Menunggu Maryamah Karpov

Di sebuah pameran buku di Senayan,  awal 2008,  saya sempat bertanya kepada  seorang  penjaga stan penerbit Mizan (induk penerbit Bentang), “Kapan Maryamah Karpov  terbit?”

“Menunggu film Laskar Pelangi diputar  di bioskop,” jawab si penjaga stan. Ketika itu,  pembuatan film Laskar Pelangi  tengah dalam penjajakan.   Shooting-nya pun belum dimulai.  

September lalu, film  yang diangkat  dari novel  berjudul sama karya  Andrea Hirata tersebut telah ditayangkan di layar lebar, dan  berhasil  menjaring  lebih dari 3 juta  penonton.

Semula saya mengira Maryamah Karpov, novel keempat dari tetralogi Laskar Pelangi, akan diterbitkan berbarengan dengan   pemutaran film Laskar Pelangi. Ternyata  tidak. Penerbit Bentang  rupanya  punya strategi tersendiri  dalam menerbitkan buku  tersebut.

Sebuah iklan di Kompas, Jumat (17/11), menjadi jawaban atas penantian  ribuan  pembaca yang menunggu  terbitnya Maryamah Karpov. Disebutkan bahwa launching buku tersebut  akan  disiarkan langsung oleh TV One dalam acara “Apa Kabar Indonesia”,  Jumat (28/11), jam 08.00 – 08.30 WIB.

Selanjutnya, pada hari yang sama akan dilakukan    pembacaan Maryamah Karpov bersama  Andrea Hirata dan Iman Soleh di MP Book Point,  Jl Puri Mutiara  Raya 72 Cipete, Jakarta Selatan,  jam 19.00 WIB.

Dijelaskan  pula dalam iklan  yang terletak di halaman 32 tersebut bahwa buku  itu  bisa diperoleh  di  Toko Buku   Gramedia,  Gunung Agung,   Toga Mas, dan MP Book Point mulai 28 November 2008 di wilayah Jakarta, Bandung,   dan sekitarnya.

Jadi, beruntunglah mereka yang berada di Jakarta, Bandung, dan sekitarnya, karena mulai besok, Jumat (28/11), sudah bisa  membeli buku yang berisi  mimpi-mimpi Lintang, sahabat Ikal yang  kurang beruntung karena tak bisa melanjutkan pendidikannya.

Seperti apa  persisnya isi buku tersebut? Mari ke toko buku untuk mendapatkan jawabannya!

“Itu Bisa Diatur”

 Abdurrahman  Wahid (Gus Dur) terkenal sebagai tokoh yang blak-blakan dan humoris.  Pernyataannya  yang tajam dan  kontroversial tergolong    layak kutip  bagi  media massa.  

Ketika berkuasa, dengan entengnya dia menjuluki  lembaga DPR sebagai  taman kanak-kanak. Banyak yang tersinggung. Tapi  setelah  melihat perilaku wakil rakyat yang  mirip kanak-kanak rebutan mainan,   banyak pula yang mengakui kebenaran sinyalemen Gus Dur tersebut.

Gus Dur pula  yang mempopulerkan kalimat  “Gitu ajak kok repot”.  Bahkan setelah dia tak lagi berkuasa,   ungkapan tersebut tetap  populer, dan kerap diucapkan oleh Gus Pur,   tokoh yang memparodikan  Gus Dur.

Semasa jayanya Srimulat,  almarhum  Gepeng  mempopulerkan  kalimat “Untung ada saya.”  Dengan suara khasnya yang  cempreng,  Gepeng   dengan “Untung ada  saya”-nya  sempat menjadi  pemancing tawa andalan Srimulat. Sayang   umurnya tak panjang, dan masyarakat juga  sudah banyak yang  lupa  dengan kalimat itu. 

Di kalangan anak muda,   populer  kalimat “Emangnya  gua pikirin”,  yang kerap disingkat  dengan EGP. Entah  siapa yang mempopulerkan istilah tersebut.  Kalau dia sadar hukum, pasti dia  akan  mengurus hak patennya ke Departemen Hukum dan HAM, seperti yang dilakukan artis Peggy  Melati Sukma, yang mempatenkan istilah “Pusiiiiing.”

Saya  jadi teringat  akan  kalimat-kalimat tersebut  setelah   heboh buku Legacy  of Ashes: The  History of CIA, yang  isinya  menyeret nama mantan Wakil Presiden Adam Malik. Dalam buku  karya Tim Weiner tersebut,  Adam Malik  disebut-sebut sebagai agen CIA.  

Di masa jayanya, Adam  Malik  yang pernah  menjabat  posisi-posisi penting seperti Menteri Luar Negeri, Ketua DPR, dan Wakil Presiden,   kerap  menyebut kalimat  “Itu bisa diatur” kala  diwawancarai  wartawan.  Buat dia,    tak  ada   hal  rumit yang tak ada jalan keluarnya.

Bung Kecil – julukan Adam Malik – termasuk satu dari sedikit  tokoh otodidak yang sukses. Dia tak pernah mengenyam  bangku perguruan tinggi,  namun mampu  memegang berbagai jabatan penting. Sejak  muda  dia sudah terlibat  dalam   pergerakan  kemerdekaan dan terus berjuang bagi negara, baik di masa orde lama maupun orde baru.

Wartawan, politikus, dan diplomat  yang lincah dan terampil bersilat lidah ini sudah ditetapkan pemerintah menjadi  pahlawan nasional.   Namanya  sudah diabadikan  menjadi  nama rumah sakit  di Medan.

Bahkan di  Pekon (kampung) Gunung Kemala, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat,   nama Adam Malik diabadikan  sebagai  nama jalan. Selidik punya selidik, ternyata  dalam sejarah daerah tersebut, si Bung Kecil adalah wakil presiden pertama yang berkunjung ke sana pada 1982, dan berjasa besar dalam pembangunan  daerah yang  berbatasan dengan Bengkulu tersebut.

Kontroversi buku   Tim Weiner itu memancing reaksi  para  pejabat.  Wakil Presiden Jusuf  Kalla,  mantan Presiden  BJ Habibie, dan Panglima TNI Jenderal  Joko Santoso menampik  pendapat bahwa  Bung Kecil adalah agen CIA.  Sementara keluarga besar Adam Malik  berniat mengeluarkan bantahan atas  isi buku  yang mencemarkan nama baik orang tua mereka.

Sahih tidaknya     isi buku tersebut biarlah para ahli sejarah yang mengujinya.  Pemerintah   berkewajiban  untuk  menjaga nama baik pahlawan nasional. Namun jangan sampai  melarang beredarnya buku  itu karena    cara  tersebut tidak elegan, dan bisa  merusak citra  Indonesia  sebagai negara demokrasi.   

Opini harus dihadapi dengan opini. Buku harus dihadapi dengan buku. Cara yang elegan  untuk  meng-counter  bukunya Tim Weiner adalah membuat buku tandingan. Nanti di buku tersebut  dibeberkan  siapa sebenarnya sosok Bung Kecil berdasarkan  kesaksian pelaku sejarah, serta  dokumen-dokumen yang sahih dan akurat.   Itu bisa diatur, kan?

SMS Nyasar Minta Rp 500.000

Pagi-pagi, saat  lagi asyik  baca koran, hp menyalak. Sebuah sms masuk.  “Gmana hari ini bisa ketemu eya ga.”

Nomor pengirimnya  saya  tak kenal. Isinya  juga nggak ngerti apa maksudnya. Begitu juga  dengan orang yang namanya Eya,  jati dirinya saya tak tahu. Saya anggap itu sms nyasar, jadi saya abaikan dan meneruskan baca koran.

Sekitar tiga jam kemudian, sms nyasar itu  datang lagi. “Gmana hari ini  jadi tdk n nti eya dikasih 500 rb ya, say.”

“Ada kemajuan. Sudah  pakai ‘say’ segala,” gumam saya dalam hati. Yang bikin saya penasaran, kenapa pula  kok  ada permintaan  uang. Mana jumlahnya cukup besar, Rp 500.000.

Karena ingin  tahu apa maunya  si pengirim sms nyasar itu, saya coba balas. “Eya sdh pasang tarif 500 rb?” tulis saya dengan pd-nya.  

“Mak nya yg pasang tau!”  jawab si pengirim sms nyasar dengan ketus.

Makin bingung saya  terima sms yang terakhir ini.  Sebenarnya  yang ngirim  sms si Eya, atau  ibu/mak/maminya? Kalau itu  ibu/mak/maminya, untuk apa    dia pasang tarif untuk anaknya?

Rasa ingin tahu saya makin terpancing. “Maknya  yg jualan?” tanya saya lagi.

Semenit, dua menit, tiga puluh menit, tak ada jawaban. Sejam, dua jam, tiga jam, dan sampai  tulisan ini dibuat, sms nyasar itu tak  datang lagi.

Mungkin  si pengirimnya sudah sadar kalau sms-nya nyasar. Syukurlah.

Inspirasi dari Journey to The Center of The Earth

Inspirasi bisa datang dari mana saja.  Di kala  membaca, melihat, atau mendengar sesuatu, ada saja inspirasi yang datang. Sebuah film  juga bisa mendatangkan inspirasi.

Kala menyaksikan Journey to The Center of The Earth,    perhatian saya terpaku pada  beberapa toples berisi  uang receh,  yang terletak di meja di rumah  Trevor (Brendan Frasher). Bukan  cerita fiksi ilmiahnya  yang menarik perhatian saya, tapi recehan dalam toples itu.

Receh jangan dianggap remeh. Sudah lama saya meyakini  kalimat tersebut, dan semakin termotivasi mengumpulkan receh   setelah menyaksikan film itu.  Apalagi  diceritakan bahwa  receh dalam toples itu   ditukar dengan  tiket pesawat ke  negara yang menjadi tujuan petualangan  Trevor dan keponakannya, Sean.

Mungkin pembuat film tersebut  tak menyadari bila   sepotong adegan Trevor  memasukkan   receh ke dalam toples  bisa mendatangkan inspirasi bagi penonton yang berada ribuan mil jauhnya dari   lokasi  pengambilan  gambar.

Begitu juga dengan “penampakan”  beberapa toples  penuh  berisi recehan teronggok di meja, tanpa disadari oleh si pembuat film telah memotivasi penontonnya untuk  memenuhi celengannya. 

Ya,     meski bukan bagian dari  inti  cerita,  receh di dalam toples  bisa mendatangkan inspirasi dan memotivasi  penontonnya untuk tekun menabung. Syukur-syukur bila  receh yang  dikumpulkan   bisa  ditukar dengan tiket untuk melancong, seperti cerita  dalam  film tersebut.

Inspirasi dari Bilik Siar

ida

Judul buku: Renungan Ida Arimurti: Membuat Hidup jadi Lebih Berarti

Penulis: Ida Arimurti

Penerbit: Hikmah, 2008

Tebal: xxx+178 halaman

 

Masa 25 tahun berkarya  bukanlah sebentar. Cukup banyak  pengalaman  pahit getir,  suka dan duka yang dirasakan selama  masa  seperempat abad tersebut.  Banyak pula hikmah  dan inspirasi yang didapat, selain   relasi dan materi  yang berhasil dikumpulkan.

Bagi seorang Ida Arimurti,   penyiar Radio  Delta FM,   selama 25 tahun berkiprah di radio,   banyak sudah yang dia raih.   Popularitas,  relasi, materi, serta pengetahuan dan pengalaman dalam menangani siaran radio, telah dia miliki.

Dengan semangat berbagi kebaikan,  melalui buku ini  dia ingin  menyebarkan  berbagai inspirasi yang diangkat  dari pengalaman hidup pribadi dan para tokoh   yang pernah menjadi narasumber di acara  “Renungan Ida Arimurti”, yang dia asuh  antara jam 16.00-20.00 WIB  di  Delta FM.

Buku ini ditulis  selang-seling antara  pengalaman pribadi Ida dengan  pengalaman pribadi   para narasumber “Renungan Ida Arimurti”. Latar belakang para narasumber tersebut beragam, mulai dari jenderal purnawirawan,  istri pejabat tinggi,   selebritis,    hingga pendengar setia  Delta FM.

Membacanya  tidak membosankan  karena  isinya tidak melulu tulisan,  namun banyak  disisipkan   foto-foto Ida,  baik foto pribadi,  bersama keluarga,  dengan  rekan-rekan kerja,  serta foto bersama  tokoh-tokoh ternama.

Ida cukup terbuka   menuturkan pengalaman hidupnya selama  berkarier sebagai penyiar radio.  Tanpa malu  dia menceritakan   pernah dicemooh seorang teman  yang memiliki  mobil mewah pemberian orang tuanya.

Karena terlalu banyak  bertanya tentang peralatan canggih  di mobil  itu,  teman tersebut  mencemoohnya karena  dianggap  ketinggalan jaman.

Namun dia  tidak dendam.  Dalam hatinya  dia bertekad  suatu waktu akan memiliki mobil mewah, tapi  dari hasil keringat sendiri. Bukan  pemberian orang tua!

Tekad tersebut kelak  terwujud menjadi realita. Mobil mewah  berhasil dia miliki, dan sang teman  yang dulu mencemooh  memberinya  ucapan selamat. Tak ada dendam di hati, dan mereka tetap berteman hingga kini.

Itu  contoh  pengaman hidup yang inspiratif karena mengajarkan  kepada pembaca   untuk tidak  dendam dan sakit hati  bila dicemooh orang lain.   Namun bertekad  kuat untuk bisa  meraih  cita-cita dan harapan  melalui kerja keras. Bukan menunggu  hadiah atau belas kasihan orang lain.

Inspirasi lain yang menarik untuk dicermati adalah pengalaman  hidup  Prof Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah.  Sebagai anak desa  yang menuntut ilmu  di Pesantren Pabelan, Magelang,  dia dinasehati Kiai Hamam Ja’far  untuk mencintai orang  pintar dan kaya, kalau ingin menjadi pintar dan kaya.

“Kalau kamu   membenci orang kaya,  kamu akan jadi miskin. Kalau kamu benci orang pintar,   kamu akan  jadi bodoh.  Cinta itu punya  kekuatan  yang akan  menghubungkan  diri kita   dan objek   yang kita cintai.  Maka, cintailah  orang kaya, pintar, dan saleh,”  demikian  pesan Kiai Hamam.  (hal 16)

Di pesantren,  Komar menambahkan,   para santri diajari  untuk berpikir  dan bermimpi besar.  Sebab Tuhan   menciptakan   semua yang ada di bumi  untuk manusia  dan siapa pun berhak  untuk bercita-cita  dan meraih  kebahagiaan.

“Kamu semua harus berani  angkat kepala, menatap ke depan,  jelajahi  hamparan bumi ini. Kejarlah  anugerah  kehidupan karena   semua anak manusia punya  hak yang sama,”  kata Komar  mengutip nasehat Kiai Hamam.

Masih banyak  kisah inspiratif  lainnya  dalam buku ini.  Semua kisah tersebut  memberi  hikmah  perlunya  kerja keras disertai pengorbanan, serta tekad yang kuat  untuk meraih harapan dan cita-cita.

Dan yang tak kalah penting dari itu semua adalah cinta, baik kepada Sang Pencipta,  orang tua,  teman, dan lingkungan sekitar.

Bahkan terhadap orang yang benci dan dengki kepada  kita, atau sebaliknya, kita  tak  boleh   kehilangan cinta kasih, sebagaimana pengalaman hidup Haidar Bagir, CEO Penerbit Mizan.

Belajar dari seorang sufi kontemporer, dia telah   mempraktekkan  resep untuk mengatasi rasa dengki. Yakni,  memberikan hadiah  kepada orang  yang menjadi sasaran rasa dengki itu.

“Tentu dia (orang yang jadi sasaran dengki) amat  berterima kasih. Selebihnya,  saya tak tahu  apa yang dia   rasakan. Sementara itu,  yang terjadi dengan saya? Believe it or not, rasa dengki  itu benar-benar  secara ‘ajaib’  pupus dari   dalam hati, seperti pasir  pantai ditiup angin  laut.   Tanpa bekas!,” Haidar menjelaskan.

Hikmah bisa datang dari   mana saja. Tapi jangan lihat siapa yang mengatakan, melainkan lihat apa yang dikatakan.

Begitu juga dengan buku ini.  Jangan lihat siapa penuturnya,  tapi  lihat apa yang dituturkan.  Bila bermanfaat,  tak ada salahnya untuk  ditiru.

Monyet aja kagak Doyan!

Narkoba bukan kacang, dan hanya manusia yang  menjadi pecandunya. Apa ada hubungannya dengan monyet? 

100_0701

Foto di atas bisa ditemui  di Stasiun Gambir. Bila turun dari kereta, lalu meniti anak tangga ke arah pintu keluar sebelah utara, coba perhatikan di pojok kiri dekat toilet,  mata kita akan memandang  baliho  tersebut.

Apakah pecandu narkoba lebih rendah daripada monyet?

Bisakah Tanda Mata Mengulangi Kejayaan Empat Mata?

Format acara hampir sama,  band pendukung juga tetap. Yang berubah adalah nama acara dan host-nya.  Tak ada lagi Empat Mata dan Tukul Arwana. Kini  berganti  menjadi  Tanda Mata  dengan trio  host:  Didin Bagito,  Parto Patrio, dan Sule.

Trans 7 nampaknya  tak ingin berlama-lama  membiarkan   penonton setia  Empat Mata kehilangan tontonan. Setelah Empat Mata  mendapat “kartu merah” dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mulai  Senin (17/11)   program  talk show baru pengganti  Empat Mata ditayangkan.  

Format  acara  Tanda Mata  persis  seperti Empat Mata.   Ada bincang-bincang  dengan bintang tamu, kuis,  dan  dialog  dengan penonton   di studio.  Band pendukung tetap Ini Band. Begitu pula  Vega Dawarty, yang dulu ngetop  dengan panggilan Ngatini, masih tetap mendukung acara tersebut.

Tanda Mata  tayang Senin – Jumat, mulai  21.00 hingga 22.30.   Pada episode Senin (17/11),  ada empat bintang tamu yang hadir. Yakni,  Wulan Guritno,  Choki Sihotang,  Poppy Sovia,  dan Band Kerispatih. 

Mengingat   ini  program baru,   tentu  banyak pertanyaan dan harapan terhadap acara tersebut.  Kenapa harus memakai 3 host? Apa kalau  1 host  tidak selucu  ketika digawangi Tukul? Bisakah    menyamai  kejayaan Empat Mata, baik dari segi iklan maupun rating?

Terlepas dari berapa banyak iklan yang bisa diraup, dan berapa besar rating yang  diraih,   program satu ini  jangan sampai mengulangi kesalahan yang dulu dibuat  Empat Mata.  Jangan sampai keceplosan  omongan yang  vulgar dan mengeksploitasi  kekurangan fisik orang lain.   Dan jangan pula   mengumbar adegan sadistis, seperti  makan katak hidup-hidup!

Hanya keledai yang  terperosok ke lubang yang sama berkali-kali. Tugas Tim Kreatif  Tanda Mata  untuk  menjadikan acara ini menjadi tontonan yang  cerdas dan  menghibur,  tanpa harus mendapat sempritan dari KPI!

Kesaksian Bung Tomo Seputar 10 November 1945

tomo

Judul buku: Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah

Penulis: Bung Tomo (Sutomo)

Penerbit: Visimedia, 2008

Tebal: xiv + 164 halaman

 

Nama Bung Tomo (Sutomo) belakangan ini kembali menjadi  buah bibir di tengah masyarakat.  Anugerah  Pahlawan Nasional  yang diberikan pemerintah kepada pelaku sejarah  peristiwa 10 November 1945, membuat masyarakat kembali terkenang akan  peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya tersebut.

Buku ini   merupakan salah satu karya Bung Tomo, yang  diterbitkan pertama kali pada 1951 oleh Usaha Penerbitan Balapan Djakarta. Untuk menyambut momen  Hari Pahlawan,  diterbitkan kembali oleh penerbit Visimedia.     

Membaca buku ini menyegarkan kembali ingatan kita akan  sosok Bung Tomo, khususnya sepak terjangnya di masa revolusi. Dalam buku ini,  dia menceritakan gejolak  perlawanan rakyat  di Surabaya  dalam menentang kembalinya penjajah Belanda,  yang mendompleng  tentara Sekutu.

Sebelum terjadinya peristiwa 10 November yang heroik tersebut, terjadi beberapa  aksi perlawanan rakyat, seperti  pelucutan  senjata tentara Jepang, dan perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje, September 1945.

Untuk menggelorakan  semangat perlawanan rakyat, Bung Tomo berinisiatif mengadakan siaran radio, yang isinya agitasi mengingatkan rakyat     akan bahaya yang mengancam   kemerdekaan Indonesia.

Semula  ide tersebut ditentang Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin.  Alasannya, siaran radio  yang bersifat agitasi  bisa mengeruhkan   suasana di dalam negeri.  Dan hal seperti itu    tidak dikehendaki oleh  tentara Sekutu.

Bung Tomo berkeras dengan rencananya tersebut. Buat dia,  justru dengan  menunjukkan   kepada tentara Sekutu (dia menyebutnya Serikat) akan adanya rakyat  yang berjiwa  dan berpendirian ekstrem dalam mempertahankan  negaranya,  tentara Sekutu    akan lebih menghargai  Republik Indonesia  yang bisa diajak  berunding.

Pemerintah, kata Bung Tomo,   bisa menggunakan rakyat yang ekstrem itu sebagai  kekuatan yang berdiri  di belakang mereka dalam perundingan. (hal 60)

Menteri Amir Sjarifuddin akhirnya setuju.  Namun dia meminta agar tidak menggunakan siaran RRI, sebagai radio resmi pemerintah. Amir mengusulkan agar siaran itu diberi nama Voice of  the  Indonesian Revolt (Suara Revolusi Indonesia), yang  menyiarkan pidato dalam bahasa Inggris, Perancis, dan bahasa internasional lainnya.

Setelah  mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat, Bung Tomo  memanfaatkan pemancar  Radio Surabaya untuk dijadikan Radio  Pemberontakan Rakyat Indonesia.  

Sejarah  mencatat, pidato Bung Tomo yang heroik dan legendaris, yang  berhasil membakar  semangat rakyat  untuk melawan tentara Sekutu  dalam peristiwa 10 Nobember, dipancarkan melalui radio  tersebut.

Teks pidato Bung Tomo tersebut  dimuat dengan utuh   di bagian  lampiran buku ini. Dan, sebagai bonus, penerbit buku ini juga  memberikan CD pidato tersebut. 

Sebelum pecah pertempuran 10 November,  Bung Tomo sempat mengalami peristiwa  tidak mengenakkan  yang diakibatkan salah paham dengan sesama pejuang. Dia “ditawan” oleh laskar  Pemuda Republik Indonesia  (PRI) Surabaya, yang salah menerjemahkan perintah  Dr Mustopo, pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya.

Mustopo memerintahkan PRI  untuk “melindungi” Bung Tomo dengan kekuatan bersenjata. Namun  pimpinan PRI  menerjemahkan  “perlindungan” bagi Bung Tomo sama seperti “perlindungan”  bagi  orang Belanda atau kaki tangan  NICA, yang  artinya ditangkap atau ditawan!

“Untuk  beberapa jam terpaksa     aku merasakan  hidup   sebagai seorang   tawanan, saat revolusi   sedang berkobar  dengan sengitnya,” kata Bung Tomo.  (hal 101)

Peristiwa 10 November mendapat porsi terbesar dalam buku. Bermula dari kedatangan kapal-kapal perang Sekutu  di Surabaya pada 24 Oktober 1945 dengan misi melucuti tentara Jepang, yang  menjadi tawanan tentara Sekutu.

Semula  tercapai kata sepakat antara pihak  Indonesia dan Sekutu, dimana tentara Sekutu mengakui   kekuasaan pemerintah Republik Indonesia (RI), dan  tentara Sekutu tidak membawa  tentara Belanda dan NICA.

Namun, tanpa mengindahkan  kesepakatan tersebut dan keberadaan  pemerintah RI,   Sekutu  menduduki gedung-gedung strategis  dan tempat-tempat penting lainnya. Sikap  tersebut memancing kemarahan rakyat, dan  pada  28  Oktober pecah  pertempuran  darat di Surabaya.

Untuk meredakan ketegangan,  pihak Sekutu meminta  Presiden Sukarno datang  ke Surabaya pada 29 Oktober. Setelah berunding dengan   Jenderal Hawthorn, Panglima Pasukan Inggris di Jawa, dan Brigjen Mallaby,   Komandan Tentara Inggris  di Jawa Timur,  dicapai  persetujuan  untuk menghentikan tembak-menembak, serta  perawatan para korban,  baik yang gugur maupun luka, dari kedua belah pihak.

Gencatan senjata itu tak berlangsung lama. Konflik kembali memanas setelah  Brigjen Mallaby,  salah seorang anggota Badan Kontak (Contack Bureau), yang bertugas  mendatangi  tempat-tempat yang   masih terjadi pertempuran untuk  menyampaikan kesepakatan  penghentian tembak-menembak,   tewas.  

Tewasnya Mallaby membuat Sekutu murka. Komandan Angkatan Perang Inggris    di Indonesia,  Jenderal Christison,  menamakan  peristiwa tersebut  sebagai  “foul murder” (pembunuhan yang kejam). Dia mengancam akan  mengerahkan segenap  kekuatan Sekutu untuk  menghadapi orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. (hal 128)

Sebelum pecah pertempuran  10 November, Sekutu menyebarkan   pamflet lewat udara pada 9 November. Isinya, antara lain, semua pemimpin Indonesia, termasuk pemimpin gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala Radio Surabaya,  harus melaporkan diri  di Bataviaweg (Jalan Batavia) pada 9 November jam 18.00.  Mereka harus  bersedia menandatangani suatu   pernyataan menyerah  tanpa syarat.

Selain itu, rakyat yang bersenjata harus  menyerahkan senjata  dengan berjalan membawa   bendera putih tanda menyerah.

Ultimatum itu diabaikan  rakyat, dan mereka patuh menunggu  instruksi dari pimpinannya. Hingga jam 9, 10 November 1945,  belum ada satu butir peluru  pun    yang dilepaskan  para pejuang. Namun situasi mulai berubah setelah ada informasi   bahwa tentara Inggris sudah mulai menembak.

Bung Tomo segera menuju   pemancar Radio Pemberontakan.  Sekitar jam 9.30,  dia memberikan komando  kepada barisan rakyat  untuk mulai memberikan perlawanan terhadap tantangan tentara Sekutu.

Pada 10 November, kata Bung Tomo, rakyat melupakan   segala -galanya, kecuali   Republik Indonesia harus tetap merdeka! Tidak penting lagi arti  golongan, tingkatan, perbedaan agama, dan paham. Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 sedang terancam  bahaya. Kemerdekaan Tanah AIr  sedang terganggu.

Satu Indonesia yang terancam, satu bangsa  Indonesia  yang akan membelanya.  Satu pula tekad  bangsa Indonesia. Sekali merdeka tetap merdeka!

Masih kata Bung Tomo, bukan satu dua orang yang pada hari itu  menunjukkan  kepahlawanannya! Individual tidak laku pada hari itu!  Pemerintah, tentara, rakyat, segenap  golongan bangsa   Indonesialah yang pada hari itu membela Tanah Airnya! Segenap rakyat berjuang pada hari itu. 

Jika  ada yang dianggap  pahlawan pada hari itu, tegas Bung Tomo,  segenap  rakyat itulah  yang harus dinamakan pahlawan (Bung Tomo menulisnya dengan huruf besar)! (hal 147-148)

 Pernyataan   di atas menunjukkan  kerendahan hati seorang pejuang yang berjuang tanpa pamrih, dan tak mau menonjolkan jasa dan pengabdiannya.

Buat dia,  segenap rakyat adalah pahlawan!

Doa dan Munajat Ahlul Bait Nabi SAW

al-jinan

Judul buku: Mafatih  al-Jinan: Kunci-kunci Surga

Penulis:  Syekh Abbas Al-Qumi

Penerbit: Al-Huda, 2008

Tebal: 392 halaman

 

Banyak buku kumpulan doa  diterbitkan. Namun tak banyak yang  penerbitannya  begitu dinanti para pembaca. Buku ini salah satunya.

Dalam prakata buku ini,  penerbitnya,  Al-Huda,   menjelaskan ada dua  produk  mereka   yang  selalu ditanyakan penerbitannya oleh pembaca.  Yakni,  Mafatih al-Jinan, dan  buku  kumpulan fatwa   atau risalah amaliah   dari Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin spiritual Republik Islam Iran.

Buku ini merupakan jilid pertama dari tiga jilid Mafatih al-Jinan yang akan diterbitkan  Al-Huda. Proses penerbitannya, menurut pihak Al-Huda, memakan waktu  hampir empat tahun.

Di dalamnya memuat  kumpulan doa  yang bersumber dari  Rasulullah SAW dan imam-imam ahlul bait. Selain itu, ada pula   penjelasan  keutamaan surah-surah al Quran, serta  salat-salat yang diamalkan Rasulullah dan para imam ahlul bait.

Satu  hal yang mengesankan dari doa dan munajat  dalam buku ini adalah  ungkapan rasa cinta yang teramat dalam kepada Sang Pencipta, serta pengakuan atas  dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. 

Doa dan munajat mereka sangat puitis dan panjang. Sebelum menyampaikan permohonan,  selalu diawali dengan puja puji akan kebesaran Allah. Tak ada doa yang sifatnya memerintah tuhan, seakan-akan tuhan itu pesuruh kantor.     

Ada beberapa doa masyhur yang tercantum dalam  buku ini. Antara lain,  doa ash-Shabah  dari Amirul Mukminin  as, doa Kumail bin Ziyad  ra, doa al-Masylul,  doa Yastasyir,  doa al-Mujir, doa al-adilah,  doa Jausyan Kabir, dan doa Jausyan Shaghir. 

Selain itu, ada pula  hirz (doa penjagaan), munajat, dan tawassul Imam Ali Zainal Abidin  as.

Karena baru jilid pertama, belum semua khazanah doa dan munajat  imam-imam ahlul bait  dapat dibaca dan diamalkan  pembaca.   

Sayangnya,   entah karena proses penjilidan yang terburu-buru atau ada kesalahan teknis dalam poses cetak,   ada beberapa halaman dalam buku ini  yang tidak berurutan. Contohnya, halaman 328  berdampingan dengan halaman 341. Setelah itu lanjut ke halaman 342, 343, dan 344. Lalu kembali ke halaman 333 hingga 340.

Pengaturan halaman yang acak ini tentu  menyulitkan dan membingungkan pembaca yang ingin membaca sebuah doa dengan utuh. Hal ini perlu menjadi perhatian penerbit untuk   merevisinya dalam cetakan berikutnya.  Dan jangan sampai terulang pada  penerbitan jilid kedua dan ketiga.

Beli Film di Pameran Buku

Indonesia Book Fair (IBF) kembali digelar untuk yang ke-28 kalinya.  Sama seperti tahun lalu,  IBF kali ini dilaksanakan  di Asembly Hall Jakarta Convention Centre, 12-16 November.

Ada dua buku yang saya beli. Pertama, Novel Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah, karya  Remy Silado, terbitan Tiga Serangkai.   

Menurut seorang penjaga stan Tiga Serangkai,  buku tersebut merupakan buku  kedua dari  trilogi  Novel Pangeran Diponegoro, yang diterbitkan  Tiga Serangkai. Buku pertama sudah saya beli  waktu IBF tahun lalu.  

Buku kedua adalah Mafatih al-Jinan: Kunci-kunci Surga, karya  Syekh  Abbas Al-Qummi, terbitan Al-Huda. Selain karena isinya  yang sangat berbobot, yakni   kumpulan doa Rasulullah dan imam-imam  ahlul bait,  saya tertarik membeli buku itu karena mendapat diskon  50%.

Berdasarkan informasi dari penjaga stan Al-Huda,   buku itu, rencananya, akan diterbitkan tiga jilid. Untuk sementara mereka baru menerbitkan jilid pertama. Mungkin, dalam IBF tahun depan, jilid kedua sudah  terbit.  

Dari stan Al-Huda saya sempat berkeliling ke beberapa stan lainnya. Sempat pula melihat  talk show yang menghadirkan pembicara Shahnaz Haque, presenter dan penyiar radio Delta FM.

Sebelum  melangkahkan kaki ke pintu keluar, saya  sempat melihat  beberapa pengunjung tengah mengaduk-aduk dan memilih-memilih  sesuatu barang di satu stan. “Pasti lagi milih-milih buku yang diobral,” gumam saya dalam hati.

Setelah saya dekati, ternyata dugaan saya salah. Yang mereka  cari dan pilih bukan buku, tapi film (VCD).  Nama stan-nya Inova,  letaknya   di depan stan Femina.

Film yang ditawarkan ada yang  diobral Rp 5.000, Rp 10.000, dan Rp 15.000. Ada pula yang dijual dengan diskon 10%. Semuanya original.

Sebagai penggemar film,  keruan saja saya ikut “partisipasi”  memilih  film-film yang belum pernah saya tonton.  Banyak film bagus yang diobral, seperti James Bond, Charlie Angel’s,  dan film-film lain yang dibintangi aktor-aktor top Hollywood.

Setelah pilah-pilih dan aduk sana-sini, ada 4  film yang saya beli. Yakni,   Guilty by Suspicion, dibintangi oleh Robert de Niro dan Annette Bening,  Antwone Fisher (Denzel Washington,  Derek Luke), The Manchurian   Candidate (Denzel Washington,   Meryl Streep) , dan City by  The Sea (Robert de Niro). 

Selain karena belum pernah menonton keempat film tersebut, nama beken  Robert de Niro dan Denzel Washington,  membuat saya kepincut. Setelah bayar di kasir,  saya pun melangkah pulang.

Sekarang tinggal mengatur waktu. Mau baca dulu, atau nonton film?