Tersengal-sengal
bak kuda liar
diburu begal
hendak dijagal
penonton pun terpingkal-pingkal
Tersengal-sengal
bak kuda liar
diburu begal
hendak dijagal
penonton pun terpingkal-pingkal
BlackBerry buat cuap-cuap
black fores enak disantap
black magic berkawan dengan setan
black campaign menghantam lawan
Guk, guk, guk, si bleki pun mengangguk……..
Sayapmu patah
menghantam rumah
terhempas ke tanah
tersungkur di sawah
Api membuncah
darah pun tumpah
keluarga di rumah resah
menanti ayah
yang datang utusan pemerintah
Bersiasat adu muslihat
adu cepat adu kuat
semuanya ngaku demi rakyat
padahal yang diburu pangkat dan martabat
Awas, tuhan melihat malaikat mencatat
jangan bohong nanti kualat
jangan zalim nanti kena azab teramat dahsyat
Penyesalan itu selalu datang terlambat. Di saat jaya berbuat semena-mena, setelah tak berdaya menyesali perbuatannya. Mau meminta maaf pun tak ada yang sudi menerima.
Perjalanan untuk meminta maaf itu digarap dalam satu reality show bertajuk “Tak ada yang Abadi”, yang tayang di RCTI setiap Kamis malam.
Si peminta maaf adalah orang-orang yang pernah berbuat salah, bahkan bisa dibilang zalim, terhadap orang tua, kakak, adik, teman, atau kerabat.
Satu hal yang memprihatinkan, umumnya si peminta maaf sudah dalam keadaan terpuruk. Mungkin dia menerima “azab” atas perbuatannya. Ada yang kakinya diamputasi, menderita batuk darah, dan buta.
Dalam episode Kamis (21/5), diceritakan tentang seorang anak durhaka bernama Maria, yang berusaha meminta maaf kepada dua orang kakak dan orangtuanya.
Perempuan ini berparas manis. Namun dia sudah tak dapat melihat, sehingga jalan pun harus dituntun. Semasa jayanya, dia pernah menyakiti hati kedua orangtua dan kakak-kakaknya.
Melihat kondisi keluarganya yang sederhana, nampaknya perempuan ini dulunya korban salah pergaulan. Mungkin karena punya paras cantik, dia bergaul teramat bebas, sementara ekonomi keluarga tidak mendukung gaya hidupnya. Akibatnya terjadilah konflik, yang menimbulkan luka teramat dalam di hati orangtua dan kedua kakaknya.
Ditemani presenter “Tak ada yang Abadi”, Ali Zainal dan Zaskia Mecca, Maria memulai perjalanan meminta maaf dengan menemui Adil, kakak laki-lakinya, di satu tempat di Jakarta.
Tak ada sambutan positif atas permintaan maaf Maria. Yang keluar dari mulut Adil hanyalah makian, sumpah serapah, dan luapan emosi yang tak terbendung. Nampaknya berat baginya untuk memaafkan adiknya yang satu ini.
Bahkan dari gerakan tangan dan kakinya, terlihat dia geregetan ingin menghajar anak durhaka itu. Entah apa jadinya bila Maria tak didamping Zaskia dan Ali.
Meski tak mendapat maaf dari Adil, Tuhan masih membukakan jalan bagi Maria untuk bertemu orangtuanya. Adil memang tidak memberi alamat orangtua mereka. Namun dia menyuruh Maria menemui kakak perempuannya yang bernama Tina, yang bekerja di satu studio foto.
Saat ditemui, Tina tengah menjaga studio foto itu. Tugasnya melayani pelanggan. Namun tak ada pengunjung lain di studio itu saat Maria, Ali dan Zaskia datang.
Mulanya Tina berusaha menghindar. Dia bersikap seakan tak kenal dengan Maria. Namun Maria yang hafal dengan suaranya, yakin kalau yang dia hadapi adalah Tina, kakaknya.
Maria berusaha memeluk Tina dan meminta maaf. Namun bukan sambutan ramah yang diterima, tetapi kata-kata keras dan kasar yang terlontar dari mulut Tina. Dia bahkan menyatakan Maria itu “anak haram”, yang dipungut orangtuanya dari tong sampah, dan tak tahu balas budi.
Misi Maria untuk meminta maaf ke Tina tak berhasil. Bahkan Tina tak mau dimintai alamat orangtuanya. Tina mengusir Maria, dan menyuruhnya untuk kembali menemui Adil.
Saat ditemui untuk kedua kalinya, sikap Adil tak berubah. Dia enggan memberi maaf karena masih merasa sakit hati dengan perlakuan Maria.
Saking gemasnya, dia sampai hati menuangkan kopi panas di dalam botol ke sekujur tubuh perempuan buta itu. Adegan ini disaksikan orang banyak. Dan sepertinya Adil tak menyesali perbuatannya.
Meski didesak untuk memberi tahu alamat orangtuanya, lelaki ini bergeming. Dia malah menunjukkan nomor telepon seorang perempuan bernama Tante Sali kepada Ali Zainal.
“Buruan lu catet, sudah itu pergi dari sini,” perintahnya sambil menyerahkan hp-nya kepada Ali. Tante Sali adalah kerabat Adil, yang punya usaha katering.
Setelah nomor hp Tante Sali dipindahkan ke hp-nya Ali, mereka pun pergi meninggalkan Adil. Zaskia mencoba menghubungi Sali, berpura-pura mau memesan katering. Mereka pun membuat janji untuk bertemu.
Keesokan harinya, Sali bersedia ditemui di pasar. Kebetulan dia tengah membeli ikan. Dia mengaku mengenakan baju hitam dan tas kuning.
Di tempat pedagang ikan, memang ada seorang perempuan mengenakan baju hitam dan tas kuning, tengah berbelanja. Namun saat didekati, dia menghindar dan mengaku bukan Sali. “Nama saya Suli, bukan Sali,” katanya sambil berlalu.
Namun Zaskia tak kehilangan akal. Dia menelepon hp-nya Sali, dan dari dalam tasnya terdengar dering hp. “Itu hp-nya bunyi,” kata Zaskia.
Namun perempuan itu tetap bersikukuh dirinya bukan Sali. Sementara Maria, yang mengandalkan indera pendengarannya, yakin kalau itu Tante Sali. Dia berusaha memeluk, namun Sali terus menghindar dan meninggalkan mereka menuju tempat mangkal mikrolet.
Di sini kegigihan Ali Zainal dan Zaskia Mecca patut diacungi jempol. Sali yang telah naik mikrolet terus mereka buru. Sambil menuntun Maria, mereka ikut naik ke dalam mikrolet yang sedang ngetem.
Kamera terus mengambil gambar suasana di dalam mikrolet. Tampak Sali tak bisa menyembunyikan kegusarannya karena terus dikejar. Saking kesalnya, dari mulutnya sampai terlontar kata-kata “anak haram yang dipungut dari pinggir sungai”.
Ini berarti tuduhan “anak haram” kedua yang ditujukan kepada Maria. Bedanya pada lokasi penemuannya. Versi Tina, si “anak haram” ditemukan di tempat sampah. Sedangkan versi Sali, ditemukan di pinggir sungai. Mana yang benar?
Kegigihan Maria, Ali dan Zainal membuahkan hasil. Meski diselingi sumpah serapah, Sali memberi petunjuk keberadaan orangtua Maria. “Bapak lu jualan roti. Rumahnya di pinggir kali,” katanya.
Berbekal petunjuk tersebut, mereka melanjutkan perburuan meminta maaf. Kepada masyarakat di sekitar rumah Pak Doni, nama ayah Maria, mereka mencari informasi keberadaan penjual roti tersebut. Seorang pria memberi petunjuk tempat Doni berada, berikut ciri-cirinya yang mengenakan topi.
Tak jauh dari tempat mereka bertanya, ada seorang pria paruh baya yang sedang merapihkan alat transportasi, sekaligus tempatnya berjualan roti. Semula Ali dan Zaskia bertanya tentang keberadaan Pak Doni kepadanya. Namun dia hanya diam dan menggelengkan kepala.
Tapi insting Maria berkata lain. Dia yakin itu ayahnya, dan berusaha memeluknya. Namun lelaki itu terus menghindar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bujukan Ali dan Zaskia tak juga bisa membuatnya bicara. Dia terus membisu.
Lelaki itu berlalu meninggalkan mereka menuju satu rumah, dan masuk ke dalamnya. Ali, Zainal dan Maria mengikutinya. Di sinilah ending dari reality show ini.
Melihat suaminya pulang diiringi tiga orang, istri lelaki itu pun keluar. Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Tak ada pula emosi dan reaksi berlebihan ketika dia melihat Maria.
Yakin kalau itu ibunya, Maria langsung memeluk dan menangis meminta maaf. Tak ada penolakan dari ibunya. Dia bahkan balas memeluk anak durhaka itu. Sementara sang ayahnya hanya berdiri mematung menyaksikan drama mengharukan itu.
Tiba-tiba Maria membuat surprise. “Mas, tolong airnya,” pintanya kepada Ali. Ali pun tanggap. Dia segera ke belakang mencari air, dan muncul kembali sambil membawa baskom berisi air. Rupanya Maria ingin membasuh kaki ibunya.
Tidak hanya membasuh, Maria juga mencium kaki ibunya. Lalu air bekas membasuh kaki sang bunda diminumnya. Meski durhaka, ternyata dia masih ingat kalau surga itu ada di telapak kaki ibu.
Kesempatan itu dimanfaatkannya juga untuk konfirmasi soal statusnya. “Apa benar saya ini bukan anak kandung ibu?” tanyanya.
“Kamu anak kandung ibu,” tegas sang ibu. Dengan pernyataan itu, maka terbantahlah tudingan kalau dia “anak haram”.
Usai membasuh dan mencium kaki ibunya, dia beralih memeluk dan meminta maaf ke ayahnya. Setelah memeluk tubuh ayahnya, dia turun ke kaki, bersimpuh dan mencium kaki ayahnya.
Reality show ini pun berakhir dengan happy ending karena si peminta maaf berhasil mendapatkan maaf dari orang yang pernah disakitinya.
Setiap orang punya salah. Namun kadarnya berbeda-beda. Ada yang kesalahannya ringan, ada pula yang berat.
Dari beberapa episode yang pernah ditayangkan, nampaknya semua peminta maaf pernah melakukan kesalahan berat, yang sulit dilupakan oleh mereka yang disakiti hatinya. Luka hati yang teramat dalam membuat mereka enggan memberi maaf.
Acara ini tentu tidak didesain untuk menjadi ajang balas dendam. Apalagi si peminta maaf sudah dalam keadaan terpuruk, menyadari kesalahannya, dan mendapat “azab” dari perbuatannya. Jadi berilah maaf agar dia bisa mendapat ketenangan di sisa hidupnya.
Namun acara ini nampaknya berusaha fokus menggambarkan kegigihan si peminta maaf menemui orang-orang yang pernah dia sakiti. Pemirsa kurang mendapat informasi tentang kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.
Harusnya, ada petikan wawancara berupa testimoni dari orang yang pernah disakiti tentang kesalahan apa saja yang pernah dilakukan si peminta maaf.
Mungkin karena keterbatasan waktu, yang ditayangkan hanya keterangan tertulis tentang jati diri si peminta maaf berikut track record-nya. Jadi informasi tentang perbuatan apa yang pernah dia lakukan terasa kurang mendalam.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, acara ini bisa menjadi tuntunan, bukan hanya tontonan, bagi pemirsa. Hikmahnya, jangan sekali-kali berbuat zalim, apalagi kepada keluarga, khususnya orangtua. Apa yang dialami Maria adalah contoh nyata dari kezaliman itu.
Hikmah lainnya, janganlah menjadi pendendam karena memberi maaf itu lebih utama daripada memelihara dendam di hati.
Soundtrack reality show ini, “Tak ada yang Abadi” (Peterpan), sudah mengingatkan akan fananya dunia ini. Jadi, berilah maaf sebelum kita meninggalkan dunia fana ini.
Judul buku: The Road to Muhammad
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan dan Muthahhari Press
Tebal: xxxviii + 384 halaman
Banyak cara untuk mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih. Umumnya dilakukan dengan memberi sesuatu, entah itu hadiah atau sekedar perhatian melalui kata-kata mesra dan penuh kasih sayang.
Khusus untuk Rasulullah SAW, sebagian umat Islam mengutarakan rasa cintanya melalui pembacaan shalawat, atau memperingati hari lahirnya (Maulid). Namun ada pula yang menganggap memperingati Maulid sebagai bid’ah. Begitu pula dengan membaca shalawat.
Bagi seorang Jalaluddin Rakhmat, menulis buku berisi ajakan untuk mencintai Nabi SAW, dan mengkritisi tarikh (sejarah hidup)-nya yang sudah tercemar riwayat-riwayat yang merendahkan kehormatannya, adalah wujud kecintaan kepada kekasih Allah tersebut. Buku ini buktinya.
Kang Jalal bertekad menulis buku tentang Rasulullah setiap memperingati Maulid Nabi. Menurut editor buku ini, Miftah F. Rakhmat, Kang Jalal, yang juga ayahnya, selalu ingin memberikan “kado sederhana” untuk “manusia termulia”.
Setelah menulis The Road to Allah, kini dia menulis The Road to Muhammad, yang isinya mengingatkan kita semua bahwa tak mungkin kita sampai pada Allah tanpa kecintaan Rasulullah. Dengan kata lain, cinta Nabi rindu Rabbani. (hal xxiv)
Buku ini bukan biografi Nabi. Namun isinya menjelaskan berbagai keutamaan Nabi, baik sebagai reformis agung, kekasih tersuci, maupun guru termulia. Ada juga yang membahas tentang penderitaan dan penghinaan terhadap Rasulullah dan keluarganya.
Berkaitan dengan kecintaan seorang muslim kepada Allah dan Rasul-Nya, Kang Jalal menjelaskan, ada beberapa cara yang digunakan untuk menjauhkan umat Islam dari Allah. Antara lain, dengan memupus kecintaan umat kepada Rasulullah.
Cara ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, memasukkan riwayat-riwayat yang merendahkan Rasulullah, seperti riwayat yang meletakkan Rasulullah – kalau tidak paling bawah – pada peringkat kedua setelah para sahabat.
Kedua, karena umat harus mencintai Rasulullah lewat keluarganya, keluarga Rasulullah disingkirkan perlahan-lahan. Mereka, kata Kang Jalal, disingkirkan sebagai panutan, sebagai imam kaum Muslim.
Ketiga, menyingkirkan keluarga Rasulullah dari shalawat sehingga tinggal shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Kang Jalal, dalam perjalanan sejarah, bahkan sampai sekarang, telah terjadi bukan saja penyingkiran keluarga Muhammad dari shalawat, melainkan juga penyingkiran shalawat itu sendiri. (hal 20-21)
Dia menilai, saat ini penentangan terhadap kecintaan kepada Rasulullah sangat keras. Ada sebagian dari umat yang bukan saja takut melakukannya, melainkan juga khawatir amalnya terhapus karena dituduh musyrik.
Begitu juga dengan ritual berdiri untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah – yang mula-mula dibid’ahkan – kini sudah dimusyrikkan. Ada yang mengecam praktek seperti itu bukan kecintaan, melainkan kultus individu. Istilah tersebut, menurut Kang Jalal, dimunculkan untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah (hal 215).
Kang Jalal mengaku dirinya dulu pernah membid’ahkan orang yang berdiri mengucapkan shalawat kepada Rasulullah. Dia juga pernah menganggap Rasulullah itu manusia biasa.
“Kalau boleh saya katakan, dalam sejarah hidup saya, sebenarnya tercermin sejarah kaum Muslim dalam hubungannya dengan kecintaan kepada Rasulullah,” dia mengungkapkan.
Sadar akan kekeliruannya selama ini, kini dia mengajak mengucapkan shalawat kepada Nabi untuk mengungkapkan cinta kita kepadanya. Dia menegaskan, kalau ada yang mengatakan bahwa hal itu bid’ah, biarlah semua orang tahu bahwa kita pelaku bid’ah.
Lebih ekstrem lagi, dia menyatakan, “Kalau Islam tidak menghormati Rasulullah, kita ucapkan saja selamat tinggal kepada Islam.” (hal 216)
Mengenai keluarga Nabi (Ahlul Bait), dia menilai banyak umat yang meninggalkan kecintaan kepada Ahlul Bait dikarenakan faktor politik. Sebab, sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait adalah kelompok yang tertindas secara politik, karena kekuasaaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi.
Jadi, secara perlahan, Ahlul Bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan, Ahlul Bait disingkirkan dari shalawat kaum Muslim.
Kang Jalal berpendapat, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu, dia menyarankan, kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim, persatukanlah dari titik pertemuan ini, yaitu dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah. (hal 229-230)
Berbagai pendapat Kang Jalal dalam buku ini bisa menimbulkan pro-kontra. Mereka yang sudah terbiasa dengan tradisi bershalawat dan merayakan Maulid Nabi, tentu sependapat dengannya.
Berbeda halnya dengan mereka yang “kritis” terhadap ritual-ritual tersebut. Pasti mereka akan mengkritisi saran dan pendapat Kang Jalal menyangkut tradisi bershalawat dan peringatan Maulid tersebut. Bahkan mungkin ada pula yang mengecam pendapat-pendapat tersebut sebagai bid’ah.
Pembaca yang bijak pasti bisa menilai dengan arif isi buku ini. Bila sependapat, silakan amalkan. Jika tidak, tak perlu buru-buru membid’ahkan, tapi sanggahlah pendapat tersebut dengan cara yang elegan.
Sebenarnya ulang tahunnya sudah lewat. Jumat lalu dia merayakan hari jadinya. Tak disebutkan yang ke berapa. “Usia makin berkurang, nih,” kata Syukri, teman sekantor saya via sms.
Jumat lalu kami sekantor mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Tak ada acara apa pun. Tak ada tiup lilin atau traktir makan siang.
Rupanya dia sudah menyiapkan satu acara hari ini. Pagi-pagi dia kirim sms. “Untuk makan siang sdh disiapin dr Depok. Kalau bs ke kantornya jangan terlalu kesiangan, ok.”
“Sip. Thx,” balas saya.
Biasanya saya ke kantor ba’da zuhur. Hari ini sebelum zuhur sudah berangkat biar sampai kantor pas makan siang. Sebelumnya mampir dulu di satu jasa pengiriman barang, karena mau kirim paket ke Lampung.
Tiba di kantor, di meja yang punya multifungsi (tempat baca koran, rapat, makan, dsb), sudah terhidang nasi kuning dengan lauk pauknya: gulai ikan mas, gulai ayam, perkedel, tempe orek, dan krupuk. Untuk cuci mulut ada puding. Itu semua hasil olahan Nyonya Sukri yang jago masak.
Usai salat zuhur, santap siang pun dimulai. Diselingi obrolan soal capres-cawapres, tak terasa satu piring sudah tandas. Tak perlu malu, nasi kuning kembali berpindah ke piring. Begitu juga dengan gulai ikan mas dan ayamnya.
Alhamdulillah. Makan siang kali ini terasa nikmat karena masakannya sedap, dan disantap berjamaah dengan teman-teman sekantor.
Happy birthday. Panjang umurnya serta mulia, Syukri Rivai.
Saya bertemu dengannya di satu warung makan padang di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Saat saya lagi asyik menyantap nasi dengan lauk ayam sayur, dia datang. Setelah berbasa-basi sebentar, dia pun memesan nasi dengan lauk telur dadar, lalu duduk di hadapan saya.
Robert, nama teman tersebut, bekerja di Departemen Keuangan (Depkeu). Dari gaya bicaranya, bisa ditebak kalau asalnya dari Sumatera Utara.
Sebagaimana galibnya perbincangan di warung makan, tak ada sesuatu yang serius yang kami bicarakan. Paling-paling membicarakan pekerjaan, sekaligus ngerumpi soal atasannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu, yang kini sudah menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) di Depkeu.
Pembicaraan baru menjadi “serius” setelah menyangkut soal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Saya yang memulai pembicaraan setelah saya teringat nama Boediono, yang kini santer diberitakan sebagai cawapresnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebetulan pula, Boediono pernah menjadi Menteri Keuangan.
“Pak Boediono bakal jadi wapres, tuh,” kata saya dengan yakin, padahal deklarasi pasangan SBY-Boediono belum juga dilakukan.
“Kalau itu (Boediono) saya setuju. Dia orangnya sopan sekali. Kalau bertemu kita-kita (pegawai Depkeu) selalu disapanya.”
“Memangnya menteri yang lain nggak pernah nyapa?” pancing saya.
Mendengar pertanyaan itu, maka nyerocoslah ia sambil membandingkan Boediono dengan penggantinya.
“Kalau yang sekarang sombong. Kalau ketemu lempang (lewat) saja. Sudah itu, kalau tak suka dengan seseorang langsung diganti,” bebernya.
Selama dia nyerocos, saya hanya mendengarkan saja. Memang, seperti diberitakan media massa, banyak terjadi perombakan jabatan di lingkungan Departemen Keuangan.
Tapi itu semua dilakukan untuk mereformasi departemen tersebut, dan pendapat satu orang pegawai seperti Robert adalah pendapat pribadi, yang terkesan subyektif.
Nasi di piring tandas sudah. Pembicaraan saya dengan Robert sudah ngalor-ngidul ke sana ke mari. Tiba waktunya berpisah, saya pun pamit. Kami kembali ke kantor masing-masing.
Tiba di kantor, saya disambut tumpukan koran, yang halaman satunya dijejali berita soal Boediono yang hampir pasti jadi cawapresnya SBY.
Beragam komentar soal pencalonan itu. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Yang kecewa, sudah ambil ancang-ancang untuk bikin poros baru. Padahal waktunya sudah mepet. Entah apa dan siapa yang mereka harapkan untuk bisa merebut kekuasaan.
Ada pula yang memprediksi pasangan SBY-Boediono kurang menjual, karena tidak merepresentasikan pasangan Jawa-luar Jawa. Ada juga yang mempermasalahkan mazhab neo liberal yang dianut Boediono.
Membaca berbagai prediksi dan analisa itu saya jadi teringat dengan Robert. Sebagai orang luar Jawa, dia tidak mempermasalahkan komposisi Jawa-luar Jawa atau Jawa-Jawa.
Bagi orang seperti dia, figur pemimpin itu, selain punya kredibilitas, harus santun, merakyat, tidak korupsi, dan peduli dengan lingkungannya.
Disapa dengan tutur kata yang halus dan lemah lembut, orang seperti Robert pun tersentuh hatinya. Namun bukan hanya seorang Robert yang harus disentuh hatinya dalam pilpres nanti. Apalagi nama Boediono belum begitu dikenal rakyat.
Bisakah Boediono menaklukkan hati rakyat untuk memilihnya?
Ini bukan cerita tentang kucing atau hewan peliharaan lainnya. Bukan pula tentang kendaraan pribadi. Tapi tentang sebuah warna yang erat hubungannya dengan dunia politik Indonesia.
Si Putih pertama adalah si Rambut Putih, Hatta Rajasa. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini pekan lalu telah diusulkan sebagai calon wakil presiden (wapres)-nya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Keputusan itu ditetapkan dalam rapat kerja nasional (rakernas) PAN di Yogyakarta. Namun keputusan itu tidak sepenuhnya didukung para kader partai berlambang matahari itu. DPW PAN Jawa Timur menolak keputusan itu. Mereka memilih walk out (WO) dari forum tersebut.
Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir (SB) juga tidak sreg dengan keputusan partainya sendiri. Bahkan beredar kabar dia akan mengundurkan diri. Namun hingga kini tak ada pernyataan resmi dari SB soal pengunduran diri itu. Jati dirinya pun belakangan ini tak pernah nampak di depan publik. Entah manuver apa yang akan dilakukannya.
Si Rambut Putih kembali bikin berita setelah dia datang ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Kepada wartawan dia mengaku membicarakan masalah rumah yang ditempati Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Katanya, rumah itu telah menjadi milik Mega.
Si Putih kedua adalah Moncong Putih alias PDI Perjuangan. Kedatangan si Rambut Putih ke kediaman bos Moncong Putih ternyata tak hanya membicarakan masalah rumah. Dia juga membawa misi membuka komunikasi politik yang lama terputus antara SBY dan Mega.
Hasilnya, kini di kubu Moncong Putih muncul aspirasi untuk merapat ke Partai Demokrat dalam pemilihan presiden nanti. Sementara keputusan pencapresan Megawati, secara resmi, belum dicabut. Namun hingga kini belum juga ada kejelasan siapa calon wakil presidennya.
Manuver si Rambut Putih membuat peta politik makin dinamis. Banyak yang memperkirakan peluangnya menjadi calon pendamping SBY makin kuat, karena telah dipercaya sebagai penghubung dengan kubu Megawati, yang selama ini terlibat perang dingin dengan SBY.
SBY tidak mempercayakan tugas tersebut kepada orang dalam Partai Demokrat. Ini bukti besarnya kepercayaan SBY kepada si Rambut Putih.
Tapi, di mata pengamat politik, manuver itu dinilai sebagai taktik untuk memecah belah Moncong Putih. Sebab, kini aspirasi di partai tersebut terbelah dua. Ada yang ingin merapat ke kubu SBY, namun ada pula yang menolak koalisi dengan Partai Demokrat.
Konon, tawaran untuk berkoalisi itu dengan imbalan kekuasaan yang cukup menggiurkan, yakni kursi di kabinet untuk kader-kader Moncong Putih. Mereka yang sudah bosan beroposisi, tentu tergiur dengan tawaran itu. Siapa sih yang tak mau berkuasa?
Golongan putih (golput) merupakan si Putih ketiga yang punya lakon belakangan ini. Kongres golput di Yogyakarta, akhir pekan lalu, dibubarkan secara paksa oleh Poltabes Yogyakarta. Alasannya, penyelenggara acara itu tak bisa menunjukkan surat izin dari Mabes Polri.
Di layar kaca, nampak tayangan Sri Bintang Pamungkas, mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), digelandang polisi. Begitu pula dengan para aktivis lainnya.
Pembubaran acara itu mengundang protes dari LBH Yogyakarta. Mereka berencana mengadukan tindakan polisi membubarkan acara itu ke Komnas HAM dan Kapolri.
Bila di Yogyakarta kongresnya dibubarkan, di Jakarta golput juga bikin berita. Kali ini cukup “membanggakan” karena, berdasarkan pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah golput mengungguli jumlah suara yang berhasil diraih Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu.
Jumlah golput mencapai 49,677 juta orang, atau 29,01% dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah sebesar itu melampaui perolehan suara Demokrat sebesar 20,85%.
Bahkan, angka golput melampaui gabungan suara pemenang kedua, Golkar (14,45%), dan PDI Perjuangan (14,03%) sebagai pemenang ketiga. Jadi, tak berlebihan kiranya bila dikatakan golputlah pemenang pemilu sesungguhnya.
Lakon si Putih belum berakhir hingga di sini. Belum ada kepastian tentang nasib si Rambut Putih. Jadikah ia menjadi calon wapresnya SBY? Itu semua masih menunggu pengumuman resmi kubu SBY, pekan ini.
Begitu pula dengan Moncong Putih. Jadikah mereka berkoalisi dengan Partai Demokrat? Atau tetap bergabung dengan koalisi besar yang sudah digagas bersama Golkar, Partai Hanura, dan Gerindra?
Kalau Moncong Putih jadi merapat ke Demokrat, tentu batal pula pencapresan Megawati. Apakah keputusan tersebut tidak akan melukai perasaan massa Moncong Putih di tingkat akar rumput?
Massa yang kecewa bisa saja meninggalkan Moncong Putih pada 2014 nanti. Ini perlu menjadi pertimbangan petinggi Moncong Putih bila tidak ingin suara mereka makin kempes dalam pemilu lima tahun lagi.
Lakon golput juga belum berakhir. Hasil pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti perlu dicermati, apakah pemenangnya salah satu pasangan yang bertarung, atau golput kembali yang berjaya?
Bila pemerintah serius menyempurnakan daftar pemilih tetap (DPT), mungkin jumlah golput akan berkurang. Namun, bila tak ada perubahan berarti, bisa-bisa golput lagi yang jadi pemenangnya.
Mari kita tunggu lakon si Putih berikutnya!
Indonesia baru saja menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (ADB) ke-42, yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 2-5 Mei 2009.
Dalam rangka acara tersebut, PT Pos Indonesia menerbitkan Sampul Peringatan bertema “Bali 2009”.
Sampul Peringatan yang dirancang oleh Tata Sugiarta itu dicetak sebanyak 3.000 buah, dan dijual seharga Rp 15.000.