Di dunia pariwisata, turis/wisatawan terbagi dua: turis lokal/domestik dan turis asing/mancanegara. Gairah pariwisata tergantung pada kunjungan turis. Semakin banyak turis datang membelanjakan uangnya, semakin bergairah pariwisata di tempat tersebut.
Turis akan datang jika mereka merasa aman dan nyaman. Aman dari gangguan kriminalitas dan terorisme, serta nyaman dengan pelayanan dan fasilitas yang mereka terima.
Ketika Bali diguncang aksi terorisme beberapa tahun lalu, sektor pariwisata sangat terpukul. Banyak turis, khususnya turis asing, yang membatalkan kedatangannya. Alasan mereka jelas: tidak ada rasa aman!
Namun, seiring dengan pulihnya kondisi keamanan, kini pariwisata di Pulau Dewata sudah mulai kembali bergeliat. Tidak hanya itu, berbagai forum internasional juga diadakan di sana. Itu bukti bahwa Indonesia, khususnya Bali, adalah tempat yang aman untuk didatangi.
Selain aksi terorisme, bencana alam juga memberi kontribusi pada anjloknya kehadiran turis, khususnya turis asing. Thailand sudah merasakan hal tersebut ketika tsunami menghantam kawasan pariwisata di Phuket, 2004 lalu.
Lain di luar negeri, lain pula di negeri ini. Bencana alam tidak menyurutkan niat turis untuk melancong. Justru mereka makin antusias untuk berkunjung ke lokasi bencana, sehingga dijuluki “turis bencana”.
Seperti yang terjadi di lokasi jebolnya Situ Gintung di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, yang menelan korban 99 orang tewas dan 102 hilang. Tragedi yang mengenaskan itu memancing kedatangan para “turis bencana”.
Umumnya kedatangan turis akan disambut baik oleh penduduk setempat. Tapi tidak dengan “turis bencana”.
Kedatangan mereka ke lokasi bencana di Situ Gintung tidak mendapat simpati dari penduduk setempat, dan para petugas yang tengah melakukan evakuasi korban dan penyaluran bantuan. Sebab, kehadiran mereka justru menyulitkan pekerjaan petugas.
Selain itu, mereka susah diatur! Sudah dilarang masuk, tapi masih juga ngotot ingin melihat lokasi bencana.
Seperti dilaporkan Jawa Pos, Senin (30/3), jumlah “turis bencana” mencapai ribuan, sehingga membuat proses evakuasi dan penyaluran bantuan terganggu.
Situasi merugikan itu membuat pihak Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), yang menjadi tempat posko penanganan bencana, gusar. Pihak UMJ meminta kepolisian menutup akses menuju lokasi bagi warga yang tidak berkepentingan.
Mengalirnya “turis bencana”, menurut Jawa Pos, hampir terjadi di semua titik. Padahal beberapa titik rawan sudah dipasang garis polisi (police line). Tapi tak ada yang mengindahkan tanda larangan melintas tersebut. Bahkan mereka juga merangsek ke lokasi jebolnya tanggul.
Mereka tak menghiraukan seruan petugas untuk menghindari tempat-tempat tersebut. Setiap kali alat berat datang, pengunjung pasti mengelompok mengelilingi. Begitu pula saat petugas membongkar-bongkar bangunan untuk mencari mayat. Berkali-kali diingatkan melalui megafon, tak ada yang menaati.
Tak hanya pengunjung, sekelompok orang yang mengaku sukarelawan pun merepotkan petugas. Mereka berseragam. Tapi, ketika terjun ke lokasi, mereka hanya melihat-lihat tanpa berbuat banyak.
Kepedulian masyarakat terhadap korban bencana patut diacungi jempol. Setelah terjadi bencana, berbagai bantuan untuk meringankan penderitaan korban, berdatangan.
Begitu pula dengan yang terjadi di Situ Gintung. Sumbangan spontan mengalir dari berbagai pihak, baik individu maupun organisasi. Bahkan partai politik, yang memanfaatkan momen kampanye, tak ketinggalan buka posko.
Namun kehadiran “turis bencana” tak bisa dihindarkan. Sekalipun informasi tentang bencana tersebut sudah tersebar luas di media massa, tetap saja belum bisa memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Dan ini bukan hanya terjadi di Situ Gintung. Sebelumnya, “turis bencana” juga hadir di lokasi bencana lainnya, seperti tsunami di Aceh, atau gempa di Yogyakarta.
Sayangnya, mereka hanya menonton. Bukan menyingsingkan lengan baju (atau buka dompet) untuk membantu!