Gerimis di kala subuh membuat saya kembali tidur usai salat subuh. Sekitar jam 6, telepon di rumah berdering. “Siapa pula pagi-pagi sudah telepon,” kata saya dalam hati.
Karena telepon sudah diangkat oleh pembantu, saya tetap bermalas-malasan di tempat tidur. Tak lama kemudian pembantu memanggil. Rupanya telepon dari Tavip, kakak saya.
Setelah berbasa-basi dan ketawa-ketiwi, Tavip menyampaikan berita duka. Putra salah seorang tante kami meninggal dunia. Usianya 20-an tahun.
Trenyuh hati saya mendengar berita duka itu. Sebab tante tersebut sudah menjanda, dan salah seorang putranya juga sudah mendahuluinya menghadap Sang Khalik. Jadi, hingga hari ini, dia sudah ditinggal selamanya oleh tiga orang terdekatnya.
Tiga hari lalu, kami juga baru kehilangan salah seorang paman yang berpulang ke rakhmatullah dalam usia 78 tahun. Bulan lalu, ibunda saya tutup usia tepat sepekan setelah dia berulang tahun ke 76.
Kematian itu pasti adanya. Tak bisa ditolak walau kita sembunyi di tempat paling rahasia sekali pun.
Maut bisa datang menjemput siapa saja tanpa pandang bulu. Besar-kecil, tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin, bila sudah waktunya dipanggil menghadap Ilahi, harus memenuhinya.
Saya jadi teringat saat mengurus jenazah paman di RS Pertamina Pusat, Minggu (15/2). Setelah jenazah beliau selesai dimandikan dan disalatkan, datang lagi satu jenazah. Dari namanya, jenazah itu adalah seorang pria dewasa. Saya tak tahu berapa umurnya. Bisa 50-an, 60-an, atau 70-an seperti almarhum paman.
Keluarga jenazah tersebut rupanya akan memandikan dan menyalatkan almarhum di rumah duka. Setelah ambulance datang, jenazah itu diberangkatkan.
Tak lama setelah ambulance bertolak, datanglah serombongan orang ke kamar jenazah. Berada paling depan dalam rombongan itu seorang pria. Kedua tangannya terjulur ke depan, dan di atasnya ada sesuatu yang tertutup kain.
Setelah masuk ke kamar jenazah, bisa dipastikan kalau pria itu membawa jenazah bayinya. Entah berapa hari umur bayi tersebut. Tapi kalau dilihat dari ibunya yang masih memakai pakaian wanita hamil, bisa jadi umurnya baru 1-2 hari.
Saya tercenung menyaksikan rangkaian kematian itu. Dua pria dewasa dan seorang bayi dalam waktu berdekatan dipanggil kembali menghadap Ilahi Rabbi.
Siap tak siap, mereka harus memenuhi panggilan itu. Entah kapan ajal menjemput, kita tak tahu waktu dan tempatnya. Semua rahasia Allah.
Dalam acara takziah di rumah paman, seorang ustad berpesan: kematian tak perlu ditakuti karena itu sudah pasti. Yang perlu ditakuti adalah bila kita mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di alam keabadian.
Pesan itu terus terngiang di telinga. Sudah cukupkah bekal yang akan kita bawa saat kembali ke Sang Pencipta?