Menjelang 2008

Ketika tulisan ini dibuat, pergantian tahun sekitar 8,5 jam lagi. Tak lama lagi, begitu malam menjelang, jutaan manusia di muka bumi bersiap-siap merayakan pergantian tahun. Tempat yang akan dituju pun bermacam-macam: hotel berbintang, pub, cafe, restoran, atau tempat hiburan yang menyediakan panggung hiburan gratis. Yang tak suka keramaian akan tinggal di rumah, nonton tv dan kumpul bersama keluarga. Yang religius akan mendatangi tempat ibadah untuk berdoa dan berzikir.

Sebelum menulis, saya sempat membaca satu tulisan di Kompas, Senin (31/12) halaman 4. Judulnya: Presiden dan Wapres Zikir Menjelang 2008. Saya bahagia membaca tulisan ini karena pemimpin kita memberi contoh menyambut pergantian tahun dengan cara yang religius dan tidak hura-hura. Presiden akan berzikir di Masjid Baiturahim di Komplek Istana Kepresidenan. Sementara Wapres akan berzikir bersama jamaah Masjid Sunda Kelapa, Menteng, yang letaknya sekitar 10 meter dari rumah dinas Wapres di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Acara yang sama juga akan diadakan di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah. Acara bertajuk Dzikir Nasional Pergantian Tahun akan dipimpin Ustadz Arifin Ilham. Sementara tausiyah disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Acara ini juga dimeriahkan dengan Rampag Bedug oleh Gilang Ramadhan dan Idea Percussion.

Teladan para pemimpin tersebut patut ditiru. Di tengah banyaknya musibah dan bencana alam, tak sepantasnya kita berhura-hura menyambut pergantian tahun dengan menghamburkan dana dan tenaga. Kita perlu introspeksi diri, memohon ampun, dan meminta perlindungan Ilahi untuk menapaki kehidupan di tahun yang baru. Kita juga perlu memohon kehidupan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, agar hidup ini tidak merugi. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan munajat di keheningan malam. Bukannya dengan hura-hura, apalagi bila diwarnai kemaksiatan.

Malam Tahun Baru

Saya nggak pernah ambil pusing dengan yang namanya Malam Tahun Baru. Dirayakan atau tidak, sama saja. Apalagi keluarga kami tidak punya tradisi hura-hura merayakan pergantian tahun. Lagi pula 31 Desember adalah ulang tahun ibunda. Kami sekeluarga selalu berkumpul untuk merayakan ulang tahun ibunda di Malam Tahun Baru. Acaranya sederhana saja. Berdoa untuk kesehatan ibunda, makan-makan, dan tiup lilin. Kalau pas tidak bisa hadir, anak-anaknya pasti menelepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun.

Beberapa tahun terakhir ini ada pula masyarakat yang merayakan pergantian tahun dengan berzikir dan berdoa. Acaranya religius, dan jauh dari hura-hura yang memboroskan kantong. Sementara tempat-tempat hiburan dan hotel berbintang merayakannya dengan penuh gebyar. Tiketnya dibandrol setinggi-tingginya. Ada pula yang mendatangkan artis dari luar negeri.

Di pusat-pusat keramaian seperti Taman Mini Indonesia Indah, Ancol, dan Monas, digelar panggung hiburan rakyat. Acaranya murah meriah. Rakyat dihibur dengan dendang dangdut. Dan tepat pada pukul 24.00, ditiuplah terompet sekeras-kerasnya. Di tempat-tempat seperti ini rakyat kecil menghibur diri.

Bagaimana dengan Malam Tahun Baru 2008? Tempat-tempat hiburan dan hotel berbintang sudah merancang acara sejak jauh hari. Begitu pula dengan  pusat-pusat keramaian. Acara sudah disusun, bahkan ada yang akan disiarkan langsung oleh tv.

Di saat panen bencana di pengujung tahun seperti sekarang, apakah acara pergantian tahun, baik di tempat hiburan, hotel berbintang, maupun yang gratisan, akan tetap semarak?

Seyogianya masyarakat menahan diri untuk tidak menghamburkan uang dan tenaga untuk hura-hura di saat banyak saudara kita yang menderita akibat bencana alam. Lebih arif bila dana untuk hura-hura itu disumbangkan untuk meringankan beban para korban. Tapi masyarakat perlu keteladanan. Kalau ada petinggi yang mengimbau, mungkin mereka mau mengikutinya.

Sayangnya, sampai sekarang imbauan itu tidak ada. Entah karena para petinggi sibuk semua. Atau mereka sudah tidak peka lagi dengan yang namanya keprihatinan? Wallahua’lam.

Hampir Jadi Pengantin Gadungan

Sabtu pekan lalu kami sekeluarga  ke Krui, Lampung Barat, untuk mengantarkan  kakak saya, Tavip,  menikah. Akad nikah dan resepsinya telah berjalan dengan lancar pada Minggu (23/12). 

Pihak besan mengadakan acara tersebut dengan sederhana, dan tidak diwarnai dengan  tata acara dan prosesi adat  yang macam-macam. Yang bikin  kepala Tavip “pusing” justru  permintaan dari pihak keluarga kami di Krui.

Ceritanya,   dua pekan sebelum pernikahan, Tavip dan seorang paman kami  ke Krui untuk menyelesaikan masalah administrasi pernikahan dengan KUA setempat. Selain itu, dia juga menyempatkan sowan ke para  sesepuh, baik dari keluarga ayah maupun ibu.

Dengan keluarga ibu tidak ada masalah. Mereka moderat  dan tidak  ngotot harus memakai adat. Namun dengan keluarga ayah ada sedikit masalah. Mereka meminta  supaya  pengantin berangkat  ke  rumah calon istri dari  rumah mereka, sebagai asal  usul ayah.  Namun ibu kami sudah berpesan bahwa   nanti  pengantin berangkat dari penginapan, bukan dari rumah siapa pun, baik itu keluarga ayah maupun ibu. Setelah dikonsultasikan dengan  keluarga ayah, akhirnya mereka sepakat pengantin tidak berangkat dari rumah mereka. Tapi  harus didandani di tempat  mereka, serta  dipinjamkan  payung dan keris pusaka   sebagai pelengkap busana pengantin. “Kalau tidak begitu, kami  tidak akan datang (ke acara pernikahan),” ancam salah seorang sesepuh.

Setelah kembali  dari Krui ke Bandar Lampung, hal itu dilaporkan ke ibu, dan sampai saat itu beliau  tidak mempermasalahkannya.     Masalah muncul  beberapa jam  sebelum pernikahan pada Minggu (23/12).  

Sesuai skenario,   pagi harinya Tavip diantar ke  rumah keluarga ayah untuk didandani. Tapi, seusai salat subuh, ibu berubah pikiran. Dia tidak setuju  kalau  harus  didandani di sana.   Sebab busana  dan payung sudah dibawa  dari Bandar Lampung.   Jadi, bagi ibu, tak perlu lagi   didandani  di tempat lain.  Ini yang bikin Tavip pusing tujuh keliling mengingat  kesepakatan  dengan keluarga ayah  belum lama berselang. Apalagi ibu mengancam akan “pulang”  kalau  Tavip didandani di sana. Entah sentimen apa yang membuat ibu berkeras seperti itu.

Karena  tak kunjung datang, keluarga ayah  menelepon menanyakan calon pengantin yang belum datang juga.  Oleh  paman kami, Ismet,  dijelaskan perkembangan terakhir yang  melenceng dari skenario. Akhirnya, salah seorang  keluarga  pihak ayah menyarankan supaya    salah seorang datang  menggantikan Tavip untuk didandani. “Sesepuh   yang mau mendandani  nggak  hafal Tavip itu yang mana,” katanya memberi saran.

Untuk menyelamatkan suasana, saya yang maju menjadi pengganti calon pengantin yang akan didandani.  Dengan memakai jas dan peci,  saya berangkat bersama Ismet ke rumah keluarga ayah. Saya sudah nggak ambil pusing mau didandani seperti apa. Yang penting, skenario berjalan mulus, dan nanti di penginapan dandanan diubah lagi.

Sampai di tujuan,  saya  menunggu di luar, sementara Ismet  berunding dengan tuan rumah.  Untung saja ada seorang cucu tuan rumah yang  berpikir cepat. Setelah diberi tahu   ibu tidak setuju jika Tavip didandani di sana,     dia  langsung ambil keputusan untuk menyerahkan keris  pusaka sebagai pelengkap  busana pengantin.  Saya  bisa  menarik nafas lega karena  solusinya tidak rumit, dan tidak perlu “menipu” dengan menjadi calon pengantin gadungan.   Lalu kami kembali ke penginapan dengan membawa keris pusaka tersebut.

Setelah persiapan rampung, kami sekeluarga berangkat  mengantarkan  calon pengantin untuk melaksanakan akad nikah. Alhamdulillah,  acara berjalan lancar, meski hujan turun dengan lebat, dan beberapa  sesepuh dari keluarga ayah memenuhi “ancaman” mereka   tidak datang ke acara  pernikahan itu. Untung saja ada anak cucu  mereka  yang mewakili, sehingga    silaturrahmi  tetap terpelihara.

Jumlah Korban

 Tahun 2007 ditutup dengan keprihatinan.  Ramalan  dukun dari Brasil tentang gempa dahsyat di Sumatera pada 23 Desember tidak terbukti. Tapi, tiga hari kemudian,  26 Desember, bertepatan tiga tahun  tsunami di Aceh, terjadi bencana tanah longsor di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Puluhan nyawa kembali menghadap  Sang Pencipta, dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal. 

Berita longsor  itu  menjadi  headline di  sejumlah koran. Selain berita  tentang  bencana tersebut, yang menarik perhatian saya adalah laporan tentang jumlah korban  meninggal yang tidak sama.   Republika: 72   tewas, Rakyat Merdeka:  75 hilang, Suara Karya:  71 orang  tewas, Kontan:  64 orang tewas, Investor Daily:  66 orang  tewas, Suara Pembaruan:  61 tewas, Koran Tempo: 67 orang tewas, Media Indonesia:  71 orang tewas,  dan Kompas: 66 orang tewas.   

Mana yang benar? Wallahua’lam.  Yang  pasti, lebih dari 60 orang  tewas akibat bencana tersebut.  Jumlah korban diperkirakan akan terus bertambah karena  proses  evakuasi belum selesai.   

Masih seputar  bencana dan media,  tak lama lagi pasti berbagai media, cetak   dan elektronik, membuka dompet amal untuk menghimpun dana dari  pembaca/pemirsa guna meringankan beban korban. Ini menjadi ladang amal bagi para dermawan, yang ingin menyalurkan sumbangan uang, pakaian, makanan dan obat-obatan.    

Kita maafkan saja  data korban tewas yang tidak  akurat. Mari kita manfaatkan  dompet  amal  di koran/tv untuk beramal. Syukur-syukur kalau bisa  menyerahkan langsung   bantuan  ke lokasi bencana.   

Ragam Cara Berkurban

Bila punya rezeki, banyak cara untuk berkurban. Bisa membeli langsung hewan kurban, lalu menyerahkannya ke panitia penyembelihan hewan kurban di masjid atau musalla. Kalau nggak mau repot, tinggal datang ke lembaga amal yang melayani umat yang mau berkurban. Pilih jenis hewan kurban dan serahkan uang. Nanti mereka yang menyembelih dan mendistribusikan dagingnya.

Dalam pendistribusian daging kurban, ada lembaga amal yang mengemasnya dalam bentuk kornet, yang bisa tahan hingga tiga tahun. “Dapat didistribusikan kapan saja. Higienis. Pantang mubazir. Sarana untuk berdakwah. Menjangkau pelosok Nusantara,” demikian publikasi di satu harian ibu kota.

Ada pula yang memasang publikasi “Kurban tanpa batas”. Pengelolanya membuka konter di beberapa tempat, seperti supermarket, hypermarket, dan gerai fast food. Di sebuah harian, pengelola “Kurban tanpa batas” melaporkan nama-nama umat yang berkurban. Jumlahnya cukup banyak. Hingga Selasa (18/12) sudah mencapai 3.047 orang.

Lembaga-lembaga amal itu berusaha keras menjaga kepercayaan umat yang menyerahkan dananya, baik untuk zakat, infak, sedekah, maupun kurban. Selain melaporkan nama-nama umat yang berkurban, ada juga lembaga yang memberikan laporan dokumentasi kurban melalui rekaman video atau foto.

Bentuk pelayanan lainnya adalah jemput hewan kurban. Lembaga yang menerapkan metoda ini memberi pelayanan 24 jam, dan bersedia menjemput kurban sampai tanggal tertentu. Distribusinya difokuskan di lokasi bencana, dan diperuntukkan bagi korban bencana yang masih bertahan hidup dalam kondisi kekurangan dan cengkeraman kemiskinan.

Kalau kondisi keuangan terbatas, cara yang ditempuh teman saya, Ulfi, bisa juga ditiru. Di lingkungan tempat tinggalnya di Kebon Melati, Jakarta Pusat, ada yang berinisiatif mengelola kurban dari warga dengan cara menabung Rp 50.000 per bulan untuk satu ekor kambing. Ulfi ikut program itu sejak dua tahun lalu. Alhamdulillah, dengan menabung seperti itu niatnya berkurban bisa terlaksana, dan tidak mengganggu uang dapur. Pengelolanya juga amanah dan transparan.


“Nanti, waktu malam takbiran, mereka yang berkurban dikumpulkan. Acaranya diawali dengan pengajian. Setelah itu hewan kurban masing-masing diperlihatkan. Di leher hewan kurban sudah digantungi nama warga yang berkurban,” katanya. Jadi, saat itu ada kambing “bernama” Ulfi, Abdul, Somad, dan sebagainya.


Allah mengetahui setiap lintasan hati umat-Nya. Begitu pula dengan mereka yang mau berkurban, pasti akan dibukakan jalannya. Tinggal pilih mau yang mana. Membeli langsung, mempercayakan kurban pada lembaga amal, atau dengan sistem menabung. Insya Allah amal mereka diterima dan menjadi insan yang takwa.

Komplek Anggota DPR

Letaknya di Kalibata, dekat kampus STEKPI dan stasiun Duren Tiga. Ada dua komplek. Waktu ABRI masih punya wakil di DPR, anggota Fraksi ABRI ditempatkan di komplek yang dekat stasiun Duren Tiga, sementara komplek yang dekat kampus STEKPI untuk anggota dari Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi PPP, dan Fraksi PDI. Entah sekarang, apa masih ada pengelompokan berdasarkan fraksi, atau sudah dilebur.

Komplek ini pertama kali ditempati anggota DPR periode 1987-1992. Jadi sudah berusia 20 tahun, dan sudah pantas direnovasi. Sebelumnya, para wakil rakyat menempati flat di belakang gedung DPR/MPR, yang sekarang sudah jadi taman.


Di komplek DPR Kalibata ada beberapa fasilitas seperti ruang serba guna, masjid, lapangan tenis, klinik, dan pemadam kebakaran. Masing-masing rumah di komplek Kalibata berukuran 200 meter, berlantai dua, dan memiliki tiga kamar tidur, satu di bawah dan dua di atas. Kamar di bawah plus kamar mandi di dalam. Sedangkan yang di atas, kamar mandinya di luar kamar. Ada pula kamar pembantu di dekat dapur.


Sejak 1987, tidak semua anggota menempati komplek tersebut. Mereka yang sudah punya rumah di Jakarta umumnya tetap tinggal di rumahnya. Sedangkan rumah di komplek, yang menjadi haknya, ditempati keluarga atau kader partai.


Kabarnya, hal seperti itu masih terjadi hingga kini. Jadi, tidak heran, di saat terbetik berita komplek itu akan direnovasi, banyak anggota DPR yang minta agar anggota yang tidak menempati haknya tidak diberi tunjangan perumahan Rp 13 juta per bulan. Mungkin supaya mereka yang harus keluar dari komplek dapat tambahan tunjangan. Wallahua’lam.


Sementara mereka yang tidak menempati komplek itu tidak mau ambil pusing. Mau diberi, tidak diberi, atau haknya diambil kembali, terserah! Bahkan ada pula yang sok idealis, mengaku “miris” melihat DPR harus mengeluarkan uang Rp 105 miliar untuk merenovasi komplek tersebut. Itu pun hanya untuk perbaikan atap dan lantai saja. Belum termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial.


Anggota DPR periode 2004-2007 praktis hanya menempati komplek itu selama tiga tahun. Mulai Januari 2008 mereka sudah harus keluar dan mencari kontrakan dengan tunjangan Rp 13 juta per bulan. Renovasi rampung setelah masa jabatan mereka berakhir pada 2009.


Jadi, dapat tambahan tunjangan, atau tetap Rp 13 juta per bulan, mereka tidak akan menempati komplek itu lagi. Soalnya, yang bakal menempati komplek hasil renovasi itu adalah anggota baru periode 2009-2014.

Biar Miskin Tetap Sedekah

 

sedekah.jpg

Judul Buku : Siapa Bilang Bersedekah Harus Tunggu Kaya?

Penulis : Wajih Mahmud

Penerbita : Hikmah, 2007

Tebal : xxviii + 282 halaman

 

 

Tak punya uang tapi ingin sedekah? Jangan khawatir, banyak hal yang bisa dilakukan, dan dinilai Allah sebagai sedekah. Dalam buku ini disajikan beberapa ragam cara bersedekah yang diajarkan Rasulullah SAW bagi orang yang tak mampu bersedekah harta.

Sedekah yang dibahas dalam buku karya Wajih Mahmud ini adalah bersedekah dengan kebaikan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW, “ Semua kebaikan adalah sedekah.” Artinya, sedekah yang bisa dilakukan oleh semua orang, baik kaya maupun miskin, besar maupun kecil, kuat maupun lemah.

Wajih Mahmud menafsirkan sedekah yang dimaksud dalam hadis di atas bukan sedekah harta, karena sedekah harta terbatas bagi orang yang punya saja. Ada pun sedekah yang dianjurkan untuk dikeluarkan setiap hari oleh setiap orang adalah sedekah kebaikan dengan berbagai macam cara. (hal 36)

Apa beda sedekah harta dengan sedekah kebaikan? Sedekah harta, baik yang wajib maupun sunnah, diberikan kepada orang yang membutuhkan. Sementara sedekah kebaikan adalah sedekah kepada diri sendiri, baik manfaatnya kembali pada orang lain, seperti menunjukkan jalan, membantu orang lemah, dan membantu orang yang sangat membutuhkan. Atau yang manfaatnya kembali pada orang yang bersedekah itu sendiri. Misalnya, berzikir kepada Allah, melaksanakan kewajiban syariat, dan perbuatan taat lainnya yang manfaatnya kembali kepada sang pelaku.

Sedekah kebaikan bukan hanya diberikan kepada orang muslim, tapi kepada semua orang, baik kaya maupun miskin, kuat maupun lemah, baik ataupun jahat.

Sedekah kebaikan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas kesehatan yang diberikan. Sedangkan sedekah harta sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas harta yang dikaruniakan. (hal 40-42)

Merujuk pada hadis Nabi SAW, Wajih Mahmud menjelaskan beberapa macam sedekah kebaikan. Antara lain, bersedekah dengan zikir, bersedekah dengan salat, bersedekah dengan puasa, bersedekah dengan perkataan yang baik, bersedekah dengan akhlak terpuji, dan bersedekah dengan membantu sesama mukmin.

Manfaat sedekah tak perlu diragukan lagi. Di dunia, manfaat sedekah adalah menyucikan jiwa dari sifat bakhil dan membersihkan jiwa orang miskin dari sifat iri dan dengki. Allah SWT berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.” (QS At Taubah 103)

Sedekah juga akan menambahkan rezeki dan mendapat pertolongan Allah. Nabi SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah sebelum meninggal, bersegeralah berbuat baik sebelum sibuk, sambunglah antara kamu dan Tuhanmu dengan memperbanyak berzikir, memperbanyak sedekah dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, niscaya kalian mendapat rezeki, pertolongan, dan memperbaiki keadaanmu.”

Sementara di akhirat, manfaat sedekah, antara lain menghapus dosa dan kesalahan, menjauhkan dari kemurkaan Allah, dan menyelamatkan orang yang bersedekah dari siksa neraka.

Buku ini ditutup dengan mengutip wasiat Nabi SAW kepada orang miskin, agar mereka tidak menghalangi dirinya dari keutamaan dan pahala sedekah harta. Mereka boleh bersedekah sesuai dengan kemampuannya, meskipun sedikit. Sebab menyedekahkan harta yang dibutuhkan meski sedikit, jauh lebih baik daripada menyedekahkan harta yang tidak dibutuhkan meski banyak. Hal ini dikarenakan motivasi orang tak punya dalam bersedekah harta adalah keimanan, tawakal kepada Allah, serta keyakinan terhadap rezeki dan bantuan Allah. Berbeda dengan orang kaya yang bersedekah dari hartanya yang berlimpah.

Ayo, jangan ragu untuk bersedekah. Punya uang, sedekahkan. Kalau nggak punya, ya sedekah dengan sedekah kebaikan. Jangan jadikan kemiskinan sebagai alasan untuk tidak bersedekah!

Terkaya di Indonesia

Berniaga selama 65 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama enam dekade, sudah tiga generasi yang mengelola usaha yang dirintis Ahmad Bakrie tersebut. Sang perintis telah tiada, kini anak dan cucunya yang meneruskan usaha keluarga. Hasilnya, keluarga Bakrie, yang memiliki aset sebesar US$ 5,4 miliar (Rp 50 triliun), dinobatkan majalah Forbes sebagai yang terkaya di Indonesia tahun 2007.

Bicara keluarga Bakrie, fokus akan tertuju pada sosok putra sulung Ahmad Bakrie, Aburizal Bakrie (Ical). Sejak muda dia sudah dilatih ayahnya untuk menjadi pengusaha. Menurut pengakuannya, sejak muda dia tidak dimanja dengan harta dan fasilitas berlebihan. Begitu pula saat bekerja di perusahaan ayahnya, dia tidak langsung menjadi salah satu direksi. Tapi harus merangkak dari bawah. Dan Ical membuktikan dia mampu, sehingga akhirnya dipercaya untuk memimpin usaha keluarga mereka.

Badai krisis sempat membuat oleng bisnis keluarga Bakrie. Namun mereka tidak lari dari tanggung jawab. Kepada para kreditor, mereka minta restrukturisasi utang. Usaha tersebut berhasil, dan mereka kembali berjaya di panggung bisnis negeri ini.

Dipercaya menjadi pembantu presiden sejak 2004, Ical melepas kendali usaha kepada adik-adiknya. Anaknya, Anindya Bakrie, juga sudah dipercaya memimpin usaha di sektor media dan telekomunikasi.

Kepada publik, mereka menyatakan Ical sudah tidak lagi terlibat di Grup Bakrie.
Tapi masyarakat belum percaya sepenuhnya. Masyarakat kerap menghubungkan kejayaan Grup Bakrie dengan posisi Ical di pemerintahan. Begitu pula ketika terjadi kasus Lapindo. Posisi Ical di Bakrie kembali diungkit-ungkit.

Ini menjadi pekerjaan rumah keluarga Bakrie untuk membuktikan kepada publik bahwa keberhasilan mereka di panggung bisnis, dan menjadi yang terkaya di Indonesia, murni karena profesionalisme. Bukan karena pengaruh Ical sebagai pejabat tinggi.

Selain itu, penyelesaian kasus Lapindo juga menjadi pertaruhan citra keluarga Bakrie. Bila pembayaran ganti rugi masih berlarut-larut dan jauh dari harapan masyarakat Sidoarjo, citra yang sudah terbangun dengan baik akan tercoreng. Aib ini harus dihapus dengan kejujuran dan itikad baik untuk memberi ganti rugi yang pantas kepada para korban.

Masyarakat Sidoarjo tahunya Aburizal Bakrie dan keluarganya sebagai yang terkaya di negeri ini. Mereka tidak peduli apakah riset majalah Forbes bisa dipercaya atau tidak. Jangan biarkan masyarakat yang jadi korban lumpur Lapindo terus mencibir, “Terkaya tapi kok ganti ruginya ndak memuaskan!”

Di Tempat-tempat Ini Para Aktivis Pernah “Mampir”

 orba.jpg

Judul buku : Neraka Rezim Suharto

Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru

Penulis         : Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto

Penerbit      : Spasi dan VHR Book

Tebal           : xv + 156 halaman

Sejatinya Kremlin ada di Rusia. Tapi di Jakarta juga ada. Bukan foto copy yang di Rusia, tapi akronim dari Kramat Lima, nama sebuah jalan di kawasan Kramat, Jakarta Pusat. Di kalangan aktivis jaman orde baru, istilah “dibawa ke Kremlin”, berarti ditangkap dan diperiksa di Jalan Kramat V (sekarang Kramat VII).

Cikal bakal “Kremlin” adalah tiga rumah di Jalan Kramat V Nomor 14, 16, dan 18. Sebelum pecah Gerakan 30 September (G30S), tiga rumah itu menjadi kantor Dewan Nasional Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Setelah diambil alih oleh militer, rumah nomor 16 dan 18 dijadikan sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib Kodam Jaya. Kemudian berganti nama menjadi Badan Koordinasi Pemulihan Stabilitas Nasional.

Sejak orde baru (orba) berkuasa, tempat ini menjadi salah satu tempat paling menakutkan, karena lembaga ekstra yudisial itu memiliki kewenangan menangkap, menculik, serta menyiksa orang-orang yang tidak sehaluan dengan rezim orba. Banyak aktivis yang pernah merasakan sadisnya tempat ini, mulai dari yang dituduh terlibat G30S hingga para aktivis 1998.

Menurut korban-korban yang pernah dibawa ke tempat ini, siksaan yang paling sering dilakukan adalah setruman listrik, sundutan rokok, dan pukulan hingga babak belur selama interogasi. Biasanya dalam satu ruangan lebih dari satu tentara yang menginterogasi. Mereka tak segan-segan menyiksa bila tahanan dianggap mengelak dari pertanyaan yang diajukan. (hal 48)

“Kremlin” adalah salah satu tempat penyiksaan musuh-musuh politik rezim orba yang ditulis dalam buku ini. Selain “Kremlin”, tempat penyiksaan lainnya adalah “Kalong”, sebuah rumah di Jalan Gunung Sahari III Nomor 10; “Guntur”, rumah tahanan Polisi Militer Kodam Jaya di Jalan Sultan Agung 33; eks markas Kodim 0505 di Jatinegara; “Gang Buntu” di Kebayoran Lama; eks tangsi tentara di Jalan Solo (sekarang Kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary); dan tempat “X” (diduga markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur).

Semua tempat penyiksaan itu ada di Jakarta. Ini yang membuat buku ini kurang lengkap karena tidak menyertakan tempat-tempat serupa di kota-kota lainnya. Apa karena penyiksaan di kota lain kurang sadis? Mungkin keterbasan bahan dan data yang membuat penulis buku ini, Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, hanya menulis 7 tempat di Jakarta.

Dari ketujuh tempat penyiksaan itu, yang terkenal paling sadis adalah “Gang Buntu”. Rumah tahanan ini terletak di sebuah gang buntu di kawasan Kebayoran Lama. Sebelum pecah G30S, “Gang Buntu” merupakan studio film milik Tan Ceng Bok. Setelah diambil alih oleh militer, konon tempat ini menjadi tempat tahanan Badan Intelijen Strategis (Bais).

Menurut cerita para korban dan penghuni rumah tahanan ini, metode penyiksaan dan para penyiksa di sini lebih kejam dibandingkan di tempat lain. Penyiksaan paling sadis dialami para pembajak pesawat DC-9 Garuda “Woyla”. Korban ditelanjangi, digantung dengan kedua tangan terikat, dan kemudian dikuliti. Ada pula yang ditetesi cairan kimia sampai kepalanya bolong. Bahkan, jenderal pun masih turun langsung ke tempat tahanan satu ini. Seorang eks tahanan yang terlibat kasus Talangsari mengatakan, di tempat itu ada lisensi untuk membunuh. (hal 81)

Kalau “Gang Buntu” dianggap sebagai tempat penyiksaan paling sadis, tempat penyiksaan yang dianggap paling “lunak” adalah tempat “X”. Kenapa demikian? Sebab para aktivis 1998 yang ditahan di sana masa penahanannya terbilang singkat (sekitar sebulan), dan setelah itu mereka dipindahkan  di Mabes Polri. Tempat itu cuma menjadi tempat pemeriksaan sementara.

Selain lebih “lunak”, di sana juga ada pemeriksaan medis. Jadi, di saat jeda penyiksaan, kesehatan para aktivis diperiksa secara berkala. Meski demikian, berdasarkan kesaksian beberapa aktivis, ada juga tahanan di sana yang hingga kini dinyatakan hilang. Entah meninggal karena disiksa, atau karena sebab-sebab lain.

Kehadiran buku ini bisa membuka wawasan kita tentang tempat-tempat, yang membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Selama ini kita hanya bisa mendengar cerita tentang tempat-tempat itu. Dengan hadirnya buku ini, sedikit banyak misteri itu sudah terkuak.

Buku ini akan lebih menarik dan berimbang bila ada konfirmasi, setidaknya satu-dua penjelasan, dari pihak militer, yang “mengelola” tempat-tempat itu. Apalagi di dalamnya ada disebut-sebut nama petinggi militer, yang pernah berdinas di lembaga intelijen. Bila yang bersangkutan masih hidup, penulis buku ini harusnya bisa mendapat konfirmasi tentang tempat-tempat tersebut.

Kekurangan lainnya ada pada penulisan nama dan jabatan yang kurang tepat. Contohnya, Todo Sihombing (bekas petinggi Bais) ditulis Todu Sihombing, dan Kolonel Witarmin (mantan Komandan Satgas Operasi Trisula) ditulis Wetamin. Sementara Sarbini Soemawinata (hanya ditulis  Sarbini) dijelaskan sebagai dosen Fakultas Kedokteran UI. Padahal yang bersangkutan adalah dosen di Fakultas Ekonomi UI, dan termasuk salah satu akademisi yang ditangkap saat peristiwa Malari.

Berkah reformasi membuat buku ini bisa terbit. Jadi, dengan segala keterbatasannya, perlu diberi apresiasi karena berhasil membuka wawasan baru menyangkut era kedigjayaan intelijen militer, yang memiliki lembaga-lembaga ekstra yudisial, yang berhak menangkap – bahkan punya lisensi membunuh – musuh-musuh politik yang dianggap “membahayakan stabilitas negara”.

Kembali ke Jalur Pembinaan

Ambisi kita cukup tinggi: 60-70 emas. Tapi, pesta belum berakhir, para petinggi olahraga Indonesia sudah pesimis ambisi itu bisa tercapai. Sampai hari keenam Sea Games, Selasa (11/12), Indonesia masih di posisi keenam dengan mengantungi 26 medali emas, 34 perak, dan 50 perunggu. Tertinggal jauh dibandingkan tuan rumah Thailand yang meraup 97 emas.

Di balik keterpurukan itu, masih ada kebahagiaan yang terpancar dari prestasi atlet atletik kita. Tujuh emas mereka persembahkan. Itu sesuai target KONI.

Bukan cuma itu. Gelar manusia tercepat di Asia Tenggara juga berhasil diraih atlet kita, Suryo Agung Wibowo, yang meraih emas di nomor 100 dan 200 meter putra, sekaligus memecahkan rekor Sea Games. Di nomor 200 meter, Agung membuat rekor baru, 20,76 detik. Sedangkan di nomor 100 meter dia mencatat waktu 10,25 detik.

Bagaimana pasca-Sea Games? Kalau mau terus berprestasi, kuncinya ada pada pembinaan. Induk-induk olahraga harus terus melakukan pembinaan, dan mencari bibit-bibit baru untuk diasah menjadi atlet andalan. Dan hal ini sudah disadari Ketua Umum KONI dan KOI Pusat Rita Subowo.

Dia berencana mengajak Departemen Pendidikan Nasional menggalakkan kembali pembinaan beberapa cabang olahraga, seperti atletik dan renang. Langkah ini harus didukung seluruh insan olahraga. Kita harus mengedepankan proses pembinaan jangka panjang, dan jangan lagi tergiur memakai cara-cara instan dalam meraih prestasi.