukukan.

Apakah   penabung di  BNI perlu mengucapkan Selamat Tinggal kepada slip tabungan?

Kapan SIM Saya Bisa Diambil?

Urusan perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) adalah ritual lima tahunan.  Karena  empat hari lagi SIM A saya habis, maka  bergegaslah saya ke  Satlantas Polwiltabes Bandung.

Langkah pertama,  periksa kesehatan. Tapi, sebelum masuk ruang  pemeriksaan kesehatan,  di kaca tertampang  sebuah maklumat. Bunyinya sebagai  berikut.

“Diberitahukan kepada  para  pemohon   SIM untuk sementara  proses pendaftaran SIM baru   maupun  perpanjangan  tidak bisa kami layani  dikarenakan   adanya keterlambatan   materiil.  Demikian untuk menjadi maklum. Informasi hubungi: 022-4203505.”

Setelah  membaca  maklumat itu, saya  jadi ragu-ragu untuk melanjutkan rencana perpanjangan SIM. Tapi di dalam ruang pemeriksaan kesehatan kok  banyak yang antre?

Rupanya mereka yang antre memang  mau    mengikuti pemeriksaan kesehatan. Saya pun ikut dalam antrean.

Tiba giliran saya, masuklah saya dalam ruang pemeriksaan.  Setelah  cek tekanan darah dan ketajaman pandangan  mata (disuruh membaca angka dan huruf yang  imut-imut),  urusannya tinggal  masalah administrasi.

Saat membayar biaya  pemeriksaan kesehatan, petugas  yang melayani menjelaskan bahwa perpanjangan SIM bisa dilakukan. Tapi SIM asli tidak bisa  diberikan hari ini juga karena  adanya keterbatasan materiil  yang menjadi bahan  pembuatan SIM.

“Oo….., jadi itu  penyebabnya,”  gumam saya dalam hati.

Si petugas tersebut, seorang wanita PNS Polri,   menuliskan  nomor telepon 022-4203505 di belakang  kwintasi  pembayaran biaya pemeriksaan kesehatan. “Nanti bapak bisa hubungi nomor ini  untuk ngecek SIM aslinya,” katanya.

Karena sudah menjalani    tahap  pertama dari beberapa rangkain tahapan yang harus diikuti  untuk memperpanjang SIM, saya mengikuti  tahap berikutnya, yakni menuju loket pendaftaran.

Di loket tersebut, seorang petugas berpangkat Brigadir Dua (Bripda) menjelaskan, pemohon perpanjangan SIM  akan dilayani hingga  tahap pemotretan. Setelah itu akan diberi surat keterangan sebagai pengganti SIM asli. Dia juga menyarankan untuk memfoto copy SIM lama.

“Jadi,  kalau nanti ditanya polisi, tunjukkan saja  surat keterangan dan foto copy SIM yang lama,” dia menjelaskan.

Tahap kedua telah dilalui.  Selanjutnya, membayar asuransi dan  biaya  pembuatan SIM. Setelah itu mengisi data-data yang diperlukan, dilanjutkan dengan pemotretan.

Biasanya, setelah pemotretan,  pemohon  tinggal mengambil  SIM asli.  Tapi, seperti  telah dijelaskan petugas di atas,   SIM belum bisa diambil hari ini.  Sebagai  gantinya, diberikan surat keterangan seperti tertera di bawah ini.

sim

Tak ada rotan akar pun jadi. Surat keterangan itu segera saya masukkan dompet. Kata petugas di loket pengambilan SIM, seorang pria yang tak mengenakan seragam,  surat tersebut   harus ditunjukkan,   berikut KTP, sebagai syarat pengambilan  SIM asli.  Jadi tidak boleh hilang.

Meski  sudah tahu  jawabannya tak bisa dipastikan,  kembali saya bertanya tentang SIM asli. “Kapan SIM aslinya jadi?”

Sama seperti petugas  di tempat pemeriksaan kesehatan,   dia  menuliskan nomor telepon yang sama: 022-4203505. “Nanti bapak telepon dulu ke nomor ini untuk ngecek SIM-nya,” kata petugas itu.

Jadi, dalam beberapa hari ke depan,  nomor telepon tersebut pasti banyak menerima pertanyaan yang sama,  “Sudah jadi belum SIM-nya?”