Ketika hayat tak lagi dikandung badan
manusia kembali ke keabadian
hanya membawa kain kafan
tak lagi berguna harta dan jabatan
Ketika hayat tak lagi dikandung badan
manusia kembali ke keabadian
hanya membawa kain kafan
tak lagi berguna harta dan jabatan
Percaya nggak percaya
teroris masih ada
tempat ibadah sasarannya
meledakkan diri demi surga
Ada yang kemaruk harta
ada pula yang gila kuasa
seakan hidup di dunia selamanya
mati tak satu pun dibawa
Pelajar kembali tawuran
kali ini lawannya wartawan
polisi lepas tembakan peringatan
yang tawuran tak menghiraukan
Ada yang diduga korupsi
ada pula yang ketahuan poligami
sampai digugat cerai sang istri
itulah kelakuan para menteri terkini
Judul buku: Jenderal Tanpa Angkatan
Memoar Eddie M. Nalapraya
Penulis: Ramadhan KH, Iskadir Chotob, Feris Yuarsa
Penerbit: Zig Zag Creative, 2011
Tebal: xvi + 268 halaman
Nama Eddie M. Nalapraya lekat dengan dunia pencak silat. Dipercaya sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dan Presiden Persilat selama beberapa periode, namanya seakan identik dengan bela diri asli Indonesia tersebut.
Pensiunan Mayor Jenderal itu berjasa memajukan pencak silat sehingga dikenal di dunia internasional. Atas pengabdiannya, pemerintah menganugerahinya Bintang Mahaputra Pratama pada 2010.
Bukan hanya itu aktivitas kemasyarakatan yang dia geluti. Sebagai pendiri Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI), Eddie juga dianugerahi gelar sebagai Bapak RAPI. Dan sebagai penggemar musik dangdut, mantan Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus) Betawi itu berperan dalam mengupayakan tayangnya dangdut di TVRI beberapa dekade lalu.
Di kalangan aktivis 77/78, nama Eddie terbilang harum dan simpatik. Sebagai Asisten I/Intel Kodam Jaya, Eddie-lah yang bertugas menangkap para aktivis tersebut. Namun dia tak memperlakukan mereka dengan kasar, apalagi sampai menyiksa. Para aktivis itu ditangkap untuk dibina lalu dilepas kembali. Dia memperlakukan mereka seperti orang tua terhadap anaknya yang nakal.
Tak heran bila para aktivis menaruh hormat kepada pria kelahiran Tanjung Priok. Bahkan ada yang bersedia menyerahkan diri padanya.
Aktivis 77/78 menjulukinya sebagai Rektor Kampus Kuning. Sejatinya tak ada Kampus Kuning dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia. Nama tersebut merujuk pada tempat tahanan di markas Batalyon Infanteri 202 Taji Malela di Bekasi. Banyak aktivis yang ditangkap Eddie ditahan di sana. Atas inisiatifnya, tempat tahanan itu dicat kuning, sehingga para aktivis menjulukinya Kampus Kuning, dan dia didapuk sebagai rektornya.
Hubungan baik Eddie dengan para aktivis terus berlanjut hingga kini. Meski sudah lama pensiun, dia selalu diundang setiap kali acara reuni aktivis 77/78. Kepada mereka, Eddie berpesan untuk terus berpikir dan bersikap kritis seperti dulu saat masih jadi aktivis.
Buku ini merupakan memoar Eddie Nalapraya, yang berisikan kisah hidupnya sejak kecil hingga sepuh. Sebagai militer, pria tersebut sudah angkat senjata sejak usia belasan tahun dengan bergabung di Tentara Pelajar Tasikmalaya.
Selama berkarir di dunia militer, Eddie mengalami berbagai penugasan penting seperti operasi militer menumpas PRRI/Permesta dan DI/TII. Dia juga ikut tergabung dalam pasukan penjaga perdamaian Garuda II, yang bertugas di Kongo.
Setelah peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, Eddie dipercaya menjadi Komandan Kawal Pribadi Presiden Soeharto.
Tugas berikutnya adalah di bidang intelijen dengan menjadi Asisten I/Intel Kodam Jaya. Sosok Eddie yang luwes dan pandai bergaul membuatnya bisa merangkul berbagai kalangan dan membuatnya menjadi intel yang tidak seram, namun disegani.
Pergaulannya yang luas membuatnya dikenal berbagai kalangan, termasuk aktivis seperti Amir Biki, yang tewas dalam peristiwa Tanjung Priok, 1984.
Pada saat itu, meski sudah dikaryakan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Eddie-lah tokoh yang berinisiatif mengembalikan jenazah Amir Biki kepada keluarganya. Sebuah tindakan yang terbilang berani di saat banyak pihak masih dilanda kebingungan atas terjadinya peristiwa yang banyak menelan korban itu.
Pribadi Eddie Nalapraya yang berani, luwes dan tegas patut diteladani. Setelah terjadi peralihan rezim dari orde baru ke reformasi, di saat banyak bekas petinggi dilupakan orang, namanya tetap harum dan disegani. Itu adalah buah dari pengabdiannya yang tulus dan simpatik selama bertugas.
Kepribadian Jenderal seperti Eddie yang suka bergaul dan bermasyarakat pantas ditiru para perwira yang masih bertugas.
Judul buku: Jalan Jihad Sang Dokter
Penulis: dr. Joserizal Jurnalis & Rita T. Budiarti
Penerbit: Qanita, 2011
Tebal: xxii + 310 halaman
Darah itu amis! Semua orang tahu, apalagi mereka yang berkecimpung di dunia medis.
Tapi tidak dengan darah syuhada. Berdasarkan kesaksian dr. Joserizal Jurnalis, Ketua Presidium MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), darah mereka tidak berbau amis. Hal itu ditemuinya saat menjalankan misi kemanusiaan di medan konflik seperti Maluku dan Palestina.
Bahkan ada syuhada yang bermandikan darah masih sempat melantunkan ayat-ayat suci al Qur’an tentang perintah berjihad. Subhanallah.
Buku ini berisi kisah Joserizal dan Tim MER-C menjalankan misa kemanusiaan di medan konflik, khususnya Maluku dan Palestina. Sejak didirikan 12 tahun lalu, MER-C tak pernah lelah menjalankan misi kemanusiaan untuk menolong para korban tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras dan golongan.
Tentu perjuangan menembus medan konflik tak bisa disamakan dengan pesiar ke tempat wisata. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari birokrasi yang berbelit hingga terkena peluru nyasar. Hanya mereka yang bermental baja dan siap mati saja yang sanggup menjalaninya. Tentu saja didasari dengan keikhlasan karena kerja kemanusiaan di daerah konfik tak ada imbalannya.
Selain menjalankan misi kemanusiaan menolong korban agresi Israel, Tim MER-C juga berusaha mendirikan Rumah Sakit Indonesia di Palestina. Selain dana, mereka juga membutuhkan dukungan dari pemerintah Indonesia dan Palestina.
Usaha tersebut tidak sia-sia karena mendapat respon positif dari pemerintah kedua negara. Liku-liku pendirian rumah sakit itu diceritakan pula dalam buku ini.
Karena dinilai berhasil menjalankan misi kemanusiaan di Palestina, birokrasi yang dihadapi MER-C saat merintis pendirian rumah sakit terbilang lancar. Pihak KBRI di Mesir, misalnya, antusias membantu. Padahal saat MER-C berusaha masuk ke Palestina untuk membantu korban agresi Israel, mereka terkesan ogah-ogahan membantu.
Saat itui Joserizal sempat bicara keras kepada Duta Besar Ri di Mesir. “Bagaimana ini? Membantu sesama muslim saja tidak bisa. Kalau begini bisa jadi Imam Samudera kita semua?” katanya berang. (hal 122)
Kini proses pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara, Palestina, masih berlangsung. Rumah sakit itu akan menjadi saksi kepedulian rakyat Indonesia terhadap nasib saudara-saudaranya di Palestina. Semoga segalanya lancar dan diberkahi Allah SWT.
Saat gelap atau terang
jangan lengah di Cipularang
tak perlu ngebut terlalu kencang
keluarga di rumah menunggumu pulang
Stadion Senayan dijejali penonton
mereka mendukung tim Garuda.
Pertandingan terhenti karena letusan mercon
sudahlah kalah terancam denda.
Maksud hati puasa Syawal
apa daya terlanjur batal
rasa lapar masih bisa ditangkal
tapi cuaca panas tak bisa dicekal