Judul buku : Neraka Rezim Suharto
Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru
Penulis : Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto
Penerbit : Spasi dan VHR Book
Tebal : xv + 156 halaman
Sejatinya Kremlin ada di Rusia. Tapi di Jakarta juga ada. Bukan foto copy yang di Rusia, tapi akronim dari Kramat Lima, nama sebuah jalan di kawasan Kramat, Jakarta Pusat. Di kalangan aktivis jaman orde baru, istilah “dibawa ke Kremlin”, berarti ditangkap dan diperiksa di Jalan Kramat V (sekarang Kramat VII).
Cikal bakal “Kremlin” adalah tiga rumah di Jalan Kramat V Nomor 14, 16, dan 18. Sebelum pecah Gerakan 30 September (G30S), tiga rumah itu menjadi kantor Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Setelah diambil alih oleh militer, rumah nomor 16 dan 18 dijadikan sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib Kodam Jaya. Kemudian berganti nama menjadi Badan Koordinasi Pemulihan Stabilitas Nasional.
Sejak orde baru (orba) berkuasa, tempat ini menjadi salah satu tempat paling menakutkan, karena lembaga ekstra yudisial itu memiliki kewenangan menangkap, menculik, serta menyiksa orang-orang yang tidak sehaluan dengan rezim orba. Banyak aktivis yang pernah merasakan sadisnya tempat ini, mulai dari yang dituduh terlibat G30S hingga para aktivis 1998.
Menurut korban-korban yang pernah dibawa ke tempat ini, siksaan yang paling sering dilakukan adalah setruman listrik, sundutan rokok, dan pukulan hingga babak belur selama interogasi. Biasanya dalam satu ruangan lebih dari satu tentara yang menginterogasi. Mereka tak segan-segan menyiksa bila tahanan dianggap mengelak dari pertanyaan yang diajukan. (hal 48)
“Kremlin” adalah salah satu tempat penyiksaan musuh-musuh politik rezim orba yang ditulis dalam buku ini. Selain “Kremlin”, tempat penyiksaan lainnya adalah “Kalong”, sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari III Nomor 10; “Guntur”, rumah tahanan Polisi Militer Kodam Jaya di Jalan Sultan Agung 33; eks markas Kodim 0505 di Jatinegara; “Gang Buntu” di Kebayoran Lama; eks tangsi tentara di Jalan Solo (sekarang Kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary); dan tempat “X” (diduga markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur).
Semua tempat penyiksaan itu ada di Jakarta. Ini yang membuat buku ini kurang lengkap karena tidak menyertakan tempat-tempat serupa di kota-kota lainnya. Apa karena penyiksaan di kota lain kurang sadis? Mungkin keterbasan bahan dan data yang membuat penulis buku ini, Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, hanya menulis 7 tempat di Jakarta.
Dari ketujuh tempat penyiksaan itu, yang terkenal paling sadis adalah “Gang Buntu”. Rumah tahanan ini terletak di sebuah gang buntu di kawasan Kebayoran Lama. Sebelum pecah G30S, “Gang Buntu” merupakan studio film milik Tan Ceng Bok. Setelah diambil alih oleh militer, konon tempat ini menjadi tempat tahanan Badan Intelijen Strategis (Bais).
Menurut cerita para korban dan penghuni rumah tahanan ini, metode penyiksaan dan para penyiksa di sini lebih kejam dibandingkan di tempat lain. Penyiksaan paling sadis dialami para pembajak pesawat DC-9 Garuda “Woyla”. Korban ditelanjangi, digantung dengan kedua tangan terikat, dan kemudian dikuliti. Ada pula yang ditetesi cairan kimia sampai kepalanya bolong. Bahkan, jenderal pun masih turun langsung ke tempat tahanan satu ini. Seorang eks tahanan yang terlibat kasus Talangsari mengatakan, di tempat itu ada lisensi untuk membunuh. (hal 81)
Kalau “Gang Buntu” dianggap sebagai tempat penyiksaan paling sadis, tempat penyiksaan yang dianggap paling “lunak” adalah tempat “X”. Kenapa demikian? Sebab para aktivis 1998 yang ditahan di sana masa penahanannya terbilang singkat (sekitar sebulan), dan setelah itu mereka dipindahkan di Mabes Polri. Tempat itu cuma menjadi tempat pemeriksaan sementara.
Selain lebih “lunak”, di sana juga ada pemeriksaan medis. Jadi, di saat jeda penyiksaan, kesehatan para aktivis diperiksa secara berkala. Meski demikian, berdasarkan kesaksian beberapa aktivis, ada juga tahanan di sana yang hingga kini dinyatakan hilang. Entah meninggal karena disiksa, atau karena sebab-sebab lain.
Kehadiran buku ini bisa membuka wawasan kita tentang tempat-tempat, yang membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Selama ini kita hanya bisa mendengar cerita tentang tempat-tempat itu. Dengan hadirnya buku ini, sedikit banyak misteri itu sudah terkuak.
Buku ini akan lebih menarik dan berimbang bila ada konfirmasi, setidaknya satu-dua penjelasan, dari pihak militer, yang “mengelola” tempat-tempat itu. Apalagi di dalamnya ada disebut-sebut nama petinggi militer, yang pernah berdinas di lembaga intelijen. Bila yang bersangkutan masih hidup, penulis buku ini harusnya bisa mendapat konfirmasi tentang tempat-tempat tersebut.
Kekurangan lainnya ada pada penulisan nama dan jabatan yang kurang tepat. Contohnya, Todo Sihombing (bekas petinggi Bais) ditulis Todu Sihombing, dan Kolonel Witarmin (mantan Komandan Satgas Operasi Trisula) ditulis Wetamin. Sementara Sarbini Soemawinata (hanya ditulis Sarbini) dijelaskan sebagai dosen Fakultas Kedokteran UI. Padahal yang bersangkutan adalah dosen di Fakultas Ekonomi UI, dan termasuk salah satu akademisi yang ditangkap saat peristiwa Malari.
Berkah reformasi membuat buku ini bisa terbit. Jadi, dengan segala keterbatasannya, perlu diberi apresiasi karena berhasil membuka wawasan baru menyangkut era kedigjayaan intelijen militer, yang memiliki lembaga-lembaga ekstra yudisial, yang berhak menangkap – bahkan punya lisensi membunuh – musuh-musuh politik yang dianggap “membahayakan stabilitas negara”.
Desember 13, 2007
Kategori: Buku . Tag:Buku, intelijen, Resensi buku . Penulis: dyhary . Comments: 4 Komentar