Tips Beli Elpiji

Pertamina  mengeluarkan iklan  layanan  masyarakat, yang dimuat di satu harian terbitan ibu kota,  untuk mengingatkan konsumen agar teliti  dalam membeli elpiji.

Kalau barangnya susah didapat, seperti yang terjadi di beberapa daerah, bagaimana tips itu bisa  “diamalkan” konsumen?

Menjelang Ramadhan

Empat hari menjelang   Ramadhan, seorang   teman mengingatkan  saya via sms untuk  mensucikan  hati  dan saling memaafkan.

“Ass. Wr.  Wb. Ramadhan telah diambang pintu, marilah kita sambut  dg membersihkan diri dan mensucikan hati. Kami sekeluarga  mengucapkan  mhn maaf lahir dan batin atas segala  khilaf dan salah. Semoga di bulan yg  suci ini  kita selalu  mendapat  lindungan dan ridho dari Allah Swt. Amin. Wslm”. 

Pesan itu dikirimkan  Iman, teman yang tinggal di Bandung. Kemajuan teknologi  memudahkan  kita    untuk bersilaturrahmi  lewat sms meskipun tinggal berjauhan. Saya  dan Iman sudah  tiga tahun tak jumpa, namun  kerap  silaturrahmi via sms.

“Selamat berpuasa. Semoga Allah menjadikan kita insan yang takwa,” balas saya.

Bersilaturrahmi  dan  bermaaf-maafan, baik secara langsung  maupun lewat telepon   atau sms,  sudah  menjadi tradisi  di kalangan umat Islam Indonesia  menjelang tibanya  Ramadhan. 

Silaturrahmi  tidak saja  dengan yang masih hidup,  tapi juga dengan mereka yang sudah berpulang ke rakhmatullah. Tak heran bila setiap menjelang Ramadhan, tempat pemakaman umum (TPU) ramai dengan peziarah dan para  penjual jasa, seperti pembaca doa.

Sudahkah  kita ziarahi  orang tua kita, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat,  dan bermaaf-maafan dengan kerabat dan handai taulan?

Ketika Anak Bangsa Memangsa Sesama

Judul buku: Zaman Edan:  Indonesia di Ambang Kekacauan

Penulis: Richard Lloyd Parry

Penerbit: Serambi, 2008

Tebal: 451 halaman

 

Judul buku ini  lumayan seram: Zaman Edan. Subjudul-nya  tak kalah seram:  Indonesia   di Ambang Kekacauan.

Setuju tak setuju, suka tak suka dengan judul dan subjudul itu,  harus diakui bahwa periode 1997-1999  adalah masa-masa sarat konflik  dan pertumpahan darah  di negara ini.

Berbagai konflik   itu    diliput oleh penulis buku ini, Richard Lloyd Parry, yang saat itu bekerja  sebagai  koresponden  The Times,  di Tokyo, Jepang.

Terbagi tiga bagian, bagian pertama  membahas  kerusuhan  etnis   di Kalimantan Barat (Kalbar) antara 1997-1999.  Bagian kedua mengupas  kerusuhan  di Jakarta menjelang turunnya Soeharto,  Mei 1998. Dan bagian ketiga melaporkan aksi-aksi kekerasan sebelum, selama, dan  setelah referendum   di Timor – Timur (Timtim) periode 1998-1999.   

Dari tiga bagian  tersebut,  hanya bagian kedua  yang sudah banyak  diliput,  ditulis  dan diulas di media massa nasional,  baik cetak maupun elektronik.  Sementara bagian  pertama dan ketiga,  bagi masyarakat awam  masih  banyak yang  menjadi misteri,  dan informasi yang beredar  umumnya dari mulut ke mulut.

Lagi pula tak banyak  media massa nasional  yang menampilkan foto-foto  korban  kekerasan di Kalbar    dan Timtim,  yang menjadi korban kebrutalan sesama anak bangsa.

Tak ada, misalnya, media yang menampilkan gambar/foto kepala yang terpenggal, lalu  ditancapkan di tombak    untuk kemudian diarak-arak saat pecah kerusuhan etnis di Kalbar.

Tak ada pula   yang menampilkan foto-foto  korban kekejaman tentara dan milisi  saat Timtim memanas menjelang  dan setelah referendum.

Buku ini juga   tak  menampilkan satu  foto pun, yang menggambarkan aksi kekerasan berikut korban-korbannya, baik yang terjadi di Kalbar, Jakarta, maupun Timtim.  Namun laporan   hasil liputan  Richard di tiga   wilayah tersebut  berhasil  membuka  wawasan pembacanya tentang   aksi-aksi kekerasan, yang selama ini belum terungkap.

Bagi mereka yang antikekerasan, siap-siaplah menahan rasa mual  saat membaca   aksi kanibalisme yang dilakukan   salah satu pihak yang bertikai di Kalbar terhadap lawan yang telah mereka bantai.

Richard memang  tidak menyaksikan langsung   aksi  pertempuran antaretnis yang bertikai di sana.  Namun dia menyaksikan   dengan mata kepala sendiri  potongan tubuh manusia yang dibakar  di tempat pembakaran sate. 

Dia juga menyaksikan   sekelompok  orang yang tengah    membuat api unggun  dan memanggang  bagian-bagian tubuh  korban  yang baru saja mereka bantai.   Sangat seram dan biadab.  Tapi itulah faktanya.

Coba simak  penuturan Richard berikut ini. “Di Kalimantan, saya melihat  kepala-kepala   ditebas dari tubuh  dan manusia memakan   daging manusia.   DI Jakarta, saya melihat   mayat-mayat  terpanggang   di jalanan, dan peluru  ditembakkan di sekitar  saya serta ke arah saya.   Saya berhadapan  dengan maut,  tapi masih  belum tersentuh;  pengalaman-pengalaman  seperti ini terasa penting”. (hal  25)

Di Timtim, Richard masuk   ke sana  pertama kali pada 1998  dengan satu tujuan: ingin  bertemu gerilyawan di   hutan. Untuk   mencapai tujuan tersebut, dia membuka kontak dengan kalangan  klandestin, baik yang ada di Jakarta maupun Dili.  Tujuan tersebut akhirnya tercapai,  dan dia  berhasil bertemu gerilyawan Falintil.

Pada 1999,   Richard  kembali ke Timtim  saat situasi memanas menjelang referendum. Pada periode ini  dia banyak menyaksikan   dan melaporkan  aksi-aksi kekerasan yang dilakukan  tentara dan milisi terhadap rakyat sipil.    Dia juga berhasil menjalin kontak   dan membangun jaringan  dengan kalangan prokemerdekaan.

Richard berada   di bekas provinsi  ke-27 itu  hingga  masa-masa pascareferendum, saat tentara  penjaga perdamaian PBB, Interfet,  masuk ke sana.  Kala   itu  dia termasuk segelintir   wartawan asing  yang masih bertahan  di Timtim, dan menjadi saksi    aksi bumi hangus  yang dilakukan tentara  dan milisi.

Kehadiran buku ini   sangat bermanfaat  dalam membuka wawasan   pembaca yang masih awam  atas  konflik   berdarah di  Kalbar, Jakarta, dan Timtim  periode 1997-1999.  Hanya seorang  wartawan  pekerja keras  yang punya nyali  seperti Richard   yang berani  terjun langsung meliput periode kelam tersebut.

Buku ini juga  bisa menjadi inspirasi  bagi wartawan Indonesia untuk menuliskan pengalaman mereka  meliput konflik  berdarah  yang mungkin tak  dimuat di media   tempat mereka bekerja, entah    karena swasensor  dari internal redaksi,  atau  karena  ancaman/tekanan   dari pihak penguasa, seperti di zaman  orde baru  (orba)  dulu.

Tak ada gading yang tak retak.   Buku yang menarik, enak dibaca, dan berhasil mengungkap  misteri  kerusuhan  di Indonesia, ini  tak lepas  dari kekurangan –  atau lebih tepat disebut  ketidakakuratan penulisnya. Di halaman 34, Richard salah menjelaskan  konfigurasi partai politik   di masa orba.  

PDI ditulisnya   sebagai Banteng Merah Nomor Dua (harusnya nomor 3),  sedangkan Golkar    ditulisnya  sebagai  Beringin Kuning Nomor Tiga (harusnya nomor 2).

Itu bukan kesalahan serius.  Mungkin  dia terbalik  memberi penomoran kedua partai itu.  

Meski demikian,  kesalahan itu perlu  direvisi bila kelak  buku ini akan  dicetak ulang. Hal itu  perlu dilakukan  untuk menjaga  kredibilitas  Richard Lloyd Parry sebagai wartawan  kawakan  yang berani meliput konflik-konflik  berdarah  di berbagai negara.

Harga Naik, Barang Langka

Mulai Senin (25/8), Pertamina  menaikkan harga  elpiji.  Untuk kemasan 12 kg, naik dari  Rp 63.000 menjadi Rp  69.000 per tabung. Sedangkan yang  50 kg, naik menjadi Rp 362.750, dari  sebelumnya  Rp 343.900.

Kenaikan itu menimbulkan sinisme konsumen. Sebab, sudahlah harganya naik, barangnya  susah didapat. 

Seperti yang dialami Toyib, kerabat saya di Bandar Lampung.  Untuk mendapatkan satu tabung 12 kg, dia harus keliling ke beberapa agen. Itu pun  harganya   lebih mahal   daripada harga yang ditetapkan Pertamina.

“Kabarnya elpiji langka    di Bd Lpg?” tanya saya lewat sms.

“Biasa, permainan,” jawabnya.  

Rupanya,  di mata  konsumen seperti Toyib, bila terjadi  kelangkaan elpiji, itu bukan  lagi hal yang luar  biasa, dan mereka menganggapnya   sebagai permainan oknum.

“Brp harganya,” tanya saya lagi.

“Rp 75 rb”.

Dengan harga  sebesar itu, berarti konsumen harus membayar Rp 6.000 lebih mahal dari harga yang ditetapkan pemerintah, untuk mendapatkan  1 tabung 12 kg.

Meski harus antre dan  membayar lebih mahal, ternyata  konsumen masih toleran   dan tidak kehilangan selera  humornya. 

“Kalau nonton tv tlg liat  di liputan 6  sctv ada gambar gua gak. Td siang kami disorot wartawan  lg bawa tabung   (antri  LPG) he he he  (malu2in aja},” katanya berseloroh.

Inilah bukti kalau masyarakat kita  pemaaf. Harga elpiji naik pun mereka masih  bisa bercanda.

Ziarah ke Karet

Saya tak punya keluarga  atau teman yang dimakamkan di  Tempat Pemakamam Umum (TPU)  Karet, Jakarta Pusat. Jadi tak pernah sekali pun berziarah ke sana meski hampir  tiap hari melintasi kawasan tersebut dalam perjalanan  pulang dari kantor.

Sebuah sms  yang dikirimkan teman saya, Ulfi, membuat saya  – untuk pertama  kalinya – berziarah ke Karet. “Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tlh mninggl dunia  bpknya Axxa sktr jam 10. Dismymkn  di sktr seskoal (keb lama)”. Ulfi dan Axxa  adalah teman saya  sekantor.

Untuk mendapat informasi lebih lengkap,  saya  coba hubungi Ulfi. Ternyata  dia dan teman-teman  yang lain sudah di rumah duka, dan  mereka  sudah mau  pamit  pulang. Menurut  dia,  jenazah akan dimakamkan di Karet, ba’da ashar.

Karena  masih ada  kesibukan yang harus diselesaikan,  saya memutuskan  untuk langsung   ke Karet, ba’da ashar.

Usai salat ashar, berangkatlah  saya  dan Ulfi  dari kantor di Tebet  menuju  Karet melalui  Casablanca  terus ke  Jalan Mas Mansyur.  Kami  masuk  dari  pintu  yang berada di Jalan Mas Mansyur, sekitar 100 meter sebelum perempatan ke  Tanah  Abang dan Pejompongan.

Sampai di sana  suasana cukup  ramai karena  banyak peziarah  yang  berziarah   menjelang  tibanya bulan Ramadhan. 

Perhatian saya tertuju  kepada satu  keluarga  yang tengah berkumpul, dan saya melihat  satu sosok  berkaus hitam, berkacamata,  dan bertubuh  tinggi besar.  Ya, tidak salah lagi, itulah Axxa yang tengah bicara dengan beberapa anggota keluarganya.

Saya lalu mendekatinya.   Saya lihat   celananya  berlepotan tanah. “Wah, jangan-jangan sudah dikuburkan,”  kata saya dalam hati.

Axxa  dan beberapa kerabatnya rupanya tengah memberi  tip kepada para penggali kubur.  Setelah selesai urusannya, saya  jabat tangannya. “Turut berduka cita sedalam-dalamnya,” kata saya.

Dia  tersenyum dan nampak terharu. “Terima kasih. Kami baru saja  selesai  memakamkan,” jawabnya. Rupanya  keluarga Axxa memutuskan  untuk mempercepat pemakaman, sehingga  pemakaman  selesai  ba’da ashar.

Tak lama  kemudian  Axxa dan keluarganya kembali ke rumah.   Sebelum pulang,  saya ajak Ulfi berziarah ke makam almarhum ayahnya  Axxa. 

Tempatnya  gampang dikenali karena masih ada tenda  dan karangan bunga. Ironisnya,  karangan bunga itu   tengah digerogoti dua ekor kambing. Entah kambing punya siapa, nampaknya  kambing-kambing itu mendapat  “santapan” baru.  Mungkin  mereka  perlu  variasi makanan, selain  rumput yang biasa disantap tiap hari.

Sambil berjongkok, saya  panjatkan doa untuk almarhum, mohon kepada Allah agar  diampunkan dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, dan diberi tempat yang layak di sisi Allah SWT.

Usia  berdoa, kami pun beranjak pulang.  Baru dua langkah  dari makam  ayahnya Axxa,  mata saya tertumbuk pada sebuah nisan hitam. Di situ tertulis nama H. Muhammad Natsir Dt Sinaro Panjang.  Beliau mantan  Perdana Menteri dan Menteri Penerangan, yang baru saja diperingati 100  tahun kelahirannya.

Selain nisannya  Pak Natsir, yang wafat 1993,  di makam tersebut  ada pula  nisan  Rusdi Natsir,  putranya yang wafat 2006 lalu. 

“Ini makamnya Pak Natsir.    Ayo  kita  ziarah sebentar,” ajak  saya kepada Ulfi. 

Usai berdoa di makam tokoh besar tersebut, kami pun pulang.  Hati saya rasanya plong karena   telah bertemu  Axxa, menyampaikan  duka cita  atas kepergian almarhum ayahnya,  dan sempat menziarahi makamnya.     

Saya  juga  bersyukur  bisa menziarahi makam  tokoh  pejuang, ulama, dan politikus yang santun dan rendah hati, Muhammad Natsir. Meski tak  kenal secara pribadi,  namun saya mengagumi ketokohannya.   

Sekali ke Karet, dua makam diziarahi.

Pemalsuan Surat

Penipu gentayangan di mana-mana.  Modusnya  bermacam-macam, diantaranya pemalsuan surat,  seperti  diumumkan  dalam satu  iklan  yang dimuat di Kompas, Kamis (21/8).

Waspadalah para  wajib pajak!

Pembantu dan Lebaran

Lebaran  masih lama. Puasa  pun – insya Allah – masih  11 hari lagi. Tapi, biar  lebaran  masih lama,  saya langsung teringat  pada  rumah  tangga  yang    dtinggal   pembantunya  mudik  saat lebaran tiba.  

Itu  gara-gara sms yang dikirim  kakak saya.  “Ada  pembantu  dr Sumedang,  gaji  250,  mau gak loe? Kl mau ntar gua  bawa  sklian ke jkt”.

Sudah cukup lama saya, yang hidup sebatang kara,   tak punya  pembantu. Untung rumah yang saya  tempati  kecil, jadi nggak repot mengurusnya. Segalanya saya kerjakan sendiri. 

Sebenarnya    kehadiran pembantu    saya  perlukan juga, khususnya  untuk  kebersihan rumah.  Tapi  menerima pembantu untuk saat ini  kurang tepat    karena       paling-paling mereka kerja sebulan. Lalu, menjelang lebaran, mudik  ke kampung dan tak ada jaminan dia akan kembali lagi.

“Kalo skr  tanggung, cuma kerja  sebln  terus mudik. Abis  lebaran aja,” jawab saya.

“Ya blm tentu  dpt lg kl mau  nunggu lbrn,” balas kakak saya.

Yah, begitulah.  Pagi-pagi  sudah dapat sms  nawarin pembantu.  Sayang momennya kurang tepat. Mudah-mudahan  habis lebaran nanti   dapat  pembantu yang rajin dan jujur.

Meragukan Caleg Pesohor

Pagi-pagi, saat lagi asyik  baca koran,  teman saya, Ulfi, curhat lewat sms. “Masak jkt (PAN)   akan diwkli  Mxxxxa sih?  Sori undrestmte. Makin    kgk  respek  aja sm parpol”.

Mxxxra adalah  seorang komedian dan pemain sinetron yang  namanya  melejit setelah membintangi  satu sinetron besutan Rano Karno pada dekade 90-an.

Lewat sms, saya jelaskan ke Ulfi  bahwa komedian dan pemain sinetron yang menjadi  caleg  bukan cuma Mxxxxa, tapi ada juga nama lain seperti  JM, seniornya Mxxxxa,  yang akan dicalonkan  sebuah  parpol baru, serta  EP  dan C yang dicalonkan  PAN.

Membaca  sms saya,  Ulfi makin  meluap kejengkelannya. “Ini mah becanda  banget!”

Rupanya,  bagi  Ulfi keputusan  parpol  mencalegkan   para komedian  dan pemain sinetron  bukanlah  kebijakan  yang serius.  Sebagai rakyat, dia merasa aspirasinya tak  akan  bisa diwakili figur-figur  yang  kerjanya  lebih banyak memancing tawa.  

Seperti dinyatakan dalam sms-nya,  Ulfi mengaku tidak respek kepada  parpol yang mencalegkan   komedian dan pemain sinetron.

Saya yakin  dia  tidak sendiri. Orang  yang berpendapat seperti Ulfi   banyak. Umumnya,  mereka  meragukan efektivitas  pencalegan  para pesohor,   kecuali untuk mendulang suara  dengan memanfaatkan  popularitas mereka. 

Banyak  suara sumbang dan sinis di masyarakat  yang  meragukan kemampuan para pesohor tersebut sebagai  wakil rakyat.   

Buktinya  sudah ada.  Para wakil rakyat  yang berasal dari latar belakang  artis/selebritis banyak yang tak bersuara  di  gedung  parlemen. Padahal  mereka  bukanlah tipe  artis  pemancing tawa, dan pendidikannya juga cukup tinggi. 

Apalagi kalau nanti yang terpilih       para artis  pemancing tawa. Bisa-bisa  rapat  membahas  nasib rakyat menjadi ajang guyonan. Wallahua’lam.

Permohonan Maaf PT Kereta Api

Iklan  seperti di bawah ini selalu  terbit di  surat kabar setiap habis terjadi kecelakaan kereta api yang memakan korban, mulai dari luka ringan, luka berat, hingga meninggal dunia.

Dengan jiwa besar  dan kerendahan hati, manajemen PT Kereta Api  (KAI)  menyampaikan permintaan maaf  atas terjadinya kecelakaan kereta  api di Bandar Lampung,  Sabtu (16/8).

Kita perlu memberikan apresiasi atas  permintaan  maaf tersebut, yang dimuat  di  Bisnis Indonesia. Selasa (19/8).  Namun manajemen KAI juga harus  mengumumkan ke masyarakat  bentuk pertanggungjawaban mereka atas nasib para korban.  serta hasil penyelidikan atas  penyebab  terjadinya kecelakaan yang menewaskan 7 orang tersebut.

Semakin profesional,  tentu semakin terbuka. Jadi, umumkanlah   ke publik  dengan transparan!

Seorang Bayi Bernuansa Delapan

Ini bayi paling ngetop yang lahir  bulan ini,  bahkan mungkin untuk tahun ini.  Namanya Almira  Tunggadewi Yudhoyono,   panggilannya Aira,   putri pasangan Kapten (Inf) Agus Harimurti  dan  Annisa Pohan. 

Dalam bahasa Arab,  Almira artinya   putri yang  mulia. Tunggadewi   diambil dari nama seorang Ratu  Majapahit. Tribuana Tunggadewi. Sedangkan  Yudhoyono  diambil dari nama eyang  bayi tersebut, Presiden  RI,  Susilo Bambang  Yudhoyono.  

“Diharapkan,  Aira memiliki karakter yang mulia,”  kata  Agus Harimurti, seperti dikutip  Kompas, Selasa (19/8).

Kelahiran  bayi ini  terbilang istimewa.  Dia lahir  pada ulang tahun kemerdekaan  RI ke-63, dan ditunggui oleh orang nomor satu di republik ini.

Nuansa  delapan mengiringi kelahirannya.  Lahir pada  bulan delapan, tahun 2008,  minggu ke-38, panjang 48 cm, dan berat 2,8 kg. 

Tanggal lahirnya, 17-8-2008, bila dijumlahkan menjadi 2033. Angka  2033 ini  juga jumlahnya 8 (2+0+3+3=8).

Mereka yang percaya  pada numerologi menilai  bahwa  delapan  adalah angka keberuntungan bayi ini kelak. Bagi yang tak percaya,  akan menganggapnya hanya  sebagai kebetulan belaka.

Namanya juga utak-atik angka. Terkesan  serba kebetulan, tapi faktanya  banyak berhubungan dengan angka delapan. Wallahua’lam.

Selamat  kepada  pasangan Agus Harimurti-Annisa Pohan,  Pak SBY, dan Ibu Ani  Yudhoyono.  Semoga Aira menjadi  putri yang salehah, yang selalu berbakti pada orang tua, agama, dan negara.