Judul buku: Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah
Penulis: Bung Tomo (Sutomo)
Penerbit: Visimedia, 2008
Tebal: xiv + 164 halaman
Nama Bung Tomo (Sutomo) belakangan ini kembali menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Anugerah Pahlawan Nasional yang diberikan pemerintah kepada pelaku sejarah peristiwa 10 November 1945, membuat masyarakat kembali terkenang akan peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya tersebut.
Buku ini merupakan salah satu karya Bung Tomo, yang diterbitkan pertama kali pada 1951 oleh Usaha Penerbitan Balapan Djakarta. Untuk menyambut momen Hari Pahlawan, diterbitkan kembali oleh penerbit Visimedia.
Membaca buku ini menyegarkan kembali ingatan kita akan sosok Bung Tomo, khususnya sepak terjangnya di masa revolusi. Dalam buku ini, dia menceritakan gejolak perlawanan rakyat di Surabaya dalam menentang kembalinya penjajah Belanda, yang mendompleng tentara Sekutu.
Sebelum terjadinya peristiwa 10 November yang heroik tersebut, terjadi beberapa aksi perlawanan rakyat, seperti pelucutan senjata tentara Jepang, dan perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje, September 1945.
Untuk menggelorakan semangat perlawanan rakyat, Bung Tomo berinisiatif mengadakan siaran radio, yang isinya agitasi mengingatkan rakyat akan bahaya yang mengancam kemerdekaan Indonesia.
Semula ide tersebut ditentang Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Alasannya, siaran radio yang bersifat agitasi bisa mengeruhkan suasana di dalam negeri. Dan hal seperti itu tidak dikehendaki oleh tentara Sekutu.
Bung Tomo berkeras dengan rencananya tersebut. Buat dia, justru dengan menunjukkan kepada tentara Sekutu (dia menyebutnya Serikat) akan adanya rakyat yang berjiwa dan berpendirian ekstrem dalam mempertahankan negaranya, tentara Sekutu akan lebih menghargai Republik Indonesia yang bisa diajak berunding.
Pemerintah, kata Bung Tomo, bisa menggunakan rakyat yang ekstrem itu sebagai kekuatan yang berdiri di belakang mereka dalam perundingan. (hal 60)
Menteri Amir Sjarifuddin akhirnya setuju. Namun dia meminta agar tidak menggunakan siaran RRI, sebagai radio resmi pemerintah. Amir mengusulkan agar siaran itu diberi nama Voice of the Indonesian Revolt (Suara Revolusi Indonesia), yang menyiarkan pidato dalam bahasa Inggris, Perancis, dan bahasa internasional lainnya.
Setelah mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat, Bung Tomo memanfaatkan pemancar Radio Surabaya untuk dijadikan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia.
Sejarah mencatat, pidato Bung Tomo yang heroik dan legendaris, yang berhasil membakar semangat rakyat untuk melawan tentara Sekutu dalam peristiwa 10 Nobember, dipancarkan melalui radio tersebut.
Teks pidato Bung Tomo tersebut dimuat dengan utuh di bagian lampiran buku ini. Dan, sebagai bonus, penerbit buku ini juga memberikan CD pidato tersebut.
Sebelum pecah pertempuran 10 November, Bung Tomo sempat mengalami peristiwa tidak mengenakkan yang diakibatkan salah paham dengan sesama pejuang. Dia “ditawan” oleh laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya, yang salah menerjemahkan perintah Dr Mustopo, pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya.
Mustopo memerintahkan PRI untuk “melindungi” Bung Tomo dengan kekuatan bersenjata. Namun pimpinan PRI menerjemahkan “perlindungan” bagi Bung Tomo sama seperti “perlindungan” bagi orang Belanda atau kaki tangan NICA, yang artinya ditangkap atau ditawan!
“Untuk beberapa jam terpaksa aku merasakan hidup sebagai seorang tawanan, saat revolusi sedang berkobar dengan sengitnya,” kata Bung Tomo. (hal 101)
Peristiwa 10 November mendapat porsi terbesar dalam buku. Bermula dari kedatangan kapal-kapal perang Sekutu di Surabaya pada 24 Oktober 1945 dengan misi melucuti tentara Jepang, yang menjadi tawanan tentara Sekutu.
Semula tercapai kata sepakat antara pihak Indonesia dan Sekutu, dimana tentara Sekutu mengakui kekuasaan pemerintah Republik Indonesia (RI), dan tentara Sekutu tidak membawa tentara Belanda dan NICA.
Namun, tanpa mengindahkan kesepakatan tersebut dan keberadaan pemerintah RI, Sekutu menduduki gedung-gedung strategis dan tempat-tempat penting lainnya. Sikap tersebut memancing kemarahan rakyat, dan pada 28 Oktober pecah pertempuran darat di Surabaya.
Untuk meredakan ketegangan, pihak Sekutu meminta Presiden Sukarno datang ke Surabaya pada 29 Oktober. Setelah berunding dengan Jenderal Hawthorn, Panglima Pasukan Inggris di Jawa, dan Brigjen Mallaby, Komandan Tentara Inggris di Jawa Timur, dicapai persetujuan untuk menghentikan tembak-menembak, serta perawatan para korban, baik yang gugur maupun luka, dari kedua belah pihak.
Gencatan senjata itu tak berlangsung lama. Konflik kembali memanas setelah Brigjen Mallaby, salah seorang anggota Badan Kontak (Contack Bureau), yang bertugas mendatangi tempat-tempat yang masih terjadi pertempuran untuk menyampaikan kesepakatan penghentian tembak-menembak, tewas.
Tewasnya Mallaby membuat Sekutu murka. Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia, Jenderal Christison, menamakan peristiwa tersebut sebagai “foul murder” (pembunuhan yang kejam). Dia mengancam akan mengerahkan segenap kekuatan Sekutu untuk menghadapi orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. (hal 128)
Sebelum pecah pertempuran 10 November, Sekutu menyebarkan pamflet lewat udara pada 9 November. Isinya, antara lain, semua pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala Radio Surabaya, harus melaporkan diri di Bataviaweg (Jalan Batavia) pada 9 November jam 18.00. Mereka harus bersedia menandatangani suatu pernyataan menyerah tanpa syarat.
Selain itu, rakyat yang bersenjata harus menyerahkan senjata dengan berjalan membawa bendera putih tanda menyerah.
Ultimatum itu diabaikan rakyat, dan mereka patuh menunggu instruksi dari pimpinannya. Hingga jam 9, 10 November 1945, belum ada satu butir peluru pun yang dilepaskan para pejuang. Namun situasi mulai berubah setelah ada informasi bahwa tentara Inggris sudah mulai menembak.
Bung Tomo segera menuju pemancar Radio Pemberontakan. Sekitar jam 9.30, dia memberikan komando kepada barisan rakyat untuk mulai memberikan perlawanan terhadap tantangan tentara Sekutu.
Pada 10 November, kata Bung Tomo, rakyat melupakan segala -galanya, kecuali Republik Indonesia harus tetap merdeka! Tidak penting lagi arti golongan, tingkatan, perbedaan agama, dan paham. Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 sedang terancam bahaya. Kemerdekaan Tanah AIr sedang terganggu.
Satu Indonesia yang terancam, satu bangsa Indonesia yang akan membelanya. Satu pula tekad bangsa Indonesia. Sekali merdeka tetap merdeka!
Masih kata Bung Tomo, bukan satu dua orang yang pada hari itu menunjukkan kepahlawanannya! Individual tidak laku pada hari itu! Pemerintah, tentara, rakyat, segenap golongan bangsa Indonesialah yang pada hari itu membela Tanah Airnya! Segenap rakyat berjuang pada hari itu.
Jika ada yang dianggap pahlawan pada hari itu, tegas Bung Tomo, segenap rakyat itulah yang harus dinamakan pahlawan (Bung Tomo menulisnya dengan huruf besar)! (hal 147-148)
Pernyataan di atas menunjukkan kerendahan hati seorang pejuang yang berjuang tanpa pamrih, dan tak mau menonjolkan jasa dan pengabdiannya.
Buat dia, segenap rakyat adalah pahlawan!
November 13, 2008
Kategori: Buku . Tag:10 November 1945, Buku, Bung Tomo . Penulis: dyhary . Comments: 11 Komentar