Nafas

Tersengal-sengal

bak kuda liar

diburu begal

hendak dijagal

penonton pun terpingkal-pingkal

Black

BlackBerry buat cuap-cuap

black fores  enak disantap

black magic berkawan dengan setan

black campaign menghantam lawan


Guk, guk, guk,  si bleki pun mengangguk……..

Burung Besi Malang

Sayapmu patah

menghantam rumah

terhempas ke tanah

tersungkur di sawah


Api  membuncah

darah  pun tumpah

keluarga di rumah resah

menanti ayah

yang datang utusan pemerintah

Berburu Pangkat

Bersiasat adu muslihat

adu cepat adu kuat

semuanya ngaku demi rakyat

padahal yang diburu pangkat dan martabat


Awas, tuhan melihat malaikat mencatat

jangan  bohong nanti kualat

jangan zalim nanti kena azab teramat dahsyat

Anak Durhaka Itu Mencium dan Membasuh Kaki Ibunya

Penyesalan itu selalu datang terlambat.  Di saat jaya  berbuat semena-mena,  setelah tak berdaya menyesali perbuatannya.  Mau meminta maaf pun tak  ada yang sudi menerima.

Perjalanan untuk meminta  maaf  itu  digarap dalam satu reality show  bertajuk “Tak ada  yang Abadi”, yang tayang di RCTI setiap Kamis malam.

Si peminta maaf adalah orang-orang yang pernah  berbuat salah, bahkan  bisa dibilang zalim, terhadap   orang tua, kakak, adik, teman, atau kerabat.

Satu hal yang memprihatinkan, umumnya si peminta maaf  sudah dalam keadaan terpuruk. Mungkin dia menerima “azab”  atas perbuatannya. Ada yang kakinya  diamputasi,   menderita batuk darah,  dan buta.

Dalam  episode  Kamis (21/5), diceritakan tentang seorang anak durhaka bernama Maria,  yang berusaha meminta maaf kepada dua orang kakak dan orangtuanya.

Perempuan ini berparas manis. Namun dia  sudah tak dapat melihat, sehingga jalan pun harus dituntun.  Semasa jayanya,  dia pernah  menyakiti hati   kedua orangtua dan  kakak-kakaknya.

Melihat kondisi keluarganya yang sederhana,  nampaknya  perempuan ini  dulunya korban salah pergaulan.  Mungkin karena punya paras cantik,  dia  bergaul  teramat bebas, sementara ekonomi keluarga tidak mendukung  gaya hidupnya. Akibatnya  terjadilah konflik,  yang menimbulkan luka teramat dalam   di hati orangtua dan kedua kakaknya.

Ditemani presenter  “Tak ada  yang Abadi”, Ali Zainal dan Zaskia Mecca,  Maria  memulai perjalanan meminta maaf dengan menemui Adil, kakak laki-lakinya,  di satu tempat di Jakarta.

Tak ada  sambutan   positif atas permintaan maaf  Maria. Yang keluar dari mulut  Adil  hanyalah makian, sumpah serapah,  dan luapan emosi  yang tak terbendung. Nampaknya berat baginya untuk memaafkan adiknya yang satu ini.

Bahkan dari gerakan  tangan dan kakinya, terlihat dia geregetan ingin  menghajar  anak durhaka itu. Entah apa jadinya bila  Maria tak didamping Zaskia dan Ali.

Meski  tak mendapat maaf dari Adil,  Tuhan masih membukakan jalan  bagi Maria untuk bertemu orangtuanya. Adil memang tidak memberi alamat orangtua mereka. Namun dia menyuruh  Maria menemui kakak perempuannya yang bernama Tina,  yang bekerja di satu studio foto.

Saat ditemui, Tina  tengah menjaga  studio  foto itu. Tugasnya melayani  pelanggan. Namun tak ada pengunjung  lain di studio itu saat Maria, Ali dan Zaskia  datang.

Mulanya  Tina berusaha menghindar. Dia bersikap  seakan tak kenal  dengan Maria. Namun Maria yang hafal dengan suaranya, yakin kalau  yang dia hadapi adalah Tina, kakaknya.

Maria berusaha memeluk Tina dan meminta maaf. Namun bukan  sambutan ramah yang diterima,  tetapi kata-kata keras dan kasar yang terlontar dari mulut Tina.  Dia bahkan menyatakan Maria itu “anak haram”, yang dipungut  orangtuanya  dari tong sampah, dan tak tahu balas budi.

Misi Maria untuk meminta maaf  ke Tina tak berhasil.  Bahkan  Tina tak  mau dimintai alamat orangtuanya. Tina mengusir  Maria, dan menyuruhnya untuk kembali menemui Adil.

Saat ditemui untuk kedua kalinya, sikap Adil tak berubah. Dia enggan memberi maaf karena masih merasa sakit hati dengan perlakuan Maria.

Saking gemasnya,  dia sampai hati  menuangkan kopi panas di dalam  botol ke sekujur tubuh perempuan buta itu. Adegan ini disaksikan orang banyak.  Dan sepertinya Adil tak menyesali perbuatannya.

Meski didesak untuk memberi tahu alamat orangtuanya, lelaki ini bergeming. Dia malah menunjukkan nomor telepon seorang perempuan bernama   Tante Sali kepada  Ali Zainal.

“Buruan lu catet, sudah itu pergi dari sini,” perintahnya sambil menyerahkan hp-nya kepada Ali. Tante Sali adalah  kerabat Adil, yang  punya usaha  katering.

Setelah nomor hp  Tante Sali dipindahkan ke hp-nya Ali,  mereka pun pergi meninggalkan     Adil.  Zaskia mencoba  menghubungi  Sali, berpura-pura mau  memesan katering.  Mereka pun membuat janji untuk bertemu.

Keesokan harinya,   Sali bersedia  ditemui di pasar. Kebetulan dia tengah membeli ikan. Dia mengaku  mengenakan baju hitam dan tas kuning.

Di tempat pedagang ikan,  memang ada seorang perempuan mengenakan  baju  hitam  dan tas kuning, tengah berbelanja.  Namun saat didekati,  dia menghindar dan mengaku bukan Sali. “Nama saya Suli, bukan Sali,” katanya sambil  berlalu.

Namun Zaskia tak kehilangan akal. Dia  menelepon hp-nya Sali, dan dari dalam tasnya  terdengar dering hp. “Itu hp-nya bunyi,” kata Zaskia.

Namun  perempuan itu   tetap bersikukuh  dirinya  bukan  Sali.  Sementara  Maria, yang mengandalkan indera pendengarannya, yakin kalau itu Tante Sali.  Dia berusaha memeluk, namun Sali terus menghindar dan meninggalkan mereka menuju  tempat mangkal  mikrolet.

Di sini kegigihan  Ali Zainal   dan Zaskia Mecca patut diacungi jempol.  Sali  yang telah naik mikrolet terus mereka  buru.  Sambil menuntun  Maria, mereka  ikut naik ke dalam mikrolet yang sedang ngetem.

Kamera terus mengambil gambar suasana di dalam mikrolet.   Tampak  Sali tak bisa menyembunyikan kegusarannya karena terus  dikejar. Saking kesalnya, dari mulutnya sampai terlontar kata-kata “anak haram yang dipungut  dari pinggir sungai”.

Ini berarti tuduhan “anak haram” kedua  yang ditujukan kepada Maria. Bedanya pada lokasi penemuannya. Versi Tina,  si “anak haram” ditemukan di tempat sampah. Sedangkan versi  Sali, ditemukan di pinggir sungai. Mana yang benar?

Kegigihan  Maria, Ali dan Zainal membuahkan hasil. Meski  diselingi sumpah serapah, Sali memberi  petunjuk keberadaan  orangtua Maria. “Bapak lu jualan roti. Rumahnya di pinggir kali,”  katanya.

Berbekal petunjuk tersebut,  mereka melanjutkan perburuan meminta maaf. Kepada masyarakat  di sekitar  rumah Pak Doni, nama ayah Maria,  mereka mencari informasi keberadaan penjual roti tersebut.  Seorang  pria memberi petunjuk tempat    Doni berada, berikut ciri-cirinya yang mengenakan topi.

Tak jauh dari  tempat mereka bertanya,   ada seorang pria paruh baya yang sedang  merapihkan  alat transportasi, sekaligus tempatnya berjualan roti. Semula Ali dan Zaskia bertanya  tentang keberadaan Pak Doni kepadanya. Namun dia hanya diam dan menggelengkan kepala.

Tapi insting Maria berkata lain. Dia yakin itu ayahnya, dan berusaha memeluknya. Namun lelaki itu  terus menghindar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bujukan Ali dan Zaskia tak juga bisa membuatnya  bicara. Dia terus membisu.

Lelaki itu  berlalu meninggalkan mereka menuju satu rumah, dan masuk ke dalamnya. Ali, Zainal dan Maria mengikutinya. Di sinilah  ending dari  reality show ini.

Melihat  suaminya  pulang  diiringi  tiga orang, istri lelaki itu pun keluar.   Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Tak ada pula  emosi dan reaksi berlebihan  ketika   dia melihat  Maria.

Yakin kalau  itu ibunya,  Maria langsung memeluk dan menangis meminta maaf.  Tak ada penolakan dari ibunya. Dia bahkan  balas memeluk anak durhaka itu. Sementara sang ayahnya  hanya berdiri mematung menyaksikan drama mengharukan itu.

Tiba-tiba Maria membuat surprise.  “Mas,  tolong airnya,” pintanya kepada  Ali.  Ali pun tanggap.  Dia segera   ke belakang  mencari air, dan muncul kembali sambil membawa  baskom berisi air. Rupanya  Maria ingin membasuh kaki ibunya.

Tidak hanya membasuh,  Maria juga mencium kaki ibunya. Lalu air  bekas membasuh kaki sang bunda diminumnya. Meski   durhaka,  ternyata  dia masih ingat  kalau surga  itu ada di telapak kaki ibu.

Kesempatan itu dimanfaatkannya juga untuk konfirmasi soal  statusnya. “Apa benar saya ini bukan anak kandung  ibu?” tanyanya.

“Kamu anak kandung ibu,” tegas sang ibu.  Dengan pernyataan itu, maka  terbantahlah  tudingan kalau dia “anak haram”.

Usai membasuh dan mencium kaki ibunya, dia beralih memeluk dan meminta maaf ke ayahnya. Setelah memeluk tubuh ayahnya, dia turun ke kaki, bersimpuh dan mencium kaki ayahnya.

Reality show ini pun berakhir dengan happy ending karena  si peminta maaf berhasil mendapatkan maaf  dari orang yang pernah disakitinya.

Setiap orang  punya salah. Namun kadarnya berbeda-beda. Ada yang kesalahannya ringan, ada pula yang berat.

Dari beberapa episode yang pernah ditayangkan,  nampaknya semua  peminta maaf pernah melakukan kesalahan berat, yang sulit dilupakan oleh mereka yang disakiti hatinya. Luka hati yang teramat dalam membuat mereka enggan memberi maaf.

Acara ini tentu tidak didesain untuk menjadi ajang  balas dendam. Apalagi si peminta  maaf sudah dalam keadaan terpuruk, menyadari kesalahannya,  dan mendapat “azab” dari perbuatannya. Jadi berilah maaf agar dia bisa mendapat ketenangan  di sisa hidupnya.

Namun  acara ini  nampaknya berusaha fokus  menggambarkan  kegigihan si peminta maaf  menemui orang-orang yang pernah dia sakiti. Pemirsa kurang mendapat informasi  tentang  kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.

Harusnya, ada  petikan wawancara berupa testimoni   dari  orang yang pernah disakiti tentang kesalahan apa saja yang pernah dilakukan    si  peminta maaf.

Mungkin karena keterbatasan waktu, yang ditayangkan  hanya keterangan tertulis tentang jati diri  si peminta maaf berikut   track record-nya. Jadi informasi tentang perbuatan apa yang pernah dia lakukan terasa kurang mendalam.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya,  acara ini bisa menjadi tuntunan,  bukan hanya tontonan, bagi pemirsa. Hikmahnya, jangan sekali-kali berbuat zalim, apalagi kepada  keluarga, khususnya  orangtua. Apa yang dialami  Maria adalah  contoh nyata dari kezaliman itu.

Hikmah lainnya, janganlah menjadi pendendam karena memberi maaf itu lebih  utama daripada  memelihara dendam di hati.

Soundtrack reality show ini, “Tak ada yang Abadi” (Peterpan), sudah mengingatkan akan fananya  dunia ini.  Jadi, berilah maaf sebelum   kita meninggalkan dunia fana ini.

Dari Jalaluddin Rakhmat untuk Rasulullah SAW

Judul buku:  The Road to Muhammad

Penulis: Jalaluddin Rakhmat

Penerbit: Mizan dan Muthahhari Press

Tebal:  xxxviii + 384 halaman

Muhammad

Banyak cara  untuk mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih.  Umumnya dilakukan dengan memberi sesuatu, entah    itu  hadiah atau sekedar perhatian melalui kata-kata mesra dan penuh  kasih sayang.

Khusus untuk Rasulullah SAW,  sebagian umat Islam  mengutarakan rasa cintanya  melalui   pembacaan shalawat, atau memperingati  hari lahirnya (Maulid).  Namun ada pula  yang  menganggap  memperingati Maulid  sebagai bid’ah. Begitu pula dengan membaca shalawat.

Bagi seorang  Jalaluddin Rakhmat,    menulis buku  berisi ajakan untuk mencintai Nabi SAW, dan  mengkritisi   tarikh (sejarah hidup)-nya yang  sudah   tercemar  riwayat-riwayat yang merendahkan kehormatannya, adalah wujud kecintaan kepada  kekasih Allah tersebut.  Buku ini  buktinya.

Kang Jalal   bertekad  menulis buku tentang Rasulullah  setiap memperingati  Maulid Nabi. Menurut editor buku ini, Miftah F. Rakhmat,  Kang Jalal, yang juga ayahnya,  selalu  ingin  memberikan “kado sederhana” untuk “manusia termulia”.

Setelah menulis The Road to Allah,   kini dia menulis  The Road  to  Muhammad, yang  isinya mengingatkan kita semua bahwa tak mungkin kita sampai  pada Allah tanpa  kecintaan  Rasulullah. Dengan kata lain,  cinta Nabi rindu  Rabbani. (hal xxiv)

Buku ini bukan biografi Nabi.  Namun  isinya menjelaskan  berbagai keutamaan Nabi,  baik sebagai  reformis agung,  kekasih tersuci, maupun  guru termulia. Ada juga    yang  membahas tentang  penderitaan dan penghinaan terhadap  Rasulullah dan keluarganya.

Berkaitan dengan kecintaan seorang muslim kepada  Allah dan Rasul-Nya,  Kang Jalal menjelaskan, ada beberapa cara   yang digunakan untuk  menjauhkan  umat Islam dari  Allah. Antara lain,   dengan memupus kecintaan   umat kepada Rasulullah.

Cara ini dilakukan  dengan  beberapa   tahapan. Pertama,   memasukkan riwayat-riwayat  yang merendahkan Rasulullah, seperti riwayat yang meletakkan Rasulullah – kalau tidak paling bawah – pada peringkat kedua  setelah para sahabat.

Kedua,    karena umat   harus mencintai   Rasulullah lewat  keluarganya, keluarga  Rasulullah  disingkirkan perlahan-lahan. Mereka, kata Kang Jalal,  disingkirkan  sebagai panutan,  sebagai  imam kaum Muslim.

Ketiga,    menyingkirkan  keluarga  Rasulullah dari shalawat    sehingga tinggal shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Kang Jalal,  dalam perjalanan sejarah, bahkan sampai sekarang, telah terjadi bukan saja penyingkiran  keluarga Muhammad dari shalawat,  melainkan juga penyingkiran shalawat  itu sendiri. (hal 20-21)

Dia menilai,  saat ini penentangan  terhadap kecintaan kepada Rasulullah  sangat   keras.  Ada sebagian dari umat yang bukan saja takut   melakukannya,  melainkan juga khawatir   amalnya terhapus karena  dituduh musyrik.

Begitu juga dengan  ritual berdiri untuk membacakan   shalawat   kepada Rasulullah – yang mula-mula dibid’ahkan – kini  sudah dimusyrikkan.   Ada yang mengecam praktek seperti itu  bukan kecintaan,  melainkan kultus individu.  Istilah tersebut,  menurut Kang Jalal,   dimunculkan   untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah (hal  215).

Kang Jalal mengaku  dirinya dulu pernah membid’ahkan  orang yang berdiri  mengucapkan shalawat kepada Rasulullah. Dia juga pernah menganggap   Rasulullah itu  manusia biasa.

“Kalau boleh  saya katakan,    dalam sejarah hidup saya, sebenarnya   tercermin  sejarah kaum Muslim dalam hubungannya  dengan kecintaan kepada Rasulullah,”  dia mengungkapkan.

Sadar akan kekeliruannya selama ini,  kini dia mengajak mengucapkan shalawat  kepada Nabi untuk mengungkapkan  cinta  kita kepadanya. Dia menegaskan,   kalau  ada  yang mengatakan bahwa  hal itu bid’ah, biarlah semua orang    tahu bahwa  kita pelaku bid’ah.

Lebih ekstrem lagi, dia menyatakan, “Kalau Islam   tidak menghormati Rasulullah,  kita ucapkan saja  selamat tinggal kepada Islam.” (hal 216)

Mengenai  keluarga Nabi (Ahlul Bait), dia menilai  banyak umat  yang meninggalkan kecintaan kepada  Ahlul Bait  dikarenakan faktor politik.   Sebab, sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait  adalah kelompok yang tertindas secara  politik, karena kekuasaaan dipegang oleh orang-orang  yang memusuhi keluarga Nabi.

Jadi, secara  perlahan,  Ahlul Bait   disingkirkan  dari pentas  kehidupan umat.  Bahkan,  Ahlul Bait disingkirkan   dari shalawat  kaum Muslim.

Kang Jalal berpendapat,   kecintaan kepada keluarga Nabi adalah   titik temu dari  semua mazhab. Karena itu, dia menyarankan,   kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim,  persatukanlah  dari titik  pertemuan ini, yaitu  dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah.   (hal 229-230)

Berbagai pendapat  Kang Jalal dalam buku ini bisa menimbulkan pro-kontra. Mereka yang sudah terbiasa  dengan  tradisi bershalawat  dan merayakan Maulid Nabi, tentu sependapat dengannya.

Berbeda  halnya  dengan mereka  yang  “kritis” terhadap  ritual-ritual tersebut. Pasti  mereka  akan mengkritisi saran dan pendapat Kang Jalal menyangkut  tradisi  bershalawat dan peringatan Maulid tersebut. Bahkan   mungkin ada pula  yang mengecam pendapat-pendapat tersebut sebagai bid’ah.

Pembaca yang bijak pasti bisa  menilai dengan arif isi buku ini. Bila sependapat, silakan amalkan. Jika  tidak, tak perlu buru-buru membid’ahkan, tapi sanggahlah pendapat tersebut dengan cara yang  elegan.

Ultah Syukri

Sebenarnya  ulang tahunnya sudah lewat. Jumat lalu   dia merayakan hari jadinya. Tak disebutkan yang ke berapa. “Usia makin berkurang, nih,” kata Syukri, teman sekantor saya   via sms.

Jumat lalu kami sekantor  mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Tak ada acara apa pun.   Tak ada tiup lilin atau traktir  makan siang.

Rupanya  dia sudah menyiapkan satu acara  hari ini.  Pagi-pagi  dia kirim sms. “Untuk makan siang sdh  disiapin  dr Depok. Kalau bs ke kantornya  jangan terlalu  kesiangan, ok.”

“Sip. Thx,” balas saya.

Biasanya saya ke kantor ba’da zuhur. Hari ini sebelum zuhur sudah berangkat biar sampai kantor pas makan siang. Sebelumnya  mampir  dulu di satu jasa pengiriman barang, karena  mau kirim paket ke Lampung.

Tiba di kantor,  di meja  yang punya  multifungsi (tempat baca koran,  rapat, makan, dsb),   sudah  terhidang  nasi kuning dengan lauk pauknya:  gulai ikan mas, gulai ayam,  perkedel, tempe orek, dan krupuk. Untuk cuci mulut ada puding.   Itu semua  hasil olahan  Nyonya Sukri yang jago masak.

Usai  salat zuhur,    santap siang pun dimulai.  Diselingi obrolan soal  capres-cawapres, tak terasa satu piring sudah tandas.  Tak perlu malu, nasi kuning kembali  berpindah ke piring. Begitu juga dengan gulai ikan mas dan ayamnya.

Alhamdulillah.  Makan siang kali ini terasa nikmat  karena  masakannya sedap, dan  disantap  berjamaah dengan teman-teman sekantor.

Happy birthday. Panjang umurnya serta mulia, Syukri Rivai.

Memperbincangkan Boediono

Saya bertemu dengannya  di satu warung makan  padang di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Saat saya lagi asyik menyantap  nasi dengan lauk ayam sayur, dia  datang.  Setelah berbasa-basi sebentar,  dia pun memesan  nasi dengan lauk telur dadar, lalu duduk di hadapan saya.

Robert, nama teman tersebut,  bekerja di Departemen Keuangan (Depkeu).  Dari gaya bicaranya, bisa ditebak  kalau  asalnya dari Sumatera Utara.

Sebagaimana galibnya perbincangan  di warung makan, tak  ada sesuatu yang serius  yang kami bicarakan. Paling-paling membicarakan pekerjaan,  sekaligus  ngerumpi soal atasannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu, yang kini sudah menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) di Depkeu.

Pembicaraan baru menjadi “serius” setelah  menyangkut soal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).  Saya yang memulai pembicaraan setelah saya teringat   nama  Boediono, yang kini santer diberitakan sebagai cawapresnya  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebetulan  pula, Boediono pernah menjadi Menteri Keuangan.

“Pak Boediono bakal jadi wapres, tuh,” kata saya dengan yakin, padahal deklarasi pasangan SBY-Boediono belum juga dilakukan.

“Kalau itu (Boediono)  saya setuju.  Dia orangnya sopan sekali.  Kalau bertemu kita-kita (pegawai Depkeu)  selalu disapanya.”

“Memangnya menteri yang lain nggak pernah nyapa?” pancing saya.

Mendengar pertanyaan itu, maka nyerocoslah ia  sambil membandingkan  Boediono dengan penggantinya.

“Kalau yang sekarang sombong. Kalau ketemu lempang (lewat) saja.  Sudah itu,  kalau tak suka  dengan seseorang langsung diganti,” bebernya.

Selama dia  nyerocos, saya hanya mendengarkan saja.  Memang,  seperti diberitakan media massa, banyak terjadi perombakan  jabatan di lingkungan Departemen Keuangan.

Tapi itu semua  dilakukan untuk mereformasi departemen   tersebut, dan pendapat satu orang pegawai seperti Robert   adalah pendapat pribadi, yang terkesan subyektif.

Nasi di piring tandas sudah.   Pembicaraan  saya dengan Robert sudah ngalor-ngidul ke sana ke mari.  Tiba waktunya  berpisah, saya pun pamit. Kami kembali ke kantor masing-masing.

Tiba di kantor, saya disambut tumpukan koran, yang  halaman satunya dijejali berita soal Boediono yang  hampir pasti jadi  cawapresnya SBY.

Beragam komentar  soal pencalonan itu. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Yang kecewa, sudah ambil ancang-ancang untuk bikin poros baru. Padahal waktunya sudah mepet. Entah  apa dan siapa yang mereka harapkan untuk bisa  merebut kekuasaan.

Ada pula yang memprediksi pasangan SBY-Boediono kurang menjual, karena  tidak  merepresentasikan pasangan Jawa-luar Jawa. Ada juga yang mempermasalahkan mazhab neo liberal yang dianut Boediono.

Membaca berbagai prediksi dan analisa itu saya jadi teringat dengan Robert.  Sebagai orang luar Jawa, dia tidak mempermasalahkan   komposisi  Jawa-luar Jawa atau Jawa-Jawa.

Bagi orang seperti dia, figur pemimpin itu, selain punya kredibilitas,    harus santun,  merakyat, tidak korupsi, dan   peduli dengan lingkungannya.

Disapa dengan tutur kata yang halus dan lemah lembut,  orang seperti  Robert  pun  tersentuh hatinya. Namun bukan hanya  seorang  Robert  yang harus disentuh hatinya dalam pilpres nanti. Apalagi nama Boediono  belum begitu dikenal rakyat.

Bisakah  Boediono menaklukkan hati rakyat untuk memilihnya?

Lakon si Putih

Ini bukan cerita  tentang  kucing atau hewan peliharaan lainnya. Bukan pula tentang   kendaraan pribadi. Tapi tentang sebuah warna  yang  erat hubungannya  dengan dunia politik Indonesia.

Si Putih  pertama  adalah  si Rambut Putih, Hatta Rajasa.  Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini  pekan lalu    telah  diusulkan sebagai calon wakil presiden (wapres)-nya  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Keputusan itu  ditetapkan dalam rapat kerja nasional (rakernas) PAN di Yogyakarta. Namun keputusan itu  tidak sepenuhnya didukung  para kader partai  berlambang matahari itu.  DPW PAN Jawa Timur menolak  keputusan itu. Mereka memilih walk out (WO)  dari  forum tersebut.

Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir (SB) juga tidak  sreg  dengan keputusan partainya sendiri. Bahkan beredar kabar dia akan mengundurkan diri. Namun hingga kini tak ada pernyataan resmi dari SB  soal pengunduran diri itu.  Jati dirinya pun belakangan ini  tak pernah  nampak di depan publik. Entah manuver apa yang akan dilakukannya.

Si Rambut Putih kembali bikin berita  setelah dia  datang ke kediaman  Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri.  Kepada wartawan dia mengaku membicarakan masalah rumah yang ditempati Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Katanya, rumah itu  telah menjadi milik Mega.

Si Putih kedua adalah  Moncong Putih alias PDI Perjuangan.  Kedatangan  si Rambut Putih  ke  kediaman  bos Moncong Putih  ternyata  tak hanya  membicarakan masalah rumah.  Dia juga  membawa misi  membuka komunikasi politik yang lama  terputus antara  SBY dan Mega.

Hasilnya, kini di kubu  Moncong Putih  muncul  aspirasi untuk merapat ke Partai Demokrat  dalam pemilihan presiden nanti. Sementara  keputusan pencapresan Megawati, secara resmi, belum dicabut. Namun hingga kini belum juga ada kejelasan  siapa calon wakil presidennya.

Manuver  si Rambut Putih membuat  peta politik makin dinamis.  Banyak yang memperkirakan peluangnya menjadi calon pendamping  SBY makin kuat, karena telah dipercaya   sebagai   penghubung  dengan kubu Megawati, yang selama ini terlibat perang dingin dengan SBY.

SBY tidak mempercayakan tugas  tersebut kepada  orang  dalam Partai Demokrat. Ini  bukti  besarnya kepercayaan SBY kepada si Rambut Putih.

Tapi, di mata pengamat politik, manuver  itu dinilai sebagai   taktik untuk memecah belah  Moncong Putih. Sebab,   kini  aspirasi  di partai tersebut  terbelah dua. Ada yang ingin merapat ke  kubu SBY, namun ada pula yang  menolak  koalisi dengan Partai Demokrat.

Konon,   tawaran  untuk berkoalisi itu dengan imbalan kekuasaan yang cukup menggiurkan, yakni  kursi di kabinet untuk kader-kader Moncong Putih.  Mereka yang sudah  bosan beroposisi, tentu  tergiur  dengan tawaran itu. Siapa sih yang tak mau  berkuasa?

Golongan putih (golput)  merupakan si Putih ketiga yang punya lakon belakangan ini.   Kongres   golput di Yogyakarta, akhir pekan lalu,  dibubarkan  secara paksa oleh   Poltabes Yogyakarta. Alasannya,  penyelenggara acara itu tak bisa menunjukkan surat izin dari Mabes Polri.

Di layar kaca, nampak  tayangan  Sri Bintang Pamungkas, mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), digelandang polisi.  Begitu pula  dengan para aktivis lainnya.

Pembubaran acara itu mengundang protes  dari LBH Yogyakarta. Mereka berencana mengadukan tindakan polisi membubarkan acara itu ke Komnas HAM dan Kapolri.

Bila di Yogyakarta kongresnya  dibubarkan,  di Jakarta golput juga bikin berita.  Kali ini cukup “membanggakan” karena, berdasarkan pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU),    jumlah  golput mengungguli  jumlah suara yang berhasil diraih Partai Demokrat sebagai  pemenang pemilu.

Jumlah golput  mencapai 49,677 juta orang, atau  29,01% dari jumlah pemilih yang terdaftar  dalam daftar pemilih tetap (DPT).  Jumlah sebesar  itu melampaui perolehan suara  Demokrat sebesar 20,85%.

Bahkan, angka golput  melampaui gabungan   suara pemenang kedua, Golkar (14,45%),  dan PDI Perjuangan (14,03%) sebagai pemenang ketiga. Jadi, tak berlebihan kiranya  bila dikatakan golputlah pemenang pemilu sesungguhnya.

Lakon si Putih belum  berakhir hingga di sini.  Belum ada kepastian tentang nasib si Rambut Putih.  Jadikah ia  menjadi calon wapresnya SBY? Itu semua masih menunggu pengumuman resmi kubu SBY,  pekan ini.

Begitu pula  dengan Moncong Putih. Jadikah mereka berkoalisi dengan Partai Demokrat? Atau tetap bergabung dengan koalisi besar yang sudah digagas bersama Golkar,  Partai Hanura, dan Gerindra?

Kalau  Moncong Putih  jadi merapat ke Demokrat,  tentu   batal pula pencapresan Megawati. Apakah  keputusan tersebut tidak akan melukai perasaan massa Moncong Putih di tingkat akar rumput?

Massa yang kecewa bisa saja meninggalkan Moncong Putih pada 2014 nanti. Ini perlu  menjadi  pertimbangan petinggi Moncong Putih bila tidak ingin suara  mereka  makin kempes dalam pemilu lima  tahun lagi.

Lakon golput juga belum berakhir. Hasil pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti   perlu dicermati, apakah  pemenangnya salah satu  pasangan yang bertarung, atau golput kembali yang berjaya?

Bila pemerintah serius menyempurnakan daftar pemilih tetap (DPT), mungkin   jumlah golput  akan berkurang. Namun,  bila tak ada perubahan berarti,  bisa-bisa golput lagi yang jadi pemenangnya.

Mari kita tunggu  lakon si Putih berikutnya!

Sampul Peringatan Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur ADB ke-42

Indonesia baru saja menjadi tuan rumah  Pertemuan Tahunan  Dewan Gubernur Bank  Pembangunan Asia (ADB) ke-42, yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 2-5 Mei 2009.

Dalam rangka  acara tersebut, PT Pos Indonesia  menerbitkan Sampul Peringatan  bertema “Bali 2009”.

adb

Sampul  Peringatan yang dirancang oleh  Tata Sugiarta itu dicetak sebanyak  3.000 buah, dan  dijual seharga Rp 15.000.