Film Terlambat Datang

Mata menyaksikan  film Kun Fayakuun, ingatan  melayang ke  Janji Joni. Kok bisa? Itu  dikarenakan  film  terputus  setelah hampir satu jam diputar.  Saat adegan Tari (Desi Ratnasari) tengah  membujuk    Ardan (Agus Kuncoro),  yang  merasa gagal  mencari rezeki untuk keluarganya, tiba-tiba film terputus.  Di layar terpampang tulisan, “Mohon maaf film terlambat datang.”

Puluhan penonton   bereaksi macam-macam. Ada yang berceloteh dengan temannya. Ada  pula yang  langsung mengeluarkan hp, ambil kesempatan menelepon mumpung film terhenti.  Dua  penonton  wanita di sebelah saya langsung  bangun dari duduknya dan  melangkah keluar.  Saya mengira mereka mau ke  toilet atau beli cemilan.  Ternyata  sampai film berakhir mereka tak lagi kembali ke kursinya.

Setelah  tiga menit terhenti,  film kembali diputar. Selama tiga menit itu ingatan saya melayang ke Janji Joni, yang dibintangi  Nicholas  Saputra,  (alm) Gito Rollies, dan Ria Irawan.  Saya  membayangkan    si Joni   tengah dalam perjalanan mengantar  copy film  Kun Fayakuun.  Ada  di mana posisi Joni? Kalau  di Tomang atau   Petamburan, tidak terlalu jauh dari lokasi bioskop yang terletak di Slipi.  Tapi kalau  di Cikini, Senen, Cilandak, atau   Senayan,  entah   berapa puluh menit  lagi dia tiba, dan harus berapa lama penonton menanti     film  diputar kembali?

Ini kejadian kedua  yang saya alami dalam sepekan terakhir (kejadian pertama lihat Ketika  Bioskop Mohon Maaf). Sebelumnya  saya  menonton  Street Kings  di sebuah bioskop di Jakarta Pusat.

Selain teringat pada Janji Joni, saya juga membandingkan dua bioskop  terakhir tempat saya nonton.  Yang satu terletak di sebuah  pusat kebudayaan di Jakarta Pusat. Satunya  lagi di sebuah mal  di  Jakarta Barat. Keduanya  mematok  harga tanda masuk (HTM) yang   sama, Rp 15.000. Jauh lebih rendah  dibandingkan  bioskop di mal mewah, yang HTM-nya paling murah  Rp 25.000. 

Usai  menonton, saya pulang dengan membawa  sebuah   pertanyaan. “Apakah  HTM berpengaruh pada kualitas pemutaran film?”      

Mengenal Wakil Rakyat 2004-2009

Judul buku : Wajah DPR dan DPD 2004-2009

Penyusun : Tim Litbang Kompas

Penerbit: PT Kompas Media Nusantara

Tebal: xviii+738 halaman

 

Ini bukan  buku  baru karena sudah terbit sejak 2005. Meski demikian,  buku ini  menjadi rujukan penting  untuk mencari informasi    tentang  para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).   Apalagi belakangan  ini beberapa wakil rakyat dan mantan wakil rakyat   menjadi  buah bibir  karena  dijadikan  tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terbagi  menjadi 17 bab,  16 bab  memuat data-data anggota  DPR,  dan 1  bab  terakhir  menyajikan  data anggota DPD.  Formatnya berupa  biodata (cv).  

Data-data anggota DPR dikelompokkan  berdasarkan partai masing-masing.   Tercatat  ada  16 partai yang memiliki  kursi di DPR,  sehingga  dibuat  16 bab.  Untuk anggota  DPR,  urutan kepartaian diatur berdasarkan jumlah kursi terbesar, bukan berdasarkan abjad.   Bab I-V, misalnya,  menyajikan  data-data  anggota DPR  dari Partai  Golkar,  PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan,   Partai Demokrat, dan Partai Amanat  Nasional.   Sedangkan untuk anggota DPD diatur   berdasarkan provinsi, dimulai dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua.

Setiap entri   berisikan    identitas,   pendidikan   terakhir,   perjalanan karier – termasuk  di dunia legislatif –  pengalaman organisasi,    serta perolehan   suara yang diraih.

Oleh  penyusunnya, buku ini  ditampilkan dengan  mengedepankan   nama diri lengkap  dan atribut pendidikan   yang disandang.   Pada bagian judul  ditempatkan  nama yang berfungsi   sebagai navigasi, yakni nama yang dikenal masyarakat. Misalnya,    nama Muhammad Guruh Irianto  Sukarnoputra,  di judul  ditulis  Guruh Sukarnoputra dan dapat dicari   di urutan alfabetis G.

Tidak semua  anggota  DPR  yang ada  dalam buku ini masih menjadi wakil rakyat di Senayan.  Ada yang sudah menjadi menteri, seperti Andi Mattalatta, Paskah Suzetta, Suryadharma Ali,  Taufiq  Effendi, dan Fahmi Idris;  anggota  Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar dan    Mahfud MD);   wakil gubernur  (Antony  Zeidra Abidin);  bupati  (Ridwan Mukti);  dan duta besar (Andi M Ghalib dan Junus  Effendy Habibie ). Ada pula yang di-recall  oleh  partainya,  seperti dialami Yahya Zaini, Roy BB Janis,  dan Marissa Haque.

Para  pengganti mereka yang sudah di-recall dan   menduduki  jabatan  baru tersebut  tidak dimuat  dalam buku ini.  Namun hal itu bisa dimaklumi karena  kiprah  mereka di DPR  berakhir setelah buku ini   diterbitkan pada 2005 lalu. 

Data  yang  ditampilkan dalam buku ini   ada  juga yang  tidak sesuai dengan perjalanan karier anggota  DPR  tertentu. Contohnya, ada  anggota DPR  dari   daerah pemilihan   Jawa Barat yang  ditulis  dalam  perjalanan kariernya pernah menjadi   Sekretaris WIlayah Daerah   Kota Sabang  dan Walikota Sabang (hal 286). Padahal yang bersangkutan tak pernah  berkiprah di  Sabang.   Ini adalah kesalahan fatal,  dan harus  direvisi    bila   buku ini akan dicetak ulang.

Meski  memiliki beberapa  kekurangan, buku ini    masih bisa diandalkan  sebagai referensi  tentang  wakil rakyat di Senayan,  khususnya bagi  mereka yang akan menulis kiprah  anggota  dan mantan anggota  DPR  dan DPD 2004-2009.  

Kolumnis Gaek yang Tak Henti Menulis

 

Judul buku      :  Semua Berawal  dengan Keteladanan

                           Catatan Kritis Rosihan Anwar

Penulis             : Rosihan Anwar

Penerbit           : Penerbit Buku Kompas, Mei 2007

Tebal               : xx + 516 halaman

 

 

Tak banyak orang yang mampu menulis selama 64 tahun. Bukan cuma menulis, tapi juga menjadi pengamat yang tekun dan rajin mencatat berbagai peristiwa, baik yang dialami  langsung maupun peristiwa yang menjadi  perbincangan hangat  di tengah masyarakat.

 

Di usianya yang sudah 85 tahun, Rosihan Anwar (RA) masih   tekun mencatat berbagai peristiwa dan menuliskannya   di media massa.  Meski sudah    tidak punya koran lagi,   dia masih tercatat  sebagai kolumnis  di beberapa media. Tabloid Cek & Ricek (C&R) salah satunya.  Di tabloid tersebut, RA menjadi  kolumnis  tetap sejak  edisi pertama yang terbit pada  24  Agustus 1998.

 

Buku ini merupakan   kumpulan tulisan  yang  diterbitkan untuk memperingati   85 tahun  RA dan 60 tahun   perkawinannya.  Isinya diambil dari   kolom-kolomnya di  rubrik Halo Selebriti   di Tabloid Cek & Ricek.

 

Meski  nama rubriknya Halo Selebriti,   jangan berharap  ada tulisan RA  tentang  artis penyanyi, bintang sinetron, dan bintang film.  Apalagi gosip tentang  artis ABG!  Kalaupun ada,   itu tidak banyak, dan yang ditulis juga  artis senior atau yang  dia kenal baik, seperti sineas Ami Prijono,    Mang Udel,   dan SM Ardan.  Ditulisnya pun   setelah mereka    menyandang titel almarhum. Ini merupakan   keahlian RA   sebagai penulis in memoriam. Tercatat   ada 21 tulisan  in memoriam atau   tentang wafatnya seorang tokoh  dalam   buku ini.

 

Dalam pengantarnya untuk buku ini, Jakob Oetama menyatakan,  wartawan seperti RA  selalu mengingatkannya  pada  perbedaan antara  wartawan yang   lebih  memusatkan   perhatian  kepada reportase  dengan mereka yang  sengaja memfokuskan  diri untuk   bertindak selaku pengamat.  RA, kata Jakob,   masuk kepada    kedua kategori   tersebut karena   mampu menulis   reportase  dengan sangat mengesankan,  tetapi juga bisa  menghasilkan analisa yang tajam, kritis, sekaligus   bermutu (hal xviii).

 

Bagi RA sendiri, tidak ada  kendala serius saat    beralih dari  menulis di media yang serius ke media infotainment karena dia   menguasai kiat-kiatnya. Antara lain,  menguasai topik  dan materi   yang akan ditulis, menulis   dengan bahasa  sederhana  yang mudah  dimengerti, serta  membangkitkan  dan memelihara  secara berkesinambungan   rasa ingin tahu   pembaca. (hal  2)

 

Apa ciri  tulisan RA   di Halo Selebriti?  Pembaca C&R  pasti sudah  hafal  dengan style tulisannya. Dalam satu kolom, dia tidak  hanya mengupas satu masalah, tapi  sekaligus tiga.  Dan itu sudah  terlihat dari judulnya.  Misalnya, “Produser Film   Berusaha, Batik Gus Dur,  Ekonomi 7 Tahun Lagi”. Atau, “Biografi   Dr Gambiro,   Poros Indonesia Berkantor, In Memoriam   Wiweko Soepeno”.  Semuanya ditulis  dengan gaya bahasa populer yang mudah dicerna dan tidak  membuat kening   pembaca berkerut.

 

Buah dari ketekunannya  mencatat dan  mengamati berbagai peristiwa, baik yang terjadi saat  ini  maupun puluhan   tahun lalu, bisa dinikmati  pembaca buku ini.  Kisah tentang  Marlon Brando, misalnya. Pada pertengahan 1950-an  pemeran film Godfather itu berkunjung  ke Jakarta  dan pada  kesempatan  itu bertemu   dan berbicara  dengan sutradara  Usmar Ismail dari Perfini.  Kata RA,  mereka tidak bicara soal film,   tapi tentang    Indonesia dan kebudayaannya, dan Usmar  terkesan dengan intelektualitas seorang Marlon Brando (hal 83).

 

RA juga masih  ingat berbagai peristiwa  di masa revolusi   dulu, seperti yang terjadi pada 10 November 1945.  Saat itu Sutan Sjahrir  menulis pamflet   historis berjudul    Perdjoeangan Kita, yang menggambarkan   keadaan bangsa   Indonesia pada akhir   pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, situasi  internasional   pasca-Perang Dunia II,  dan apa yang dihadapi   oleh pemuda, buruh,  dan tani.

 

Menurut RA, pamflet itu   mengingatkan bahwa kaum pemuda   tidak akan dapat menjalankan    terus kewajibannya   sebagai perintis, jika semangat  kebangsaan tidak diisi dengan semangat kerakyatan (hal 389).

 

Masih di masa revolusi.  RA juga  masih ingat   saat Tan Malaka  bicara  selama 4 jam nonstop  tanpa teks  di depan wartawan tentang marxisme dan nasionalisme. Dia juga memberi apresiasi  tersendiri atas tokoh yang hilang secara misterius tersebut.  “Saya sangat  menghormati Tan Malaka   sebagai salah satu   pejuang kemerdekaan Indonesia yang amat besar jasanya, tapi  dilupakan  oleh bangsa   Indonesai sekarang,” katanya. (hal  474).

 

Beragam hal   ada dalam buku ini.   Mulai   dari kisah di masa revolusi hingga masa kini,  perayaan ulang tahun seorang tokoh, dan wafatnya seorang tokoh. Masalah keluarga  juga ada di dalamnya.   Misalnya,  tulisan  tentang wafatnya menantu RA, Dr H Idral  Darwis,   cerita tentang penghargaan dan hadiah  yang dia terima  saat ulang tahun ke-81, serta  kiriman parsel  yang dia terima saat lebaran.

 

Buku ini juga memuat curhat dan kritik   seorang wartawan senior kepada   para yuniornya.  Kata RA, “Generasi   baru wartawan  mempunyai    pendidikan formal   lebih baik   ketimbang wartawan   tempo dulu.  Percaya diri mereka  hebat. Tapi seni mendengarkan   pendapat   atau ucapan orang lain tidak dikuasai.  Yang benar hanya mereka saja.  Respek terhadap  generasi yang lebih tua  usianya tidak ada.  Tapi  kalau   disimak hasil pekerjaan mereka, maka tampak  lubang-lubang kelemahan. Mereka  menurunkan berita atau tulisan   tanpa melaksanakan  sebelumnya cek dan ricek yang ketat.”

 

Selanjutnya, “Sumber berita  mereka kadang-kadang tidak kredibel atau dapat dipercaya.  Bahan berita dan tulisan dikumpulkan berdasarkan  hear-say, apa kata sas-sus, produksi pabrik rumor.  Akibatnya,  tulisan mereka  bisa menimbulkan reaksi   keras dari publik.  Dan kalau terjadi   tindakan balasan  dari publik,   misalnya berupa  pengaduan kepada aparat  pelaksana hukum,   pemeriksaan dalam suatu  sidang pengadilan,   maka wartawan   yang menjadi objek pengaduan  mencari perlindungan   di balik  hak tolak, tidak mau   mengungkapkan identitas  sumber berita karena memang   perbuatan demikian  tidak etis.” (hal 251).

 

Kepiawaian  RA dalam menulis kolom  tak perlu diragukan lagi. Namun ada  hal yang cukup   mengganggu  saat membaca  tulisan-tulisannya dalam  buku ini.   Kerap terjadi  salah  penulisan nama.  Contohnya, mantan Menteri Perdagangan Tungky Aribowo (harusnya Tungky Ariwibowo),   aktor cilik Yoshua (harusnya Joshua), dan Presidium Dewan Papua  Theys  Hiyo  Eluang (harusnya Theys Hiyo Eluai).  Ada juga   penulisan nama yang terbalik, seperti Anggun Sasmi Cipta (harusnya Anggun Cipta Sasmi).  Ini menjadi   PR bagi editor  untuk mengeditnya bila kelak  buku ini akan dicetak ulang.