Bersiasat adu muslihat
adu cepat adu kuat
semuanya ngaku demi rakyat
padahal yang diburu pangkat dan martabat
Awas, tuhan melihat malaikat mencatat
jangan bohong nanti kualat
jangan zalim nanti kena azab teramat dahsyat
Bersiasat adu muslihat
adu cepat adu kuat
semuanya ngaku demi rakyat
padahal yang diburu pangkat dan martabat
Awas, tuhan melihat malaikat mencatat
jangan bohong nanti kualat
jangan zalim nanti kena azab teramat dahsyat
Saya bertemu dengannya di satu warung makan padang di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Saat saya lagi asyik menyantap nasi dengan lauk ayam sayur, dia datang. Setelah berbasa-basi sebentar, dia pun memesan nasi dengan lauk telur dadar, lalu duduk di hadapan saya.
Robert, nama teman tersebut, bekerja di Departemen Keuangan (Depkeu). Dari gaya bicaranya, bisa ditebak kalau asalnya dari Sumatera Utara.
Sebagaimana galibnya perbincangan di warung makan, tak ada sesuatu yang serius yang kami bicarakan. Paling-paling membicarakan pekerjaan, sekaligus ngerumpi soal atasannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu, yang kini sudah menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) di Depkeu.
Pembicaraan baru menjadi “serius” setelah menyangkut soal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Saya yang memulai pembicaraan setelah saya teringat nama Boediono, yang kini santer diberitakan sebagai cawapresnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebetulan pula, Boediono pernah menjadi Menteri Keuangan.
“Pak Boediono bakal jadi wapres, tuh,” kata saya dengan yakin, padahal deklarasi pasangan SBY-Boediono belum juga dilakukan.
“Kalau itu (Boediono) saya setuju. Dia orangnya sopan sekali. Kalau bertemu kita-kita (pegawai Depkeu) selalu disapanya.”
“Memangnya menteri yang lain nggak pernah nyapa?” pancing saya.
Mendengar pertanyaan itu, maka nyerocoslah ia sambil membandingkan Boediono dengan penggantinya.
“Kalau yang sekarang sombong. Kalau ketemu lempang (lewat) saja. Sudah itu, kalau tak suka dengan seseorang langsung diganti,” bebernya.
Selama dia nyerocos, saya hanya mendengarkan saja. Memang, seperti diberitakan media massa, banyak terjadi perombakan jabatan di lingkungan Departemen Keuangan.
Tapi itu semua dilakukan untuk mereformasi departemen tersebut, dan pendapat satu orang pegawai seperti Robert adalah pendapat pribadi, yang terkesan subyektif.
Nasi di piring tandas sudah. Pembicaraan saya dengan Robert sudah ngalor-ngidul ke sana ke mari. Tiba waktunya berpisah, saya pun pamit. Kami kembali ke kantor masing-masing.
Tiba di kantor, saya disambut tumpukan koran, yang halaman satunya dijejali berita soal Boediono yang hampir pasti jadi cawapresnya SBY.
Beragam komentar soal pencalonan itu. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Yang kecewa, sudah ambil ancang-ancang untuk bikin poros baru. Padahal waktunya sudah mepet. Entah apa dan siapa yang mereka harapkan untuk bisa merebut kekuasaan.
Ada pula yang memprediksi pasangan SBY-Boediono kurang menjual, karena tidak merepresentasikan pasangan Jawa-luar Jawa. Ada juga yang mempermasalahkan mazhab neo liberal yang dianut Boediono.
Membaca berbagai prediksi dan analisa itu saya jadi teringat dengan Robert. Sebagai orang luar Jawa, dia tidak mempermasalahkan komposisi Jawa-luar Jawa atau Jawa-Jawa.
Bagi orang seperti dia, figur pemimpin itu, selain punya kredibilitas, harus santun, merakyat, tidak korupsi, dan peduli dengan lingkungannya.
Disapa dengan tutur kata yang halus dan lemah lembut, orang seperti Robert pun tersentuh hatinya. Namun bukan hanya seorang Robert yang harus disentuh hatinya dalam pilpres nanti. Apalagi nama Boediono belum begitu dikenal rakyat.
Bisakah Boediono menaklukkan hati rakyat untuk memilihnya?
Ini bukan cerita tentang kucing atau hewan peliharaan lainnya. Bukan pula tentang kendaraan pribadi. Tapi tentang sebuah warna yang erat hubungannya dengan dunia politik Indonesia.
Si Putih pertama adalah si Rambut Putih, Hatta Rajasa. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini pekan lalu telah diusulkan sebagai calon wakil presiden (wapres)-nya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Keputusan itu ditetapkan dalam rapat kerja nasional (rakernas) PAN di Yogyakarta. Namun keputusan itu tidak sepenuhnya didukung para kader partai berlambang matahari itu. DPW PAN Jawa Timur menolak keputusan itu. Mereka memilih walk out (WO) dari forum tersebut.
Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir (SB) juga tidak sreg dengan keputusan partainya sendiri. Bahkan beredar kabar dia akan mengundurkan diri. Namun hingga kini tak ada pernyataan resmi dari SB soal pengunduran diri itu. Jati dirinya pun belakangan ini tak pernah nampak di depan publik. Entah manuver apa yang akan dilakukannya.
Si Rambut Putih kembali bikin berita setelah dia datang ke kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Kepada wartawan dia mengaku membicarakan masalah rumah yang ditempati Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Katanya, rumah itu telah menjadi milik Mega.
Si Putih kedua adalah Moncong Putih alias PDI Perjuangan. Kedatangan si Rambut Putih ke kediaman bos Moncong Putih ternyata tak hanya membicarakan masalah rumah. Dia juga membawa misi membuka komunikasi politik yang lama terputus antara SBY dan Mega.
Hasilnya, kini di kubu Moncong Putih muncul aspirasi untuk merapat ke Partai Demokrat dalam pemilihan presiden nanti. Sementara keputusan pencapresan Megawati, secara resmi, belum dicabut. Namun hingga kini belum juga ada kejelasan siapa calon wakil presidennya.
Manuver si Rambut Putih membuat peta politik makin dinamis. Banyak yang memperkirakan peluangnya menjadi calon pendamping SBY makin kuat, karena telah dipercaya sebagai penghubung dengan kubu Megawati, yang selama ini terlibat perang dingin dengan SBY.
SBY tidak mempercayakan tugas tersebut kepada orang dalam Partai Demokrat. Ini bukti besarnya kepercayaan SBY kepada si Rambut Putih.
Tapi, di mata pengamat politik, manuver itu dinilai sebagai taktik untuk memecah belah Moncong Putih. Sebab, kini aspirasi di partai tersebut terbelah dua. Ada yang ingin merapat ke kubu SBY, namun ada pula yang menolak koalisi dengan Partai Demokrat.
Konon, tawaran untuk berkoalisi itu dengan imbalan kekuasaan yang cukup menggiurkan, yakni kursi di kabinet untuk kader-kader Moncong Putih. Mereka yang sudah bosan beroposisi, tentu tergiur dengan tawaran itu. Siapa sih yang tak mau berkuasa?
Golongan putih (golput) merupakan si Putih ketiga yang punya lakon belakangan ini. Kongres golput di Yogyakarta, akhir pekan lalu, dibubarkan secara paksa oleh Poltabes Yogyakarta. Alasannya, penyelenggara acara itu tak bisa menunjukkan surat izin dari Mabes Polri.
Di layar kaca, nampak tayangan Sri Bintang Pamungkas, mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), digelandang polisi. Begitu pula dengan para aktivis lainnya.
Pembubaran acara itu mengundang protes dari LBH Yogyakarta. Mereka berencana mengadukan tindakan polisi membubarkan acara itu ke Komnas HAM dan Kapolri.
Bila di Yogyakarta kongresnya dibubarkan, di Jakarta golput juga bikin berita. Kali ini cukup “membanggakan” karena, berdasarkan pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah golput mengungguli jumlah suara yang berhasil diraih Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu.
Jumlah golput mencapai 49,677 juta orang, atau 29,01% dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah sebesar itu melampaui perolehan suara Demokrat sebesar 20,85%.
Bahkan, angka golput melampaui gabungan suara pemenang kedua, Golkar (14,45%), dan PDI Perjuangan (14,03%) sebagai pemenang ketiga. Jadi, tak berlebihan kiranya bila dikatakan golputlah pemenang pemilu sesungguhnya.
Lakon si Putih belum berakhir hingga di sini. Belum ada kepastian tentang nasib si Rambut Putih. Jadikah ia menjadi calon wapresnya SBY? Itu semua masih menunggu pengumuman resmi kubu SBY, pekan ini.
Begitu pula dengan Moncong Putih. Jadikah mereka berkoalisi dengan Partai Demokrat? Atau tetap bergabung dengan koalisi besar yang sudah digagas bersama Golkar, Partai Hanura, dan Gerindra?
Kalau Moncong Putih jadi merapat ke Demokrat, tentu batal pula pencapresan Megawati. Apakah keputusan tersebut tidak akan melukai perasaan massa Moncong Putih di tingkat akar rumput?
Massa yang kecewa bisa saja meninggalkan Moncong Putih pada 2014 nanti. Ini perlu menjadi pertimbangan petinggi Moncong Putih bila tidak ingin suara mereka makin kempes dalam pemilu lima tahun lagi.
Lakon golput juga belum berakhir. Hasil pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti perlu dicermati, apakah pemenangnya salah satu pasangan yang bertarung, atau golput kembali yang berjaya?
Bila pemerintah serius menyempurnakan daftar pemilih tetap (DPT), mungkin jumlah golput akan berkurang. Namun, bila tak ada perubahan berarti, bisa-bisa golput lagi yang jadi pemenangnya.
Mari kita tunggu lakon si Putih berikutnya!
Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan umum (pemilu) April lalu, membuat pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan sosialisasi besar-besaran.
Coba tengok lingkungan sekitar rumah Anda. Ada saja spanduk yang isinya mengingatkan warga yang tidak masuk dalam DPT pemilu agar mendaftar untuk pemilihan presiden (pilpres). Pendaftaran bisa dilakukan melalui kelurahan atau RT/RW.
Bahkan di depan gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, terbentang sebuah spanduk yang mengingatkan soal DPT. Bunyinya: “DBD KE DOKTER, DPT KE RT’. Di bawah kalimat itu tertulis, “BURUAN DAFTAR, BIAR BISA NYONTRENG”.
Usai pemilu lalu, KPU sudah menyatakan bahwa DPT pemilu akan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) pilpres. Namun karena banyak warga yang tidak terdaftar dalam DPT pemilu, pemerintah akhirnya menugaskan aparat kelurahan dan RT/RW mendata warganya yang belum terdaftar.
Selain itu, sosialisasi juga dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun media luar ruang seperti spanduk.
KPU juga memanfaatkan sms (pesan singkat) untuk sosialisasi. Isinya: “Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Pastikan Anda terdaftar pada DPS. Segera cek ke PPS di Kelurahan atau RT/RW s/d 10 Mei 2009. Cek kembali pada 11-17 Mei 2009.”
Apakah Anda juga menerima sms yang sama?
Jarang-jarang Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) “curhat” di depan umum, apalagi menyangkut kiprahnya sebagai wakil presiden.
Seperti diberitakan Kompas (3/5), JK menegaskan dirinya sebagai Wakil Presiden dan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang mendukung pemerintahan bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering berperan menjadi “bumper” atau penyangga keputusan pemerintah yang dinilai tidak populer.
“Sebagai pemimpin, saya ambil risiko. Kalau pemimpin tidak berani ambil risiko, berhenti saja jadi pemimpin,” katanya saat berbicara dengan 23 Ketua DPD Partai Golkar se-Sulawesi Selatan di kediamannya di Jalan Haji Bau, Makassar, Sabtu (2/5).
Menurut dia, untuk menjelaskan kebijakan pemerintah pun banyak jajaran pemerintah yang tidak berani tampil di hadapan pers. Namun, kenyataannya, kata Kalla, ada yang memiliki kebanggan seolah-olah dirinya penggagas kebijakan pemerintah, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan proyek lainnya sehingga berebut ingin meresmikannya tanpa rasa terima kasih.
Penjelasan JK tersebut, tulis Kompas, seperti “curhat”. Dia berbicara dengan tenang apa adanya selama tiga perempat jam tanpa teks.
JK menjelaskan, di bawah kepemimpinannya, Golkar menjadi bumper pemerintah untuk apa saja demi bangsa. Ini karena Golkar menjadi partai terbesar di DPR. Jadi, jika ada masalah BBM, perubahan APBN, juga angket dan interpelasi, Golkar pembela utama.
“Akan tetapi, mereka tidak berterima kasih atas peran Golkar dan peranan ketuanya yang besar,” katanya.
Pada kesempatan itu, dia juga menjelaskan tentang komunikasinya dengan SBY menyangkut duet capres dan cawapres yang kedua kali.
JK menyatakan, dia sudah bertemu dan menawarkan tiga kali untuk bersama lagi. “Jawabannya iya, iya, akan tetapi tidak ada keputusan. Dengan bicara begitu, berarti menolak,” tuturnya.
Pernyataan JK di atas membenarkan sinyalemen yang ada selama ini menyangkut peranannya di pemerintahan, yang selalu “pasang badan” untuk hal-hal pelik yang ditentang publik.
Namun pihak yang skeptis bisa saja mengecam Ketua Umum Golkar ini tengah mengklaim keberhasilan pembangunan secara sepihak sebagai andilnya pribadi beserta kelompoknya.
Bisa juga mereka mengecam JK sebagai orang yang tidak ikhlas, yang membangga-banggakan keberhasilannya, dan mengecilkan peran orang lain.
Pernyataan JK itu bisa membuat lawan-lawan politiknya, khususnya yang masih menjabat di pemerintahan, “kebakaran jenggot”. Pasti cepat atau lambat akan muncul tanggapan, bantahan, atau sinisme atas pernyataan itu.
Mengingat besarnya peluang SBY untuk terpilih kembali sebagai presiden, timbul pertanyaan: Siapa yang akan menjadi “bumper” di pemerintahan mendatang bila tokoh sekaliber JK sudah tak ada?
Pertanyaan itu perlu jadi bahan pemikiran SBY dan tim-nya mengingat makin kompleksnya problem dan tantangan yang akan dihadapi pemerintah di masa mendatang. Sementara SBY sendiri selama ini dikenal sebagai pemimpin yang “ultra hati-hati”.
Sudahkah SBY menemukan tokoh sekaliber JK, yang cepat bertindak dan berani pasang badan, untuk menjadi calon pendampingnya? Kalau sudah, siapa orangnya? Sanggupkah ia mengelola konflik dengan piawai, atau justru “lari” setiap kali terjadi konflik? Itu semua masih misteri, dan masih harus menunggu pengumuman resmi dari kubu SBY.
Yang ditunggu publik, apa dan bagaimana setelah “curhat”-nya JK. Siapa yang akan “curhat” berikutnya? Siapa pula yang akan mengkritisi “curhat” JK tersebut? Kita tunggu saja episode “curhat” selanjutnya!
Ketua Umum adalah figur puncak di sebuah organisasi. Sebagai orang nomor satu, dia menjadi figur penting yang menakhodai biduk organisasinya.
Figur ketua umum haruslah orang yang piawai mengelola organisasi, sekaligus konflik yang ada di dalamnya. Bila tak piawai mengelola konflik, bisa-bisa dia yang terpental dari panggung organisasi.
Pekan ini nampaknya menjadi pekan yang berat bagi ketua umum beberapa partai politik. Urusannya apa lagi kalau bukan memutuskan arah koalisi dalam menyongsong pemilihan presiden mendatang.
Mereka menghadapi dua pilihan pelik antara berkoalisi dengan partai pemenang pemilu, atau mencoba peruntungan dengan berkoalisi bersama partai lain.
Dari sembilan partai yang perolehan suaranya lebih dari 2,5%, enam partai sudah memiliki mitra dalam berkoalisi. Partai Demokrat sudah bergandengan dengan PKS dan PKB. Sementara PDI Perjuangan sudah lengket dengan Gerindra dan Hanura.
Nah, tiga partai lainnya, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) belum ada kata putus. Ketua Umum ketiga parpol itu cenderung berseberangan dengan koalisi yang dibangun Demokrat, sementara aspirasi lain yang berkembang di partai mereka menginginkan menjalin koalisi dengan incumbent.
Kerasnya pertentangan yang terjadi di ketiga parpol itu melahirkan sinyalemen adanya praktek pecah belah dari kekuatan eksternal partai yang berpotensi merusak keutuhan partai.
Seperti diberitakan Kompas (28/4), Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) menyoroti adanya gejala destruktif yang merusak demokrasi yang tengah dipraktekkan di tengah-tengah proses komunikasi politik untuk menjalin koalisi antarparpol.
JK, tulis Kompas, tidak menuduh siapa pun, tetapi melihat gejalanya kini dialami Golkar, yang tengah “diacak-acak”, serta PPP dan PAN.
Menurut dia, yang terjadi sekarang adalah gejala yang sama di tiga partai itu, di mana sejumlah kadernya melawan ketua umum partainya.
“Demokrasi tidak dijalankan secara benar dan baik. Akan tetapi, sengaja dipecah belah, ditakut-takuti, dan ditangkapi. Masa kasus 10 tahun yang lalu, dengan jumlah (kerugian) hanya beberapa juta, tiba-tiba dipersoalkan dan orangnya ditangkapi. Memang, secara hukum, kasus itu harus diproses. Tetapi, mengapa baru sekarang? Saya tidak mau berprasangka buruk menuduh,” katanya.
Kasus yang dia maksud adalah kasus hukum yang menimpa Emron Pangkapi, Ketua DPP PPP, yang dieksekusi oleh Kejaksaan Agung, belum lama berselang. Aspirasi Emron sama seperti Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali, yang cenderung mengarahkan PPP untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Mengenai kemungkinan adanya “musuh dalam selimut” di antara fungsionaris Golkar, Kalla menjawab diplomatis, “Ada rencana masing-masing tentu itu wajar. Akan tetapi, kita harus menjaga soliditas partai. Itu penting.”
Ya, memang benar. Partai yang solid tentu tak mudah dipecah belah. Masalahnya sekarang, menenteramkan “syahwat politik” kader partai yang punya aspirasi ingin merapat ke incumbent, jelas butuh kepiawaian sang ketua umum.
“Perpecahan” sudah terjadi di PPP. Keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) partai itu, Ahad lalu, yang memberi mandat pada ketua umum untuk mengambil keputusan menetapkan koalisi dan/atau dukungan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden 2009-2014, diboikot oleh beberapa pimpinan partai.
Sementara beda pendapat di tubuh PAN belum separah PPP. Keputusan sikap partai tersebut masih akan menunggu Rapimnas PAN yang akan digelar 2 Mei mendatang.
Yang rumit adalah konflik di Golkar. JK tengah menghadapi gerakan pembangkangan terhadap hasil putusan Rapimnas khusus, yang menetapkan pencalonan dirinya sebagai presiden.
Bahkan ratusan Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II menolak putusan Rapimnas khusus itu, dan menuntut diadakannya Rapimnas khusus ulang untuk menetapkan calon wapres dari Golkar.
Apakah ketua umum ketiga parpol itu akan memenangkan pertarungan di internal partainya dengan mulus? Atau mereka memutuskan untuk mengalah demi menjaga keutuhan partai?
Tentu mereka harus berhitung dengan lebih cermat lagi. Jangan sampai menang jadi arang, kalah jadi abu!
Tepuk tangan kerap dilakukan sebagai apresiasi atas sesuatu yang menakjubkan atau menumbuhkan rasa hormat. Terpukau atas aksi panggung seorang biduan/biduanita, atau apresiasi terhadap seseorang yang meraih prestasi di bidangnya, membuat kita dengan sukarela keplok-keplok.
Bisa juga dilakukan sebagai ekspresi atas rasa gembira. Masuk dalam kategori ini keplokan anggota DPR setiap kali presiden mengumumkan kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri, atau keplokan karyawan yang akan mendapat bonus dari perusahaan.
Keplokan yang tulus berangkat dari hati yang tulus. Tak ada rekayasa. Semuanya dilakukan dengan sukarela dan sukacita.
Lain cerita bila Anda mengikuti acara di studio TV. Untuk memeriahkan acara, kerap pengarah acara mengarahkan pemirsa di studio untuk berdiri, menyanyi bersama, menggoyangkan badan ke kanan dan kiri. Tak lupa, tentu saja, diakhiri dengan tepuk tangan bersama. Maka meriahlah acara yang disaksikan pula oleh pemirsa di rumah.
Lain di studio TV, lain pula di arena politik. Seperti diberitakan Kompas, Senin (27/4), dalam acara rapat pimpinan nasional (Rapimnas) II Partai Demokrat, Minggu (26/4), tepuk tangan peserta dilakukan berdasarkan perintah, dan sudah dilatih sebelumnya.
Perintah dan latihan tepuk tangan itu dikomandani Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh yang berperan sebagai pembawa acara. Hasilnya, selama rangkaian acara pembukaan Rapimnas itu 45 kali tepuk tangan diberikan.
Tepuk tangan menjadi seragam, teratur, dan terkendali di Partai Demokrat. Seperti juga rangkaian panjang kampanye pemilu legislatif, di mana keseragaman itu dijaga konsultan kampanye partai tersebut.
Dalam catatan Kompas, tepuk tangan paling banyak diberikan untuk Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberi arahan sekitar 45 menit. Jumlahnya sebanyak 21 kali.
Tepuk tangan paling meriah diberikan saat SBY bicara soal calon wakil presidennya. Karena ratusan peserta rampimnas ragu-ragu untuk bertepuk tangan – karena belum mendengar arahan dari baris depan – sambil tertawa, SBY berujar, “Tidak dilarang tepuk tangan.”
Setelah membaca berita di atas, saya jadi teringat dua orang. Pertama, Edy Sud (alm), Koordinator Acara Aneka Ria Safari di TVRI dekade 80-an. Setiap kali memandu acara tersebut, entah itu habis memberi sambutan atau bincang-bincang dengan artis penyanyi, dia selalu mengucapkan, “Tepuk tangan…….”, yang dipatuhi dengan kompak oleh seisi studio.
Selain pada Edy Sud, ingatan saya juga melayang pada mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Di masa dia berkuasa, pria yang akrab dipanggil Gus Dur ini pernah menjuluki parlemen seperti “Taman Kanak-kanak”. Namun saat itu parlemen belum diisi anggota dari Fraksi Partai Demokrat.
Hasil pemilu lalu akan mengubah komposisi parlemen. Sebagai pemenang pemilu, Partai Demokrat akan banyak memiliki wakil di parlemen. Fraksi Partai Demokrat akan menjadi fraksi terbesar di DPR.
Bila anggota Dewan dari PDI Perjuangan selalu mengawali pidato dengan teriakan “Merdeka”, apakah keplok-keplok akan menjadi ciri khas anggota Dewan dari Partai Demokrat nantinya? Kalau ya, tentu akan makin meriah dan ramai “Taman Kanak-kanak” di Senayan.
Semoga tidak demikian!
Ternyata bukan cuma penyakit yang ada komplikasinya. Politik juga ada. Komplikasi dengan apa, dan apa penyebabnya?
Istilah “komplikasi politik” dilontarkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menerima empat pinisepuh Partai Golkar, Kamis (23/4).
Seperti diberitakan Kompas (24/4), dalam pertemuan yang berlangsung di Wisma Negara tersebut, para pinisepuh itu menanyakan kemungkinan SBY mengambil kader Golkar sebagai calon wakil presiden (wapres) dalam pemilihan presiden mendatang.
Menanggapi hal itu, SBY menegaskan tidak akan mengambil calon wapres dari Partai Golkar di luar mekanisme rapat pimpinan nasional khusus (rapimnasus) untuk menghindari “komplikasi politik”.
Rapimnasus Golkar telah berlangsung Kamis lalu, dan menetapkan Jusuf Kalla (JK) sebagai calon presiden. Namun tak ada putusan apa pun tentang kader Golkar yang akan diajukan sebagai calon wapres-nya SBY.
Meski tak menjelaskan seperti apa “komplikasi politik” tersebut, penegasan SBY itu membuat redup peluang kader Golkar menjadi calon wapres-nya SBY.
Lantas, bila SBY tak berminat dengan kader Golkar, kader partai mana yang akan dipinang sebagai pendampingnya dalam pilpres nanti? Adakah yang bisa memenuhi lima kriteria calon wapres yang dilontarkannya tempo hari?
Penolakan SBY terhadap calon wapres dari Golkar membuat peluang kader partai lain menjadi terbuka. Dari Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, nama yang kerap disebut-sebut adalah Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Sekretaris Negara.
Sementara partai lain seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tentu tak mau ketinggalan mempersiapkan kadernya. Nama Hidayat Nurwahid, kader PKS yang menjabat Ketua MPR, kerap digadang-gadang sebagai calon wapres dari partai dakwah itu.
Partai-partai tersebut tentu mempertimbangkan realita politik yang menunjukan besarnya peluang SBY untuk terpilih kembali sebagai presiden. Akan lebih aman bagi mereka bila berkoalisi dengan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu, sembari membidik kursi wapres, ketimbang harus mengajukan calon presiden dan membangun koalisi baru.
Sikap SBY yang belum mau membuka nama calon wapres-nya mengingatkan kita pada misteri calon wapres yang ada di kantung Soeharto pada 1983. Ketika itu banyak nama beredar, dan banyak pula spekulasi siapa dapat jabatan apa dan menjadi apa.
Namun ternyata nama yang dikehendaki Soeharto menjadi wapres benar-benar di luar dugaan karena tak pernah beredar dalam bursa wapres. Umar Wirahadikusumah, seorang jenderal low profille, akhirnya yang terpilih sebagai RI-2.
Ketika itu banyak yang memperkirakan karier pria asal Jawa Barat tersebut berakhir di kursi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tapi takdir bicara lain. Setelah menyelesaikan tugas sebagai Ketua BPK, Umar dipercaya Soeharto sebagai RI-2.
SBY tentu tak akan sembarangan memilih calon wapres. Selain harus bisa memenuhi lima kriteria yang telah ditetapkan, calon wapres itu tentu harus bisa bekerja sama dengannya, dan tidak berpotensi menjadi matahari kembar di puncak kekuasaan.
Berbagai manuver parpol yang menyodorkan nama-nama kadernya sebagai calon wapres, merupakan bagian dari ikhtiar mereka untuk merapat ke kubu SBY. Manuver-manuver itu bisa jadi kontraproduktif bila ternyata nama yang keluar dari kantung SBY bukanlah orang parpol, melainkan figur nonpartisan.
Akan lebih elegan bagi mitra koalisi Partai Demokrat untuk mempersiapkan kadernya, tapi tidak menyodorkan satu nama, seperti Golkar yang ingin memaksakan JK kembali berduet dengan SBY. Tentu SBY tidak nyaman bila di-fait accomply untuk menyetujui satu nama.
Lebih elegan lagi bila mitra koalisi tersebut menyerahkan sepenuhnya kepada SBY calon wapres yang akan digandengnya. Dengan demikian, mereka tidak akan kecewa dan tetap legowo bila nama yang akan keluar bukan kader mereka.
Misteri calon wapres-nya SBY nampaknya akan seperti misteri calon wapres-nya Soeharto pada 1983. Siapa orangnya? Kita tunggu saja pengumuman resminya!
Rumah tangga yang sudah tak bisa dipertahankan lagi keutuhannya kerap berujung pada perceraian. Banyak alasan pasangan suami-istri bercerai. Ada yang karena sudah tak ada kecocokan, pasangan selingkuh, atau istri tak mau dimadu.
Perceraian bukan hanya terjadi di rumah tangga. Di dunia bisnis, antarmitra bisnis bisa “bercerai” jika sudah pecah kongsi. Bisa karena beda visi bisnis, bisa juga karena masalah fulus.
Hal yang sama juga terjadi di dunia politik. Ini biasanya terjadi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Banyak pasangan kepala daerah, entah itu gubernur-wakil gubernur, walikota-wakil wakil walikota, atau bupati-wakil bupati, yang “cerai politik” pada saat mencalonkan diri kembali untuk periode kedua.
Pasangan-pasangan tersebut berpisah dan menggandeng pasangan baru untuk bertarung dalam pilkada. Tapi ada juga pasangan incumbent yang tetap kompak dan kembali berpasangan dalam menyongsong periode kedua kepemimpinan mereka.
Dalam level yang lebih tinggi, pemilihan presiden (pilpres), “cerai politik” juga terjadi pada pilpres 2004. Karena tak kunjung dipinang sebagai calon wakil presidennya Megawati, Hamzah Haz akhirnya maju bertarung dalam pilpres berpasangan dengan Agum Gumelar. Hasilnya, baik Megawati maupun Hamzah, harus mengakui keunggulan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK).
Kini, menjelang pilpres 2009, “cerai politik” juga kembali terjadi. Setelah tak ada kepastian untuk berpasangan kembali dengan SBY yang diusung Partai Demokrat, Partai Golkar memberi mandat pada JK untuk membangun koalisi baru atau bergabung dengan koalisi yang sudah dibentuk PDI Perjuangan bersama Hanura dan Gerindra.
“Cerai politik” ini tak terlepas dari hasil pemilu lalu. Sebagai pemenang pemilu, posisi SBY dan Partai Demokrat berada di atas angin, sehingga posisi tawar mereka dalam menentukan calon wakil presiden (wapres) pendamping SBY semakin kuat.
Tak heran bila SBY menyodorkan lima kriteria yang teramat ideal untuk calon wapres. Kubu SBY juga menolak bila disodorkan hanya satu nama calon wapres dari Golkar, yang begitu ngebet untuk kembali berpasangan dengan SBY.
Tapi, apa jadinya bila pemilu lalu dimenangkan Golkar? Bisa jadi situasi menjadi terbalik. Mungkin pihak Demokrat yang berkeras ingin mempertahankan duet SBY-JK, sementara Golkar akan sedikit “jual mahal”.
Apalagi sebelum pemilu JK sudah menyatakan kesediaannya memenuhi tuntutan DPD-DPD Golkar untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan dia sudah mengeluarkan slogan “Lebih cepat lebih baik”.
Siapa yang diuntungkan dengan terjadinya “cerai politik” ini? Tentu pesaing JK di internal Golkar akan terbuka peluangnya untuk menjadi pendamping SBY. Apalagi DPP Partai Golkar – meski tidak mendukung secara kelembagaan – mempersilakan siapa saja kadernya yang akan dipinang sebagai calon wapres SBY.
Skenario ini sama persis seperti pada pilpres 2004. Saat itu pasangan resmi yang didukung Golkar adalah Wiranto-Shalahuddin Wahid. Sementara JK maju sebagai calon wapres SBY, tanpa dukungan resmi dari partai.
Sejarah nampaknya akan kembali berulang. Bila berhasil menggalang koalisi, entah itu dengan PDI Perjuangan atau membentuk koalisi baru, tentu Partai Golkar akan mendukung pasangan capres-cawapres hasil koalisi tersebut. Sementara kader yang dipinang SBY (bila SBY berkenan), akan dilepas tanpa dukungan resmi partai.
Bila skenario itu berjalan mulus, apa pun hasilnya, tetap saja ada kader Golkar yang kembali menjadi penguasa, entah itu presiden atau wakil presiden periode 2009-2014.
Di sini kepiawaian politisi Golkar yang sarat pengalaman dalam perpolitikan negeri ini akan diuji. Bisakah mereka kembali mendudukkan kadernya di tampuk kekuasaan? Atau terpuruk dan menjadi oposisi di parlemen?
Jagat politik Indonesia kian dinamis. Pemilihan umum (pemilu) 9 April lalu melahirkan jawara baru di pentas politik dengan tampilnya Partai Demokrat sebagai pemenang. Sementara Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) menjadi pendatang baru yang berhasil meloloskan calon anggota legislatif (caleg)-nya ke Senayan.
Namun pelaksanaan pemilu kali ini banyak kekurangannya. Daftar pemilih tetap (DPT) yang amburadul, dan kertas suara yang tertukar, adalah contoh kasat mata dari kekurangan pemilu. Tak heran bila ada tokoh politik dan pengamat yang menjuluki pemilu kali ini sebagai pemilu terburuk di era reformasi.
Tak puas dengan pelaksanaan pemilu, ada pula yang berencana melakukan investigasi sejumlah kecurangan dan ketidakberesan sepanjang proses pemilu, yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk gugatan hukum.
Investigasi dan gugatan hukum itu akan ditangani sebuah institusi bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Kebenaran untuk Perubahan.
Seperti diberitakan Kompas (14/4), Partai Hanura dan Gerindra sepakat membentuk Sekber yang diperkuat lembaga hukum itu. Kedua tokoh sentral parpol tersebut, Jenderal (Purn) Wiranto (Hanura) dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto (Gerindra), bertemu di Kantor DPP Partai Hanura di Jakarta, Senin (13/4).
“Penyikapan kami sama. Ada yang tidak beres dengan pemilu legislatif. Kami akan ungkap apa yang sebenarnya terjadi pada pemilu legislatif yang kami nilai cacat ini,” kata Wiranto.
Jagat politik Indonesia seperti berputar ke masa empat dekade lalu. Sebab produk dari pertemuan kedua tokoh tersebut berupa pembentukan Sekber, mengingatkan kita akan Sekber Golkar yang didirikan pada dekade 1960-an lalu.
Kala itu, beberapa organisasi massa (ormas) bergabung ke dalam Sekber Golkar (Golongan Karya), yang didesain untuk membendung sepak terjang PKI di dunia politik.
Setelah terjadi peralihan rezim dari orde lama ke orde baru, Sekber Golkar berubah menjadi Gollkar, yang selalu menjadi pemenang pemilu sejak 1971-1997.
Uniknya, di masa orde baru itu Golkar tak mencantumkan kata partai di depan namanya, seperti dua pesaing (atau “pendamping”?)-nya, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Di parlemen pun nama fraksinya bukan Fraksi Golkar, tapi Fraksi Karya Pembangunan (FKP).
Baru setelah reformasi, Golkar yang bertransformasi sebagai “Golkar Baru” berubah menjadi Partai Golkar. Nama fraksi di parlemen juga berubah dari Fraksi Karya Pembangunan menjadi Fraksi Partai Golkar (FPG).
Bila Sekber Golkar didesain untuk kepentingan politik jangka panjang sebagai mesin politik, yang terbukti sudah bertahan lebih dari empat dekade, Sekber bentukan Gerindra dan Hanura nampaknya hanya untuk kepentingan jangka pendek dalam rangka investigasi kecurangan pemilu.
Setelah hasil pemilu disahkan dan pembagian kursi parlemen rampung, bubar pula Sekber satu ini. Tapi tugasnya bisa berlanjut bila pemilihan presiden (pilpres) Juli nanti kembali membuahkan ketidakpuasan dan kekecewaan berikutnya.
Pembentukan Sekber itu juga menjadi pertanda rujuknya Wiranto dan Prabowo, dua jenderal yang sempat berseteru di awal reformasi. Foto keduanya berangkulan dan bersalaman menghiasi halaman 1 sejumlah koran, seperti Kompas, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Republika, Seputar Indonesia, Koran Tempo, dan Pikiran Rakyat.
Wiranto sendiri mengaku pertemuan itu bukanlah yang pertama karena mereka berdua sudah pernah beberapa kali bertemu tanpa diketahui media massa.
Mau pertemuan yang pertama atau yang kesekian, rujuknya kedua pemimpin itu menjadi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, khususnya pendukung keduanya. Bukankah beda pendapat dan kepentingan politik tidak harus memutuskan silaturrahmi?
Sampai kapan “kemesraan” kedua jenderal itu terjalin? Akankah Sekber itu berlanjut menjadi koalisi permanen? Kita tunggu saja lakon politik berikutnya!