Judul buku: Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan
Penulis: Richard Lloyd Parry
Penerbit: Serambi, 2008
Tebal: 451 halaman
Judul buku ini lumayan seram: Zaman Edan. Subjudul-nya tak kalah seram: Indonesia di Ambang Kekacauan.
Setuju tak setuju, suka tak suka dengan judul dan subjudul itu, harus diakui bahwa periode 1997-1999 adalah masa-masa sarat konflik dan pertumpahan darah di negara ini.
Berbagai konflik itu diliput oleh penulis buku ini, Richard Lloyd Parry, yang saat itu bekerja sebagai koresponden The Times, di Tokyo, Jepang.
Terbagi tiga bagian, bagian pertama membahas kerusuhan etnis di Kalimantan Barat (Kalbar) antara 1997-1999. Bagian kedua mengupas kerusuhan di Jakarta menjelang turunnya Soeharto, Mei 1998. Dan bagian ketiga melaporkan aksi-aksi kekerasan sebelum, selama, dan setelah referendum di Timor – Timur (Timtim) periode 1998-1999.
Dari tiga bagian tersebut, hanya bagian kedua yang sudah banyak diliput, ditulis dan diulas di media massa nasional, baik cetak maupun elektronik. Sementara bagian pertama dan ketiga, bagi masyarakat awam masih banyak yang menjadi misteri, dan informasi yang beredar umumnya dari mulut ke mulut.
Lagi pula tak banyak media massa nasional yang menampilkan foto-foto korban kekerasan di Kalbar dan Timtim, yang menjadi korban kebrutalan sesama anak bangsa.
Tak ada, misalnya, media yang menampilkan gambar/foto kepala yang terpenggal, lalu ditancapkan di tombak untuk kemudian diarak-arak saat pecah kerusuhan etnis di Kalbar.
Tak ada pula yang menampilkan foto-foto korban kekejaman tentara dan milisi saat Timtim memanas menjelang dan setelah referendum.
Buku ini juga tak menampilkan satu foto pun, yang menggambarkan aksi kekerasan berikut korban-korbannya, baik yang terjadi di Kalbar, Jakarta, maupun Timtim. Namun laporan hasil liputan Richard di tiga wilayah tersebut berhasil membuka wawasan pembacanya tentang aksi-aksi kekerasan, yang selama ini belum terungkap.
Bagi mereka yang antikekerasan, siap-siaplah menahan rasa mual saat membaca aksi kanibalisme yang dilakukan salah satu pihak yang bertikai di Kalbar terhadap lawan yang telah mereka bantai.
Richard memang tidak menyaksikan langsung aksi pertempuran antaretnis yang bertikai di sana. Namun dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri potongan tubuh manusia yang dibakar di tempat pembakaran sate.
Dia juga menyaksikan sekelompok orang yang tengah membuat api unggun dan memanggang bagian-bagian tubuh korban yang baru saja mereka bantai. Sangat seram dan biadab. Tapi itulah faktanya.
Coba simak penuturan Richard berikut ini. “Di Kalimantan, saya melihat kepala-kepala ditebas dari tubuh dan manusia memakan daging manusia. DI Jakarta, saya melihat mayat-mayat terpanggang di jalanan, dan peluru ditembakkan di sekitar saya serta ke arah saya. Saya berhadapan dengan maut, tapi masih belum tersentuh; pengalaman-pengalaman seperti ini terasa penting”. (hal 25)
Di Timtim, Richard masuk ke sana pertama kali pada 1998 dengan satu tujuan: ingin bertemu gerilyawan di hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dia membuka kontak dengan kalangan klandestin, baik yang ada di Jakarta maupun Dili. Tujuan tersebut akhirnya tercapai, dan dia berhasil bertemu gerilyawan Falintil.
Pada 1999, Richard kembali ke Timtim saat situasi memanas menjelang referendum. Pada periode ini dia banyak menyaksikan dan melaporkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan tentara dan milisi terhadap rakyat sipil. Dia juga berhasil menjalin kontak dan membangun jaringan dengan kalangan prokemerdekaan.
Richard berada di bekas provinsi ke-27 itu hingga masa-masa pascareferendum, saat tentara penjaga perdamaian PBB, Interfet, masuk ke sana. Kala itu dia termasuk segelintir wartawan asing yang masih bertahan di Timtim, dan menjadi saksi aksi bumi hangus yang dilakukan tentara dan milisi.
Kehadiran buku ini sangat bermanfaat dalam membuka wawasan pembaca yang masih awam atas konflik berdarah di Kalbar, Jakarta, dan Timtim periode 1997-1999. Hanya seorang wartawan pekerja keras yang punya nyali seperti Richard yang berani terjun langsung meliput periode kelam tersebut.
Buku ini juga bisa menjadi inspirasi bagi wartawan Indonesia untuk menuliskan pengalaman mereka meliput konflik berdarah yang mungkin tak dimuat di media tempat mereka bekerja, entah karena swasensor dari internal redaksi, atau karena ancaman/tekanan dari pihak penguasa, seperti di zaman orde baru (orba) dulu.
Tak ada gading yang tak retak. Buku yang menarik, enak dibaca, dan berhasil mengungkap misteri kerusuhan di Indonesia, ini tak lepas dari kekurangan – atau lebih tepat disebut ketidakakuratan penulisnya. Di halaman 34, Richard salah menjelaskan konfigurasi partai politik di masa orba.
PDI ditulisnya sebagai Banteng Merah Nomor Dua (harusnya nomor 3), sedangkan Golkar ditulisnya sebagai Beringin Kuning Nomor Tiga (harusnya nomor 2).
Itu bukan kesalahan serius. Mungkin dia terbalik memberi penomoran kedua partai itu.
Meski demikian, kesalahan itu perlu direvisi bila kelak buku ini akan dicetak ulang. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas Richard Lloyd Parry sebagai wartawan kawakan yang berani meliput konflik-konflik berdarah di berbagai negara.
Agustus 27, 2008
Kategori: Buku . Tag:Buku, Interfet, Jakarta, Kalimantan Barat, Richard Lloyd Parry, Timor Timur . Penulis: dyhary . Comments: 1 Komentar