Berburu Pangkat

Bersiasat adu muslihat

adu cepat adu kuat

semuanya ngaku demi rakyat

padahal yang diburu pangkat dan martabat


Awas, tuhan melihat malaikat mencatat

jangan  bohong nanti kualat

jangan zalim nanti kena azab teramat dahsyat

Memperbincangkan Boediono

Saya bertemu dengannya  di satu warung makan  padang di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Saat saya lagi asyik menyantap  nasi dengan lauk ayam sayur, dia  datang.  Setelah berbasa-basi sebentar,  dia pun memesan  nasi dengan lauk telur dadar, lalu duduk di hadapan saya.

Robert, nama teman tersebut,  bekerja di Departemen Keuangan (Depkeu).  Dari gaya bicaranya, bisa ditebak  kalau  asalnya dari Sumatera Utara.

Sebagaimana galibnya perbincangan  di warung makan, tak  ada sesuatu yang serius  yang kami bicarakan. Paling-paling membicarakan pekerjaan,  sekaligus  ngerumpi soal atasannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu, yang kini sudah menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) di Depkeu.

Pembicaraan baru menjadi “serius” setelah  menyangkut soal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).  Saya yang memulai pembicaraan setelah saya teringat   nama  Boediono, yang kini santer diberitakan sebagai cawapresnya  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebetulan  pula, Boediono pernah menjadi Menteri Keuangan.

“Pak Boediono bakal jadi wapres, tuh,” kata saya dengan yakin, padahal deklarasi pasangan SBY-Boediono belum juga dilakukan.

“Kalau itu (Boediono)  saya setuju.  Dia orangnya sopan sekali.  Kalau bertemu kita-kita (pegawai Depkeu)  selalu disapanya.”

“Memangnya menteri yang lain nggak pernah nyapa?” pancing saya.

Mendengar pertanyaan itu, maka nyerocoslah ia  sambil membandingkan  Boediono dengan penggantinya.

“Kalau yang sekarang sombong. Kalau ketemu lempang (lewat) saja.  Sudah itu,  kalau tak suka  dengan seseorang langsung diganti,” bebernya.

Selama dia  nyerocos, saya hanya mendengarkan saja.  Memang,  seperti diberitakan media massa, banyak terjadi perombakan  jabatan di lingkungan Departemen Keuangan.

Tapi itu semua  dilakukan untuk mereformasi departemen   tersebut, dan pendapat satu orang pegawai seperti Robert   adalah pendapat pribadi, yang terkesan subyektif.

Nasi di piring tandas sudah.   Pembicaraan  saya dengan Robert sudah ngalor-ngidul ke sana ke mari.  Tiba waktunya  berpisah, saya pun pamit. Kami kembali ke kantor masing-masing.

Tiba di kantor, saya disambut tumpukan koran, yang  halaman satunya dijejali berita soal Boediono yang  hampir pasti jadi  cawapresnya SBY.

Beragam komentar  soal pencalonan itu. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Yang kecewa, sudah ambil ancang-ancang untuk bikin poros baru. Padahal waktunya sudah mepet. Entah  apa dan siapa yang mereka harapkan untuk bisa  merebut kekuasaan.

Ada pula yang memprediksi pasangan SBY-Boediono kurang menjual, karena  tidak  merepresentasikan pasangan Jawa-luar Jawa. Ada juga yang mempermasalahkan mazhab neo liberal yang dianut Boediono.

Membaca berbagai prediksi dan analisa itu saya jadi teringat dengan Robert.  Sebagai orang luar Jawa, dia tidak mempermasalahkan   komposisi  Jawa-luar Jawa atau Jawa-Jawa.

Bagi orang seperti dia, figur pemimpin itu, selain punya kredibilitas,    harus santun,  merakyat, tidak korupsi, dan   peduli dengan lingkungannya.

Disapa dengan tutur kata yang halus dan lemah lembut,  orang seperti  Robert  pun  tersentuh hatinya. Namun bukan hanya  seorang  Robert  yang harus disentuh hatinya dalam pilpres nanti. Apalagi nama Boediono  belum begitu dikenal rakyat.

Bisakah  Boediono menaklukkan hati rakyat untuk memilihnya?

Lakon si Putih

Ini bukan cerita  tentang  kucing atau hewan peliharaan lainnya. Bukan pula tentang   kendaraan pribadi. Tapi tentang sebuah warna  yang  erat hubungannya  dengan dunia politik Indonesia.

Si Putih  pertama  adalah  si Rambut Putih, Hatta Rajasa.  Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini  pekan lalu    telah  diusulkan sebagai calon wakil presiden (wapres)-nya  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Keputusan itu  ditetapkan dalam rapat kerja nasional (rakernas) PAN di Yogyakarta. Namun keputusan itu  tidak sepenuhnya didukung  para kader partai  berlambang matahari itu.  DPW PAN Jawa Timur menolak  keputusan itu. Mereka memilih walk out (WO)  dari  forum tersebut.

Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir (SB) juga tidak  sreg  dengan keputusan partainya sendiri. Bahkan beredar kabar dia akan mengundurkan diri. Namun hingga kini tak ada pernyataan resmi dari SB  soal pengunduran diri itu.  Jati dirinya pun belakangan ini  tak pernah  nampak di depan publik. Entah manuver apa yang akan dilakukannya.

Si Rambut Putih kembali bikin berita  setelah dia  datang ke kediaman  Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri.  Kepada wartawan dia mengaku membicarakan masalah rumah yang ditempati Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Katanya, rumah itu  telah menjadi milik Mega.

Si Putih kedua adalah  Moncong Putih alias PDI Perjuangan.  Kedatangan  si Rambut Putih  ke  kediaman  bos Moncong Putih  ternyata  tak hanya  membicarakan masalah rumah.  Dia juga  membawa misi  membuka komunikasi politik yang lama  terputus antara  SBY dan Mega.

Hasilnya, kini di kubu  Moncong Putih  muncul  aspirasi untuk merapat ke Partai Demokrat  dalam pemilihan presiden nanti. Sementara  keputusan pencapresan Megawati, secara resmi, belum dicabut. Namun hingga kini belum juga ada kejelasan  siapa calon wakil presidennya.

Manuver  si Rambut Putih membuat  peta politik makin dinamis.  Banyak yang memperkirakan peluangnya menjadi calon pendamping  SBY makin kuat, karena telah dipercaya   sebagai   penghubung  dengan kubu Megawati, yang selama ini terlibat perang dingin dengan SBY.

SBY tidak mempercayakan tugas  tersebut kepada  orang  dalam Partai Demokrat. Ini  bukti  besarnya kepercayaan SBY kepada si Rambut Putih.

Tapi, di mata pengamat politik, manuver  itu dinilai sebagai   taktik untuk memecah belah  Moncong Putih. Sebab,   kini  aspirasi  di partai tersebut  terbelah dua. Ada yang ingin merapat ke  kubu SBY, namun ada pula yang  menolak  koalisi dengan Partai Demokrat.

Konon,   tawaran  untuk berkoalisi itu dengan imbalan kekuasaan yang cukup menggiurkan, yakni  kursi di kabinet untuk kader-kader Moncong Putih.  Mereka yang sudah  bosan beroposisi, tentu  tergiur  dengan tawaran itu. Siapa sih yang tak mau  berkuasa?

Golongan putih (golput)  merupakan si Putih ketiga yang punya lakon belakangan ini.   Kongres   golput di Yogyakarta, akhir pekan lalu,  dibubarkan  secara paksa oleh   Poltabes Yogyakarta. Alasannya,  penyelenggara acara itu tak bisa menunjukkan surat izin dari Mabes Polri.

Di layar kaca, nampak  tayangan  Sri Bintang Pamungkas, mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), digelandang polisi.  Begitu pula  dengan para aktivis lainnya.

Pembubaran acara itu mengundang protes  dari LBH Yogyakarta. Mereka berencana mengadukan tindakan polisi membubarkan acara itu ke Komnas HAM dan Kapolri.

Bila di Yogyakarta kongresnya  dibubarkan,  di Jakarta golput juga bikin berita.  Kali ini cukup “membanggakan” karena, berdasarkan pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU),    jumlah  golput mengungguli  jumlah suara yang berhasil diraih Partai Demokrat sebagai  pemenang pemilu.

Jumlah golput  mencapai 49,677 juta orang, atau  29,01% dari jumlah pemilih yang terdaftar  dalam daftar pemilih tetap (DPT).  Jumlah sebesar  itu melampaui perolehan suara  Demokrat sebesar 20,85%.

Bahkan, angka golput  melampaui gabungan   suara pemenang kedua, Golkar (14,45%),  dan PDI Perjuangan (14,03%) sebagai pemenang ketiga. Jadi, tak berlebihan kiranya  bila dikatakan golputlah pemenang pemilu sesungguhnya.

Lakon si Putih belum  berakhir hingga di sini.  Belum ada kepastian tentang nasib si Rambut Putih.  Jadikah ia  menjadi calon wapresnya SBY? Itu semua masih menunggu pengumuman resmi kubu SBY,  pekan ini.

Begitu pula  dengan Moncong Putih. Jadikah mereka berkoalisi dengan Partai Demokrat? Atau tetap bergabung dengan koalisi besar yang sudah digagas bersama Golkar,  Partai Hanura, dan Gerindra?

Kalau  Moncong Putih  jadi merapat ke Demokrat,  tentu   batal pula pencapresan Megawati. Apakah  keputusan tersebut tidak akan melukai perasaan massa Moncong Putih di tingkat akar rumput?

Massa yang kecewa bisa saja meninggalkan Moncong Putih pada 2014 nanti. Ini perlu  menjadi  pertimbangan petinggi Moncong Putih bila tidak ingin suara  mereka  makin kempes dalam pemilu lima  tahun lagi.

Lakon golput juga belum berakhir. Hasil pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti   perlu dicermati, apakah  pemenangnya salah satu  pasangan yang bertarung, atau golput kembali yang berjaya?

Bila pemerintah serius menyempurnakan daftar pemilih tetap (DPT), mungkin   jumlah golput  akan berkurang. Namun,  bila tak ada perubahan berarti,  bisa-bisa golput lagi yang jadi pemenangnya.

Mari kita tunggu  lakon si Putih berikutnya!

Daftar Pemilih dan SMS KPU

Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan umum (pemilu) April lalu, membuat pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan sosialisasi  besar-besaran.

Coba tengok lingkungan sekitar rumah Anda.  Ada saja spanduk   yang isinya mengingatkan  warga yang  tidak masuk dalam DPT pemilu  agar  mendaftar untuk  pemilihan presiden (pilpres).  Pendaftaran bisa dilakukan melalui kelurahan atau  RT/RW.

Bahkan di depan gedung DPR/MPR di Jalan  Gatot Subroto, Jakarta Pusat,   terbentang sebuah spanduk yang mengingatkan soal DPT. Bunyinya: “DBD KE DOKTER, DPT KE RT’. Di bawah  kalimat itu tertulis, “BURUAN DAFTAR, BIAR BISA NYONTRENG”.

Usai pemilu  lalu,  KPU sudah menyatakan  bahwa  DPT pemilu  akan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) pilpres.  Namun karena banyak warga yang    tidak terdaftar  dalam DPT pemilu, pemerintah akhirnya   menugaskan aparat kelurahan dan RT/RW mendata warganya  yang belum terdaftar.

Selain  itu, sosialisasi juga dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun media luar ruang seperti spanduk.

KPU juga memanfaatkan  sms (pesan singkat) untuk sosialisasi. Isinya: “Pemilu Presiden  8 Juli 2009. Pastikan  Anda terdaftar  pada DPS.  Segera cek  ke PPS di Kelurahan atau RT/RW s/d 10 Mei  2009. Cek  kembali   pada 11-17 Mei 2009.”

Apakah Anda juga menerima sms yang sama?

“Curhat” JK

Jarang-jarang Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) “curhat” di depan umum, apalagi  menyangkut  kiprahnya sebagai wakil presiden.

Seperti diberitakan Kompas (3/5),   JK menegaskan  dirinya sebagai Wakil Presiden  dan Ketua Umum DPP Partai Golkar  yang mendukung pemerintahan  bersama Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono (SBY) sering berperan  menjadi “bumper” atau penyangga keputusan pemerintah yang dinilai tidak populer.

“Sebagai   pemimpin, saya  ambil risiko.  Kalau pemimpin tidak berani ambil risiko, berhenti saja jadi pemimpin,” katanya  saat berbicara  dengan 23 Ketua DPD  Partai Golkar se-Sulawesi Selatan di kediamannya  di Jalan Haji Bau, Makassar, Sabtu (2/5).

Menurut dia, untuk menjelaskan kebijakan  pemerintah pun banyak jajaran pemerintah  yang tidak berani tampil di hadapan pers. Namun, kenyataannya, kata Kalla, ada yang memiliki  kebanggan seolah-olah dirinya  penggagas kebijakan  pemerintah, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan proyek  lainnya sehingga  berebut  ingin meresmikannya  tanpa rasa terima kasih.

Penjelasan JK tersebut, tulis Kompas, seperti “curhat”. Dia berbicara  dengan tenang apa adanya  selama tiga perempat jam   tanpa teks.

JK menjelaskan, di bawah kepemimpinannya,  Golkar menjadi bumper pemerintah  untuk apa saja demi  bangsa. Ini karena  Golkar menjadi  partai terbesar di DPR.  Jadi, jika   ada masalah BBM,   perubahan APBN,  juga angket  dan interpelasi,   Golkar pembela  utama.

“Akan tetapi,  mereka tidak  berterima kasih  atas peran  Golkar dan peranan  ketuanya yang besar,” katanya.

Pada kesempatan itu, dia juga menjelaskan tentang komunikasinya dengan  SBY menyangkut duet capres dan cawapres yang kedua kali.

JK menyatakan,  dia sudah bertemu dan menawarkan tiga kali  untuk bersama lagi. “Jawabannya iya, iya, akan tetapi tidak ada keputusan. Dengan bicara  begitu, berarti  menolak,” tuturnya.

Pernyataan JK di atas membenarkan sinyalemen yang ada  selama ini menyangkut peranannya di pemerintahan, yang selalu “pasang badan” untuk hal-hal pelik yang  ditentang publik.

Namun  pihak yang skeptis bisa saja mengecam Ketua Umum Golkar ini tengah mengklaim keberhasilan pembangunan secara sepihak sebagai andilnya pribadi beserta kelompoknya.

Bisa juga mereka mengecam JK sebagai  orang yang tidak ikhlas,  yang membangga-banggakan   keberhasilannya, dan mengecilkan peran orang lain.

Pernyataan JK itu bisa membuat  lawan-lawan politiknya, khususnya  yang masih menjabat di pemerintahan, “kebakaran jenggot”. Pasti cepat atau lambat akan muncul  tanggapan,  bantahan, atau sinisme atas pernyataan itu.

Mengingat  besarnya  peluang SBY untuk terpilih kembali sebagai presiden,  timbul pertanyaan: Siapa yang akan menjadi “bumper”  di   pemerintahan mendatang bila  tokoh sekaliber JK sudah tak ada?

Pertanyaan itu perlu jadi bahan pemikiran  SBY dan tim-nya mengingat  makin kompleksnya problem dan tantangan yang akan dihadapi pemerintah di masa mendatang. Sementara SBY sendiri selama ini dikenal sebagai pemimpin yang “ultra hati-hati”.

Sudahkah SBY menemukan tokoh sekaliber JK,  yang  cepat  bertindak dan berani pasang badan, untuk menjadi calon pendampingnya? Kalau sudah, siapa orangnya? Sanggupkah ia mengelola konflik dengan piawai,  atau justru “lari” setiap kali terjadi konflik? Itu semua masih misteri, dan masih harus menunggu pengumuman resmi  dari kubu SBY.

Yang  ditunggu publik,  apa dan bagaimana setelah “curhat”-nya JK.  Siapa yang akan “curhat” berikutnya? Siapa pula yang akan mengkritisi  “curhat” JK tersebut? Kita tunggu saja episode “curhat” selanjutnya!

Melawan Kehendak Ketua Umum

Ketua Umum adalah figur puncak di sebuah organisasi.  Sebagai orang nomor satu,  dia menjadi  figur penting yang menakhodai biduk organisasinya.

Figur ketua umum haruslah orang yang  piawai mengelola  organisasi, sekaligus konflik yang ada di dalamnya. Bila tak piawai  mengelola  konflik,  bisa-bisa dia  yang terpental dari panggung organisasi.

Pekan ini  nampaknya menjadi pekan yang berat bagi    ketua umum  beberapa partai  politik. Urusannya apa lagi kalau bukan  memutuskan  arah koalisi dalam menyongsong  pemilihan presiden mendatang.

Mereka menghadapi dua  pilihan pelik antara berkoalisi dengan partai pemenang  pemilu, atau  mencoba peruntungan dengan berkoalisi bersama partai lain.

Dari sembilan partai yang perolehan suaranya  lebih dari 2,5%, enam partai  sudah memiliki mitra  dalam berkoalisi. Partai  Demokrat sudah bergandengan dengan   PKS dan PKB. Sementara  PDI Perjuangan sudah lengket  dengan Gerindra dan Hanura.

Nah, tiga partai lainnya, yakni Golkar,  Partai Persatuan  Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN)  belum  ada kata putus.  Ketua Umum  ketiga parpol itu cenderung berseberangan dengan koalisi yang dibangun Demokrat, sementara  aspirasi lain yang berkembang di partai mereka menginginkan   menjalin koalisi dengan incumbent.

Kerasnya  pertentangan  yang terjadi di ketiga parpol itu melahirkan sinyalemen adanya   praktek pecah belah  dari kekuatan eksternal partai yang berpotensi merusak keutuhan partai.

Seperti diberitakan Kompas (28/4), Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK)  menyoroti  adanya  gejala destruktif  yang merusak  demokrasi  yang tengah  dipraktekkan   di tengah-tengah proses  komunikasi politik  untuk menjalin koalisi antarparpol.

JK, tulis Kompas, tidak  menuduh siapa pun, tetapi melihat gejalanya  kini dialami Golkar, yang tengah “diacak-acak”, serta  PPP dan PAN.

Menurut dia,  yang terjadi sekarang  adalah gejala  yang sama di tiga partai itu, di mana  sejumlah kadernya  melawan ketua umum partainya.

“Demokrasi  tidak dijalankan secara benar dan baik.  Akan tetapi, sengaja  dipecah belah,  ditakut-takuti, dan ditangkapi. Masa kasus  10 tahun yang lalu, dengan jumlah (kerugian)  hanya  beberapa juta, tiba-tiba  dipersoalkan   dan orangnya ditangkapi.  Memang, secara hukum,  kasus itu harus diproses. Tetapi, mengapa baru sekarang? Saya tidak mau berprasangka buruk menuduh,” katanya.

Kasus  yang dia maksud adalah kasus hukum  yang menimpa Emron Pangkapi,  Ketua DPP PPP, yang dieksekusi oleh Kejaksaan Agung, belum lama berselang. Aspirasi Emron sama seperti Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali,  yang  cenderung  mengarahkan PPP  untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.

Mengenai kemungkinan   adanya “musuh dalam selimut” di antara  fungsionaris  Golkar, Kalla menjawab diplomatis, “Ada rencana masing-masing tentu  itu wajar. Akan tetapi, kita harus   menjaga soliditas partai.  Itu penting.”

Ya, memang benar. Partai yang solid tentu tak mudah dipecah belah. Masalahnya sekarang, menenteramkan “syahwat politik” kader partai yang punya aspirasi ingin  merapat ke incumbent, jelas butuh kepiawaian sang ketua umum.

“Perpecahan” sudah  terjadi di PPP. Keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) partai itu, Ahad lalu, yang  memberi mandat pada ketua umum untuk  mengambil keputusan  menetapkan koalisi dan/atau dukungan  terhadap calon presiden  dan calon wakil presiden  2009-2014,  diboikot  oleh beberapa  pimpinan partai.

Sementara beda pendapat  di tubuh PAN belum separah  PPP.  Keputusan sikap  partai tersebut  masih akan menunggu  Rapimnas  PAN yang akan digelar 2 Mei mendatang.

Yang rumit adalah  konflik di Golkar.  JK tengah menghadapi gerakan pembangkangan  terhadap hasil  putusan  Rapimnas khusus, yang  menetapkan pencalonan dirinya  sebagai  presiden.

Bahkan ratusan Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II  menolak putusan Rapimnas  khusus itu, dan  menuntut  diadakannya  Rapimnas khusus  ulang untuk menetapkan calon wapres dari Golkar.

Apakah  ketua  umum ketiga parpol itu akan memenangkan pertarungan di internal partainya dengan mulus? Atau mereka  memutuskan untuk  mengalah  demi  menjaga keutuhan partai?

Tentu mereka harus berhitung dengan lebih cermat  lagi. Jangan sampai menang jadi arang, kalah jadi abu!

Tepuk Tangan

Tepuk  tangan kerap dilakukan sebagai apresiasi atas  sesuatu yang menakjubkan  atau  menumbuhkan  rasa hormat.  Terpukau atas  aksi panggung seorang  biduan/biduanita, atau  apresiasi terhadap seseorang yang meraih prestasi di bidangnya,  membuat kita dengan sukarela  keplok-keplok.

Bisa juga  dilakukan sebagai  ekspresi atas rasa gembira. Masuk dalam kategori ini  keplokan anggota DPR setiap kali presiden mengumumkan  kenaikan gaji  PNS dan anggota TNI/Polri, atau keplokan  karyawan yang akan mendapat bonus dari perusahaan.

Keplokan  yang tulus berangkat dari hati yang tulus. Tak ada rekayasa. Semuanya dilakukan dengan sukarela dan sukacita.

Lain cerita bila Anda mengikuti acara di studio TV. Untuk memeriahkan acara, kerap pengarah  acara  mengarahkan  pemirsa di studio untuk  berdiri, menyanyi bersama,  menggoyangkan badan ke kanan dan kiri. Tak lupa, tentu saja, diakhiri dengan tepuk tangan bersama. Maka meriahlah acara yang  disaksikan pula oleh pemirsa di rumah.

Lain di studio  TV, lain pula di arena politik.  Seperti  diberitakan  Kompas, Senin (27/4),  dalam acara rapat pimpinan nasional (Rapimnas) II Partai Demokrat, Minggu  (26/4),  tepuk tangan peserta  dilakukan berdasarkan perintah, dan sudah dilatih sebelumnya.

Perintah  dan latihan tepuk tangan   itu dikomandani  Wakil Sekjen Partai Demokrat  Angelina Sondakh yang berperan sebagai pembawa acara.  Hasilnya,  selama rangkaian acara   pembukaan Rapimnas  itu 45 kali tepuk tangan  diberikan.

Tepuk tangan   menjadi seragam, teratur, dan terkendali  di Partai Demokrat.  Seperti juga  rangkaian panjang kampanye   pemilu legislatif, di mana  keseragaman  itu dijaga konsultan  kampanye partai tersebut.

Dalam catatan Kompas, tepuk tangan paling banyak diberikan  untuk Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  saat memberi   arahan sekitar 45 menit.  Jumlahnya  sebanyak 21 kali.

Tepuk tangan  paling meriah  diberikan  saat SBY  bicara soal calon  wakil presidennya. Karena ratusan  peserta rampimnas  ragu-ragu  untuk bertepuk  tangan – karena belum  mendengar  arahan dari  baris depan –  sambil tertawa, SBY berujar, “Tidak  dilarang tepuk tangan.”

Setelah membaca berita di atas,  saya jadi teringat dua orang. Pertama, Edy Sud (alm), Koordinator  Acara  Aneka Ria Safari di TVRI dekade 80-an.  Setiap kali memandu acara tersebut,   entah itu habis  memberi sambutan atau bincang-bincang dengan artis penyanyi,  dia selalu mengucapkan, “Tepuk tangan…….”, yang  dipatuhi    dengan  kompak oleh seisi  studio.

Selain  pada Edy Sud,  ingatan saya juga melayang pada mantan Presiden Abdurrahman Wahid.  Di masa  dia berkuasa, pria yang akrab dipanggil Gus Dur ini pernah  menjuluki  parlemen  seperti “Taman Kanak-kanak”. Namun saat itu parlemen belum diisi  anggota dari Fraksi Partai Demokrat.

Hasil pemilu lalu akan mengubah  komposisi parlemen.  Sebagai pemenang pemilu,  Partai Demokrat akan banyak memiliki wakil di parlemen. Fraksi  Partai Demokrat akan menjadi fraksi terbesar di DPR.

Bila  anggota  Dewan  dari PDI Perjuangan selalu  mengawali pidato dengan  teriakan “Merdeka”,  apakah   keplok-keplok akan   menjadi ciri khas   anggota  Dewan dari  Partai Demokrat nantinya? Kalau ya, tentu akan makin meriah dan ramai “Taman Kanak-kanak” di Senayan.

Semoga tidak demikian!

“Komplikasi Politik” dan Misteri Calon Pendamping SBY

Ternyata bukan cuma penyakit yang ada komplikasinya. Politik juga ada. Komplikasi dengan apa, dan apa penyebabnya?

Istilah “komplikasi politik” dilontarkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  saat menerima empat  pinisepuh Partai Golkar, Kamis (23/4).

Seperti diberitakan Kompas (24/4),  dalam pertemuan yang berlangsung  di Wisma Negara tersebut, para pinisepuh itu  menanyakan kemungkinan SBY mengambil kader Golkar  sebagai calon wakil presiden (wapres) dalam    pemilihan presiden mendatang.

Menanggapi hal itu, SBY  menegaskan tidak   akan mengambil  calon wapres  dari Partai Golkar  di luar mekanisme  rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus)  untuk menghindari “komplikasi politik”.

Rapimnasus  Golkar telah berlangsung Kamis lalu, dan menetapkan  Jusuf Kalla  (JK) sebagai calon presiden. Namun tak ada putusan apa pun tentang  kader Golkar yang akan diajukan sebagai calon wapres-nya SBY.

Meski tak menjelaskan seperti apa “komplikasi politik” tersebut,  penegasan SBY  itu membuat  redup peluang  kader Golkar menjadi  calon wapres-nya SBY.

Lantas, bila SBY tak berminat dengan  kader Golkar,  kader partai mana yang akan dipinang sebagai pendampingnya dalam pilpres nanti? Adakah  yang bisa memenuhi lima kriteria calon wapres yang  dilontarkannya  tempo hari?

Penolakan  SBY terhadap calon wapres dari Golkar membuat peluang  kader partai lain  menjadi terbuka.  Dari Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, nama yang kerap disebut-sebut adalah  Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Sekretaris Negara.

Sementara partai lain seperti  Partai Keadilan Sejahtera (PKS)   tentu tak  mau ketinggalan mempersiapkan kadernya. Nama Hidayat Nurwahid,  kader PKS yang menjabat Ketua MPR, kerap digadang-gadang   sebagai calon wapres dari partai dakwah  itu.

Partai-partai tersebut tentu mempertimbangkan realita politik yang menunjukan besarnya peluang SBY untuk terpilih kembali sebagai presiden.  Akan  lebih aman bagi mereka bila berkoalisi dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, sembari membidik kursi wapres, ketimbang harus mengajukan calon presiden dan membangun koalisi baru.

Sikap  SBY yang belum mau  membuka  nama calon wapres-nya mengingatkan kita pada  misteri calon wapres  yang ada di kantung Soeharto  pada 1983. Ketika   itu banyak nama beredar, dan banyak pula spekulasi siapa dapat jabatan apa dan menjadi apa.

Namun ternyata nama yang dikehendaki   Soeharto menjadi wapres benar-benar di luar dugaan karena tak pernah  beredar dalam bursa wapres.  Umar Wirahadikusumah, seorang  jenderal  low profille,   akhirnya  yang  terpilih sebagai RI-2.

Ketika itu banyak yang memperkirakan  karier pria asal Jawa Barat tersebut  berakhir di kursi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tapi takdir bicara lain. Setelah menyelesaikan  tugas  sebagai Ketua BPK, Umar dipercaya Soeharto sebagai RI-2.

SBY tentu  tak akan sembarangan memilih  calon wapres.  Selain harus bisa memenuhi lima  kriteria yang telah ditetapkan,  calon wapres itu  tentu harus  bisa  bekerja sama dengannya,  dan  tidak berpotensi menjadi matahari kembar di puncak kekuasaan.

Berbagai manuver parpol yang menyodorkan nama-nama  kadernya  sebagai calon wapres,  merupakan bagian dari ikhtiar mereka untuk merapat ke kubu SBY. Manuver-manuver  itu bisa jadi kontraproduktif bila ternyata nama yang  keluar dari kantung SBY bukanlah orang parpol, melainkan figur nonpartisan.

Akan lebih elegan bagi  mitra koalisi Partai Demokrat untuk mempersiapkan kadernya, tapi tidak menyodorkan satu nama, seperti Golkar yang ingin memaksakan JK kembali berduet  dengan SBY. Tentu SBY tidak nyaman bila di-fait accomply untuk menyetujui satu nama.

Lebih elegan lagi bila  mitra koalisi tersebut  menyerahkan sepenuhnya kepada SBY  calon wapres yang akan digandengnya. Dengan demikian, mereka tidak akan kecewa dan tetap legowo bila  nama yang akan keluar bukan kader mereka.

Misteri calon wapres-nya SBY  nampaknya  akan seperti misteri calon wapres-nya  Soeharto pada 1983.  Siapa  orangnya? Kita tunggu saja pengumuman resminya!

“Cerai Politik”

Rumah tangga yang sudah tak bisa dipertahankan lagi keutuhannya kerap berujung pada perceraian. Banyak alasan pasangan suami-istri bercerai. Ada  yang  karena    sudah tak ada kecocokan,  pasangan selingkuh, atau istri tak mau dimadu.

Perceraian bukan hanya terjadi di rumah tangga.  Di dunia bisnis,  antarmitra bisnis  bisa “bercerai” jika sudah pecah kongsi.  Bisa  karena  beda visi bisnis, bisa juga karena  masalah fulus.

Hal yang sama juga terjadi di dunia politik. Ini biasanya  terjadi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada).  Banyak pasangan kepala daerah, entah itu gubernur-wakil gubernur, walikota-wakil wakil walikota, atau bupati-wakil bupati, yang  “cerai politik”  pada  saat mencalonkan diri  kembali untuk periode kedua.

Pasangan-pasangan tersebut berpisah dan menggandeng pasangan baru  untuk bertarung dalam  pilkada. Tapi ada juga  pasangan incumbent yang tetap kompak dan  kembali berpasangan   dalam menyongsong periode kedua kepemimpinan mereka.

Dalam  level yang lebih tinggi, pemilihan presiden (pilpres),  “cerai politik” juga terjadi pada  pilpres 2004.  Karena tak kunjung  dipinang sebagai calon wakil presidennya  Megawati, Hamzah Haz akhirnya  maju  bertarung dalam pilpres berpasangan dengan Agum Gumelar. Hasilnya,  baik Megawati  maupun Hamzah,  harus mengakui keunggulan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK).

Kini, menjelang pilpres 2009,  “cerai politik” juga kembali terjadi. Setelah tak ada kepastian untuk  berpasangan kembali  dengan SBY yang diusung Partai Demokrat, Partai Golkar memberi mandat pada JK  untuk membangun koalisi baru atau  bergabung dengan koalisi yang sudah dibentuk PDI Perjuangan bersama Hanura dan Gerindra.

“Cerai politik” ini tak terlepas dari hasil pemilu lalu.  Sebagai  pemenang pemilu, posisi  SBY dan Partai Demokrat  berada di atas angin, sehingga   posisi tawar mereka  dalam menentukan calon wakil presiden (wapres) pendamping  SBY semakin kuat.

Tak  heran bila SBY menyodorkan  lima kriteria yang teramat  ideal untuk calon wapres.  Kubu  SBY juga menolak bila disodorkan hanya  satu nama calon wapres  dari Golkar, yang begitu ngebet untuk kembali berpasangan dengan SBY.

Tapi, apa jadinya bila  pemilu  lalu dimenangkan Golkar? Bisa jadi situasi menjadi terbalik.  Mungkin   pihak Demokrat yang  berkeras ingin mempertahankan duet SBY-JK, sementara  Golkar  akan sedikit “jual mahal”.

Apalagi sebelum pemilu  JK sudah  menyatakan kesediaannya  memenuhi tuntutan DPD-DPD Golkar untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan dia sudah  mengeluarkan slogan “Lebih cepat lebih baik”.

Siapa yang diuntungkan dengan terjadinya “cerai politik” ini? Tentu   pesaing  JK di internal Golkar  akan terbuka peluangnya untuk menjadi pendamping SBY.  Apalagi DPP Partai Golkar  – meski tidak mendukung secara kelembagaan – mempersilakan  siapa saja  kadernya  yang akan  dipinang  sebagai calon wapres SBY.

Skenario ini sama persis seperti pada pilpres 2004. Saat itu pasangan resmi yang didukung Golkar adalah  Wiranto-Shalahuddin  Wahid. Sementara JK maju  sebagai  calon wapres SBY, tanpa dukungan resmi dari partai.

Sejarah nampaknya  akan kembali berulang. Bila berhasil menggalang koalisi, entah itu dengan PDI Perjuangan atau membentuk koalisi baru, tentu Partai Golkar akan mendukung pasangan  capres-cawapres  hasil koalisi tersebut. Sementara  kader yang  dipinang SBY (bila SBY berkenan), akan dilepas tanpa dukungan resmi  partai.

Bila skenario  itu  berjalan mulus,   apa pun hasilnya,  tetap saja ada kader Golkar yang  kembali menjadi penguasa, entah itu presiden atau wakil presiden periode 2009-2014.

Di sini kepiawaian  politisi  Golkar yang sarat pengalaman  dalam perpolitikan negeri ini akan diuji.  Bisakah mereka kembali mendudukkan kadernya  di tampuk kekuasaan? Atau   terpuruk  dan menjadi oposisi di parlemen?

Sekber Kebenaran dan Rujuk Wiranto-Prabowo

Jagat politik Indonesia  kian dinamis. Pemilihan umum (pemilu) 9 April lalu melahirkan jawara baru di pentas politik dengan tampilnya Partai Demokrat  sebagai  pemenang. Sementara Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)   menjadi pendatang baru  yang   berhasil meloloskan  calon anggota legislatif (caleg)-nya ke Senayan.

Namun pelaksanaan pemilu kali ini  banyak  kekurangannya.  Daftar pemilih tetap (DPT) yang amburadul, dan kertas suara yang tertukar,   adalah  contoh  kasat mata  dari kekurangan pemilu.  Tak heran bila  ada tokoh politik dan pengamat yang menjuluki pemilu kali ini sebagai pemilu terburuk di era reformasi.

Tak puas dengan  pelaksanaan pemilu,  ada pula yang berencana melakukan investigasi sejumlah kecurangan  dan ketidakberesan  sepanjang  proses pemilu, yang kemudian    ditindaklanjuti  dalam bentuk gugatan hukum.

Investigasi  dan  gugatan  hukum itu akan  ditangani sebuah  institusi bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Kebenaran untuk Perubahan.

Seperti diberitakan Kompas (14/4), Partai Hanura dan Gerindra  sepakat membentuk   Sekber    yang diperkuat  lembaga hukum itu. Kedua tokoh sentral   parpol tersebut, Jenderal (Purn)  Wiranto (Hanura) dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto (Gerindra),  bertemu di Kantor DPP Partai Hanura di Jakarta, Senin (13/4).

“Penyikapan kami  sama. Ada yang   tidak beres  dengan pemilu  legislatif. Kami akan  ungkap  apa  yang sebenarnya  terjadi pada  pemilu legislatif yang kami nilai cacat ini,” kata Wiranto.

Jagat politik Indonesia seperti  berputar ke masa empat dekade lalu.   Sebab produk dari pertemuan kedua tokoh tersebut berupa pembentukan  Sekber, mengingatkan kita  akan Sekber Golkar yang didirikan pada dekade 1960-an lalu.

Kala itu,  beberapa organisasi massa (ormas) bergabung  ke dalam Sekber Golkar (Golongan Karya),   yang didesain untuk    membendung sepak terjang PKI  di  dunia  politik.

Setelah terjadi peralihan rezim dari orde lama ke orde baru,   Sekber Golkar  berubah menjadi Gollkar, yang selalu menjadi pemenang pemilu sejak 1971-1997.

Uniknya,  di masa orde baru itu Golkar  tak mencantumkan kata partai  di depan namanya,  seperti dua pesaing (atau “pendamping”?)-nya,  yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Di parlemen pun nama fraksinya bukan Fraksi Golkar,  tapi Fraksi Karya Pembangunan (FKP).

Baru setelah reformasi,  Golkar yang bertransformasi  sebagai “Golkar Baru”   berubah menjadi Partai Golkar.  Nama fraksi di  parlemen juga berubah  dari Fraksi Karya Pembangunan menjadi Fraksi Partai Golkar (FPG).

Bila  Sekber Golkar didesain untuk kepentingan politik jangka panjang sebagai mesin politik, yang terbukti  sudah bertahan lebih dari empat dekade, Sekber bentukan  Gerindra dan Hanura nampaknya hanya untuk kepentingan  jangka pendek dalam rangka investigasi  kecurangan pemilu.

Setelah  hasil pemilu disahkan dan  pembagian kursi parlemen rampung, bubar pula Sekber satu ini. Tapi  tugasnya bisa berlanjut bila  pemilihan presiden (pilpres)  Juli nanti kembali membuahkan ketidakpuasan dan kekecewaan  berikutnya.

Pembentukan    Sekber itu  juga menjadi  pertanda  rujuknya  Wiranto dan Prabowo,  dua jenderal yang sempat berseteru  di awal reformasi. Foto  keduanya  berangkulan dan bersalaman menghiasi halaman 1 sejumlah  koran, seperti Kompas, Media Indonesia, Rakyat Merdeka,   Republika, Seputar Indonesia, Koran Tempo, dan Pikiran Rakyat.

Wiranto sendiri mengaku pertemuan itu bukanlah yang pertama karena  mereka berdua sudah pernah beberapa kali bertemu tanpa diketahui media massa.

Mau  pertemuan yang pertama atau yang kesekian, rujuknya kedua pemimpin   itu  menjadi  pendidikan politik yang baik bagi  masyarakat, khususnya pendukung keduanya.  Bukankah beda  pendapat  dan kepentingan politik  tidak harus memutuskan silaturrahmi?

Sampai kapan “kemesraan” kedua jenderal itu terjalin? Akankah  Sekber itu berlanjut menjadi koalisi permanen? Kita tunggu saja lakon politik berikutnya!