Di masa orde baru (orba), stabilitas politik adalah panglima. Betapa pentingnya stabilitas politik bagi rezim orba bisa dilihat dari trilogi pembangunan, yang menempatkan stabilitas politik pada urutan pertama.
Agar politik stabil, segalanya harus terkontrol dan berada di bawah pengawasan rezim. Untuk memudahkan pengawasan, dilakukanlah berbagai penyeragaman. Mulai dari asas ormas dan parpol, hingga pembentukan organisasi profesi, semua dibuat tunggal.
Organisasi apa saja harus mencantumkan Pancasila sebagai asas. Pilihannya hanya dua: terima asas tunggal, atau bubar!
Berbagai profesi dikumpulkan dalam satu wadah. Petani disatukan di HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), nelayan di HNSI (Himpunan Nelayasan Seluruh Indonsia), guru di PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), buruh di SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), ulama di MUI (Majelis Ulama Indonesia), pemuda di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan sebagainya.
Semuanya berlangsung tertib, aman, dan terkendali. Setelah rezim orba tumbang, organisasi-organisasi tersebut masih tetap eksis, meski ada pula beberapa organisasi tandingan didirikan.
SPSI, misalnya, tetap eksis. Namun buruh yang tak mau bergabung ke organisasi tersebut mendirikan organisasi baru, seperti SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia), dan Gaspermindo.
Bila berbagai organisasi profesi bersatu – atau disatukan – di masa orba, lain halnya dengan organisasi para advokat. Mereka justru membentuk wadah tunggal bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) setelah terjadi pergantian rezim.
Pada 21 Desember 2004, wadah tunggal itu didirikan oleh para advokat yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai proses pembentukan Peradi tidak sah. “Hanya beberapa orang yang berkumpul dan mengatasnamakan advokat Indonesia mendirikan Peradi. Anggaran dasarnya dibuat belakangan, anggaran rumah tangga saja tidak ada. Ini semua harus dikoreksi,” katanya, seperti dikutip Media Indonesia, Jumat (30/5).
Seruan Buyung untuk melakukan koreksi tersebut mendapat dukungan dari para advokat lainnya. Empat organisasi pendiri Peradi, yakni Ikadin, IPHI, HAPI, dan APSI, menyepakati untuk menyelenggarakan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Kongres yang dilaksanakan Jumat dan Sabtu (30-31 Mei) di Balai Sudirman, Jakarta, itu merupakan upaya perlawanan terhadap wadah tunggal advokat.
Penyelenggaraan KAI memancing reaksi pimpinan Peradi. Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan sangat menyayangkan adanya rencana sekelompok advokat yang menyelenggarakan KAI.
“KAI adalah tidak sah karena bertentangan dengan UU Advokat, merugikan dan menafikan eksistensi 19.000 advokat anggota Peradi, termasuk sekitar 1.500 advokat baru yang diangkat tahun 2007,” dia menjelaskan, sebagaimana dilaporkan Rakyat Merdeka, Jumat (30/5).
Otto menyatakan protes keras bila Presiden hadir dalam KAI. “Demi menjaga kehormatan Peradi dan kehormatan anggota Peradi, kami memprotes keras apabila Presiden hadir membuka kongres tersebut,” ucapnya.
Nasib Peradi mirip dengan organisasi pendahulunya, Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Sekitar dua dekade lalu, Peradin pecah karena konflik di antara para pengurusnya, yang mencapai kulminasi pada pelaksanaan Munas yang panas, dan diwarnai baku hantam. Akibatnya, sebagian advokat mendirikan AAI, dan yang lainnya bergabung dalam Ikadin.
Sejarah nampaknya kembali berulang. Organisasi apa lagi yang akan dilahirkan oleh KAI?
Mei 30, 2008
Kategori: Hukum, Tidak terkategori . Tag:AAI, Adnan Buyung Nasution, advokat, AKHI, APSI, Balai Sudirman, HAPI, HKHPM, Hukum, Ikadin, IPHI, Kongres Advokat Indonesia, Media Indonesia, Organisasi, Otto Hasibuan, Peradi, Peradin, Rakyat Merdeka, SPI . Penulis: dyhary . Comments: 2 Komentar